21. Punishment

119 10 6
                                    

"Di mana Aena-san?" Chiharu mengedarkan pandangannya ke penjuru Itokan; tidak menjumpai konfigurasi yang dicari.

"Dia orang sibuk. Tidak sepertimu," sahut Dan.

"Aku juga akan menjadi orang sibuk. Aku sudah diterima bekerja di yayasan panti jompo!" belanya sambil menyombong.

Tetsu menepuk pundak Chiharu. "Kau akan berurusan dengan orang tua?" tanya Tetsu.

"Namanya juga panti jompo." Naomi mendengus.

Cobra yang sedang diam di spot favoritnya hanya mengembuskan napas bosan. Dia menoleh sejenak pada ponselnya yang sekarang wallpaper-nya adalah foto Aena dalam balutan seragam polisi. Sudah ditinggalkan selama berjam-jam, tetapi gadis itu tampak sangat sibuk hingga lupa memberi kabar. Bahkan pesan darinya yang mengajak makan siang pun tidak dibalas. Dia sedih.

Aena pergi setelah sarapan karena mendengar berita pembunuhan seorang pemilik restoran di Little Asia. Menjelang matahari terbenam, Aena sama sekali belum kembali. Dia agak cemas, tetapi enggan mengganggu Aena yang entah ke mana. Hari-harinya selalu dipenuhi oleh kecemasan mengenai situasi Aena. Dia tidak mau Aena kembali terluka. Apalagi sekarang kasus kematian ayah-ibunya dibicarakan ulang oleh orang lain.

Sekarang Aena tengah menjalankan mobilnya menuju kediaman Hideo yang berada di pesisir. Dia menghela napas; menyiapkan diri untuk menghadapi sesuatu yang sepertinya akan mengancam nyawa. Sesampainya di sana, dia bisa melihat bangunan dengan dua lantai yang ukuran rumahnya sangatlah besar. Rumah Hideo hampir sama dengan rumah Zenshin.

Memarkirkan mobil, dia mendapati penjaga gerbang yang siaga menghentikan perjalanan untuk mengonfirmasi. Dia menurunkan kaca mobil. "Shio Aena. Aku ada janji temu dengan tuanmu. Jadi, bisakah gerbangnya dibuka?" ujar Aena sambil tersenyum simpul.

"Masuklah!"

Aena berjalan didampingi oleh pramuwisata gadungan yang kini menuntun jalannya menuju ruangan pribadi Hideo. Tidak bohong, dia agak suka design rumah penerima suap ini. Rumahnya tidak mengandung unsur Jepang sama sekali. Dia melirik ke arah lain; mendapati foto keluarga Hideo yang terdiri dari si penerima suap, seorang istri, dan seorang anak laki-laki berusia delapan tahun.

Dia dihentikan langkahnya ketika sampai di depan pintu mahoni yang sangat tinggi. Rumah orang kaya biasanya disertai dengan langit-langitnya yang tinggi. Dia bersedekap dada tatkala sang pramuwisatanya mengetuk pintu; menginformasikan jika tamu sudah datang. Dilihatnya Hideo tengah duduk santai di sebuah kursi sambil menumpu satu kakinya di paha kaki satunya. Dia spontan mengernyitkan kening.

"Tinggalkan kami berdua." Hideo menyuruh anak buahnya pergi agar konversasinya dengan Aena tidak terganggu.

"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan? Oh, ya. Kenapa polisi tidak menangkapmu? Buktinya sudah eksplisit padahal," balas Aena.

"Aku bisa melakukan apa pun yang kuinginkan. Aku juga telah membunuh Bèi, tapi anggota tim dari unit manapun tidak ada yang mencurigaiku. Departemenmu juga tidak bergerak ...."

Aena menumpangkan kedua kakinya di meja yang di mana kedua kakinya langsung berhadapan dengan wajah Hideo. "Kau jangan meremehkan kualifikasi anggotaku, Pak. Mereka jauh lebih keren daripada aku yang menjabat sebagai kepala departemen," ujarnya.

"Singkirkan kakimu dari meja." Hideo berdecak.

"Kenapa? Kakiku tidak berbau dosamu, kok." Aena membalas.

𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang