07. Old Story

221 23 10
                                    

"Bagaimana kondisimu?" Cobra menyimpan satu piring berisi onigiri buatan Hisako—ibunya Yamato—di meja agar dimakan oleh istrinya yang sedang demam.

Aena menoleh, lantas merajah senyum. "Sudah mendingan. Maaf, aku merepotkanmu, Cobra," balasnya dengan nada sendu.

Cobra duduk di samping Aena, kemudian menggeleng. "Aku tidak merasa direpotkan," ujarnya pelan. Dia meraih satu onigiri, lantas menyodorkannya kepada Aena. "Makanlah. Hisako-san langsung membuatkanmu onigiri ketika mendengar kau demam."

Aena mengambil nasi kepal dari tangan sang taruna; memakannya dengan lahap. Keduanya sama-sama bergeming di ruang washitsu. Aena sibuk dengan onigiri, sedangkan Cobra hanya mengulaskan senyum melihat istrinya makan. Walaupun sunyi, mereka merasa baik-baik saja. Bahkan mereka merasa nyaman dengan situasi ini.

Sedikit mengulang; Aena pulang ke rumah pada pukul tujuh pagi usai mengampu Amamiya Kyoudai di gedung Elique. Singkatnya, dia harus menginap di rumah sementara Takeru bersama Naruse Aika karena dia tertinggal kereta. Lagi pula, kuda besi milik dua pemuda Amamiya tidak bisa menampung dua orang. Bahkan Aika sendiri harus menambahkan jok di motor Hiroto untuk bisa pergi dengan sang pemuda.

Di pukul setengah tujuh pagi, Aena bergegas pulang ke Sannoh. Dia enggan membuat cemas Cobra yang mungkin menunggu di rumah. Benar saja. Dia langsung disambut pelukan sang taruna tatkala dirinya memasuki rumah. Sayangnya, dia malah demam karena kehujanan. Tak lupa dia juga terlalu memforsir diri untuk membantu Amamiya. Akibatnya, dokter menyarankan—setelah dia berobat dengan Cobra—dirinya untuk beristirahat selama dua hari penuh tanpa melakukan aktivitas berat.

Namun, Aena berpikir dia harus melakukan kegiatan lain. Dia melupakan janji yang diabolisi dengan Saigo. Dia juga harus mengunjungi pemakaman Takeru. Esensinya, dia benar-benar tidak bisa bersenai dengan tenang. Dia juga harus melakoni perannya sebagai detektif. Astaga, dia bekerja dengan serampangan. Jangan sampai dia dipecat karena sudah absen selama beberapa hari.

"Jangan memaksakan dirimu lagi," ujar Cobra sambil menatap sang adiratna.

Aena menoleh, lalu menyimpan onigiri-nya. "Maaf, lain kali aku akan hati-hati. Aku sembrono dalam bertindak," balasnya dengan tata laras menyesal.

Tanpa disangka, Cobra lantas mendekap Aena dengan perlahan. Dia membenamkan rupanya di ceruk leher Aena; tidak peduli sekalipun nanti dirinya akan demam. Direngkuhnya erat-erat pinggang sang adiratna. Tidak banyak yang dia ingin. Cukup hidup bahagia bersama Aena, rasanya dia baik-baik saja. Sekalipun lokawigna merampak mereka, dia percaya pada batara cinta yang akan meminda kisah destruktif keduanya.

Aena bergeming sejenak sebelum akhirnya menepuk-nepuk punggung suaminya. Ah, dia tidak tahu harus menjabarkannya bagaimana. Dia merasa tidak cukup baik untuk dicintai oleh sang taruna. Bahkan dia masih belum mengeluarkan effort di hubungan mereka yang meskipun hanya bualan. Namun, dia bahagia karena Cobra selalu ada untuk mencemaskannya.

Pelukan hangat itu terdistraksi oleh panggilan telepon dari ponsel Cobra. Aena kembali memakan onigiri-nya. Tidak lama setelah berkonversasi melalui telepon, Cobra menatap sang adiratna dengan senyuman tipis.

"Aku akan pergi ke desa; menginap di sana."

"Ada apa?" tanya Aena.

Cobra menggeleng. "Ada sedikit masalah di sawah orang tuaku. Kau tinggal di sini saja. Aku tidak akan lama. Sampai jumpa, Aena," balasnya diakhiri dengan senyuman lebar.

𝗗𝗔𝗠𝗡𝗔𝗧𝗜𝗢𝗡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang