#KostDiary : Muhammad Solar Rivani

220 33 0
                                    

Prolog : remithaliaa

"Solar, bantuin aku dong. Aku nggak ngerti sama soal Biologi ini!" ujar seorang pria dengan kaos hijau sambil datang menghampiri rekan sekamarnya. Dia Thorn, penghuni kamar 03 bersama sahabatnya Solar si jenius tingkat dewa yang kerjanya belajar 24/7.

"Yang mana?" tanya Solar sambil menghela nafas, lalu ia melirik Thorn yang sudah ada disampingbya bersama buku LKS IPA yang ia pegang.

"Yang ini," ujar Thorn sambil menunjuk soal yang ia tidak pahami tersebut.

"Ini teh gampang atuh Thorn. Tentang Anatomi dan Fisiologi Manusia jawab Solar dengan nada santai, Thorn hanya manggut-manggut seolah mengerti. "Hm.. Dalam meningkatkan tekanan darah, saraf simpatis bersinergi dengan apa? Nah, penjelasannya begini Thorn. Saraf simpatis merupakan sistem saraf otonom atau autonomic nervous system atau singkatnya ANS ya? System ini yang mendominasi kondisi lawan atau lari. Di setiap tubuh kita kan, pasti ada pembuluh darah. Nah, setiap pembuluh darah memiliki serabut dari saraf simpatis. Saraf ini akan menugaskan transmitter yang bernama norepinefrin yang berikatan dengan adenoseptor di membran sel otot polos pembuluh darah. Dari sini sudah jelas bahwa dalam meningkatkan tekanan darah saraf simpatis bersinergi dengan norepinefrin."

"Makasih banyak Solar! Kamu pinter banget. Nggak salah sekolah menunjuk kamu jadi salah satu perwakilan OSN Biologi tahun ini!" puji Thorn, "Penjelasanmu juga mudah dimengerti!"

"Biasa saja," jawab Solar. Tapi dalam hatinya dia sudah bersorak senang.

***

Write by Aishada_

Obsesi akan kesempurnaan adalah kalimat yang begitu menggambarkan kepribadiannya, bahkan tidak jarang dirinya rela mengorbankan apapun demi mencapai hal tersebut.

Sejak kecil, kedua orangtuanya selalu mendidiknya untuk menjadi sempurna. Segala macam pencapaian akademis adalah tujuan hidupnya, baginya nilai adalah segalanya.

Muhammad Solar Rivani, seorang remaja yang kini mulai beranjak dewasa. Nilainya yang selalu sempurna, juara paralel berturut-turut, dan juga parasnya yang cukup rupawan pun sering kali membuat para gadis yang sebaya dengannya terpikat.

Namun apakah dirinya pernah merasa bahagia atas semua pencapaian itu? Tidak, sama sekali tidak.

Jauh di dalam lubuk hatinya, ia ingin tahu bagaimana bisa tertawa dengan bebas seperti rekan seusianya. Selama hidupnya, dirinya tidak pernah berteman dengan siapapun. Ruang belajar dan perpustakaan adalah dua tempat yang bahkan hampir tidak pernah ia tinggalkan saat berada di rumah. Selain saat jam makan dan waktu tidur, dirinya sama sekali tidak diperkenankan untuk keluar dari sana.

Persis seperti burung yang tengah dikurung di dalam sangkar.

Memang benar, kedua orangtuanya senantiasa memberikannya perhatian dan harta yang berlimpah. Namun dengan semua tuntutan itu, dirinya benar-benar merasa tidak kuat. Dirinya juga ingin merasakan apa yang dirasakan oleh teman-temannya, dirinya ingin merasakan apa itu kebahagiaan.

Pernah sekali dirinya memberontak, dengan sengaja dirinya mengisi beberapa soal ujian dengan salah. Namun kini dirinya bersumpah, ia tidak akan pernah melakukan hal itu lagi.

Dirinya ingat benar betapa terpukul ibunya saat dirinya tidak mendapatkan nilai sempurna, bahkan membuat wanita itu sampai mogok makan selama beberapa hari.

Tidak sampai di sana, ayahnya pun marah besar atas hal tersebut. Sebagai hukuman, dirinya sama sekali tidak mengizinkannya untuk keluar dari ruang belajarnya selama seminggu.

Sungguh, itu adalah hari terburuk yang pernah ia alami. Sejak saat itu, ia mengabaikan semua keinginannya untuk bebas. Dirinya tidak ingin melukai hati wanita yang telah melahirkannya itu untuk kedua kalinya, cukup kali itu saja.

Hingga suatu hari, dirinya disarankan oleh salah satu guru untuk mendaftar di salah satu SMA terbaik di Jakarta. Hatinya pun seakan terketuk begitu mendengar saran tersebut, apakah kini Tuhan telah menjawab doanya untuk memberinya kebebasan?

Namun perasaan senang dalam hatinya tiba-tiba memudar, bagaimana perasaan ibu dan ayahnya kelak jika ia memutuskan untuk pergi?

Butuh beberapa hari hingga ia bisa menyatakan hal tersebut kepada orangtuanya, yang mana membuat suasana makan malam menjadi hening.

"Dengar, Nak. Ayah tau benar tentang sekolah yang kau tuju itu, namun apakah kau yakin bisa bertahan di Jakarta?" tanya ayahnya yang ragu, pemuda itu pun segera mengangguk mantap yang membuat pria itu menghela napas sebelum memberikannya izin.

Kini pemuda itulah yang terbelalak tidak percaya, dirinya benar-benar tidak menyangka bahwa ayahnya akan mengizinkannya untuk pergi.

"Ayah, Ayah benar-benar mengizinkanku untuk pergi?" tanyanya yang masih tidak percaya, sang ayah pun mengangguk. "Jika kau bisa berada di sekolah terbaik di Jakarta, maka bisa dipastikan kau akan berhasil masuk ke jurusan terbaik di Universitas terbaik pula."

Maka dengan itu, dirinya berusaha lebih keras dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Jika tujuannya selama ini adalah demi kesempurnaan, maka kini tujuannya adalah demi kebebasan.

Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya hari kelulusan tiba. Di saat semua rekan-rekannya sedang sibuk merayakan kelulusan, dirinya sibuk untuk mengurus berkas-berkas untuk melanjutkan ke sekolah impiannya itu melalui jalur prestasi.

Jika memang sudah tertulis dalam buku takdir, maka hal itu benar-benar terjadi. Namanya berada di dalam daftar nama-nama yang dinyatakan lulus ke sekolah tersebut, yang mana untuk pertama kalinya dirinya menangis bahagia. Dirinya bertekad untuk berubah, dirinya mau memiliki banyak teman. Sudah cukup ia mengisolasi dirinya sendiri dari dunia, walaupun di saat yang sama dirinya pun merasa takut akan hal itu.

Apakah dirinya benar-benar bisa bertahan di Ibukota kelak?

Dirinya pun menggelengkan kepalanya untuk menghilangkan segala ragu yang muncul dalam benaknya, tekadnya sudah bulat.

Dibantu oleh kedua orangtuanya, akhirnya ia menjatuhkan hati kepada salah satu kost yang mana tidak butuh waktu lama hingga ia akhirnya benar-benar pindah ke sana.

***

"Hai! Perkenalkan, aku Thornie dari Kalimantan!" sapa seorang pemuda yang kemudian menarik tangannya paksa dan menjabatnya, aura keceriaan terpancar jelas dari dirinya. "Kita adalah rekan sekamar, jadi salam kenal!"

Senyum tipis nan kaku pun terukir di bibirnya, dirinya pun membalas jabat tangan pemuda itu. Namun kini dirinya yakin akan satu hal, dirinya tidak akan pernah menyesali keputusannya ini.

[ Collab ] Ramadhan: Di Kost Ganteng [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang