#KostDiary : Raden Mas Ali Glacier

105 19 0
                                    

“Ngelukis mulu. Nggak bosen?" tanya Supra sambil sambil membuka pintu kamarnya. Pria itu mendapati Glacier sedang sibuk melukis dengan santainya di kamar dengan krayon 12 warna miliknya.

“Suka-suka gue, dong!" jawab Glacier dengan nada sinis, “Asal lo tau. Ini bukan urusan lo!"

***

Glacier dulu pernah ditanya oleh seorang guru kelas saat ia masih duduk di kelas 2 SD. Guru itu bertanya kepada setiap siswa tentang cita-cita. Sejenak, Glacier sempat berpikir bahwa ia ingin menjadi Guru. Sebab, di TK, ia dapat mengenali beragam pengetahuan dari guru yang senantiasa sabar untuk mendidik para siswa semua. Terlebih, ia memiliki kisah tersendiri yang tak akan pernah ia lupa, bahkan juga tak pernah dilupakan oleh guru TK-nya mungkin. Sebab, setiap kali Ibunya bertemu dengan beliau, selalu saja nama Glacier disebut untuk menanyakan di mana dia sekolah sekarang dan bagaimana keadaannya. Itu artinya, ia mengenal betul bagaimana tingkah bocah bangsawan ini saat diajarnya dulu.

Cerita ini dimulai ketika Glacier terpaksa berangkat sekolah tanpa arahan dari Ibu, saat itu Glacier berada di rumah kakek dan neneknya karena Ibunya harus menginap di rumah sakit untuk persalinan atas kelahiran adiknya. Sehingga, nenek yang saat itu tidak tahu tentang seragam apa yang harus dikenakan untuk berangkat sekolah hari itu, dengan ketidak-tahuannya memberikan seragam bebas untuk dipakai. Namun ketika di sekolah ternyata pakaian Glacier berbeda dengan teman-teman. Ketika itu ia memang belum begitu paham untuk menghafal hari dan seragam apa yang harus dikenakan. Maka ia tidak dapat mengelaknya.

Bukan hanya itu, kebiasaan Glacier yang setiap pagi disiapkan Ibu dengan bekal nasi dan lauk, hari itu tak juga ia dapatkan. Glacier pergi ke sekoah dengan tangan kosong. Sehingga sewaktu istirahat, ia hanya terdiam dengan sempat menaruh keinginan untuk makan seperti halnya teman-teman yang lain. Sebab, ia tak kuasa meminta pada nenek tentang perbekalan yang mestinya ia bawa. Sehingga ia hanya memberikan Glacier beberapa uang recehan untuk dibelikan makanan. Namun Glacier hanya mampu menerimanya tanpa berani membantah bahwa ia tidak terbiasa jajan saat sekolah. Glacier hanya mengenal masakan Ibu dan itulah yang selalu dinikmati waktu jam istirahat tiba.

Ternyata Ibu Guru paham mengapa Glacier terdiam tanpa membawa bekal. Ia juga tentu paham bahwa Ibunya sedang melakukan persalinan. Karena kakek yang memberitahukan tentang keadaan ibu ketika mengantarkan Glacier ke sekolah. Maka, sampailah kepadanya ebuah pertanyaan, “Kamu tidak makan, Nak?” begitu kira-kira. Pertanyaan lembut yang terlontar dengan penuh kasih sayang itulah yang membuat Glacier memilih untuk tidak menjawab pertanyaannya. Glacier hanya mampu membendung kesedihan hingga pertannyaan guru itu  tak ubahnya membuat air matanya menetes dan menangis sejadi-jadinya. Dipelukan Ibu Guru, Glacier seolah mendapatkan kasih sayang Ibu yang saat itu ia rindukan. Berharap, Ibu akan segera pulang dengan keadaan selamat. Itu saja. Sebab Glacier selalu merasa takut ketika mendengar seseorang yang ia sayangi harus berada di rumah sakit. Pikirannya begitu liar hingga membayangkan apa yang seharusnya tidak di pikirkan.

Maka Glacier pun diantar bersamanya menuju kantin lalu dibelikannya beberapa makanan yang dapat dinikmati bersama teman-teman. Namun Glacier sudah terlanjur larut dalam genangan kerinduan yang membuatnya seolah merasa tak bernafsu untuk makan. Sedangkan Ibu Guru membisikkan kata-kata padanya yang membuat ia berhenti menagis saat itu juga. Namun sayang, Glacier lupa kata-kata apa yang membuatnya kembali tersenyum. Ibu Guru yang lebih memahami dirinya saat Ibu sedang tidak bersamanya. Itu sebabnya, Glacier pernah bercita-cita menjadi guru. Karena ia bisa menjadi orangtua kedua bagi murid-muridnya. Itu saja alasannya, dulu.

Menginjak kelas empat SD, cita-citanya Glacier bukan lagi menjadi guru. Ia ingat betul ketika di ditanya oleh seorang guru Seni Budaya, Glacier menjawabnya dengan yakin bahwa ia ingin menjadi pelukis. Saat itu ia memang sedang dirundung kecintaan dengan aktivitas melukis yang dapat memberikan kepuasan baginya dalam mencurahkan perasaan. Selain itu, Glacier juga merasa terhibur dengan menggambar sesuatu setiap harinya tanpa tuntutan tugas. Disitulah Gkacier paham bagaimana harus mengembangkan ketertarikannya dengan bercita-cita sebagai pelukis. Saat mengenal dunia lukis yang mungkin tak seberapa bagi seorang anak SD, tapi saat itulah Glacier juga mulai bertarung dengan permasalahan, tuntutan, keinginan, pengorbanan, perjuangan, yang semua itu ia temukan saat dirinya baru mengenal dunia lukis. Benar saja, ia dihadapkan dengan berjuta tantangan yang mengejutkan.

Barangkali, mudah saja bagi kita untuk membeli peralatan sekolah atau bahkan membeli barang-barang demi menuruti hobi. Apalagi hanya sebuah crayon yang saat itu mampu dibeli dengan harga 50 ribu untuk mendapatkan 48 warna. Itu saja belum dirasa komplit bagi teman-teman sekelas Glacier. Ada yang memiliki lebih dari 50 warna yang berbeda dalam satu tas. Masih ditambah dengan pensil warna, kuas, pilox dan semacamnya agar menghasilkan hasil lukis yang indah. Bagi Glacier memiliki semuanya adalah keinginan terbesarnya saat itu. Namun ia tak bisa menuntut lebih. Sebab ia tahu keadaan ekonomi keluarga yang tak mungkin cukup untuk membeli semuanya. Maka ia putuskan sendiri untuk mengambil langkah tanpa merepotkan kedua orangtua. Glacier menaruh sisa uang jajan pada kotak kecil serupa wadah permen untuk ditabung dengan harapan kelak akan dapat membeli crayon warna seperti yang dimiliki teman-temannya.

Sebelumnya, memang ia pernah meminta pada Bapak untuk dibelikan crayon. Namun Bapak hanya membelikannya sebuah crayon yang berisi 12 warna saja. Meskipun ia meminta warna yang lebih saat itu, tapi ia paham, bahwa harga crayon saat itu sangat tinggi. Mungkin untuk membeli 28 warna, sekeluarga akan mengorbankan jatah makan dalam sehari. Maka ia dapat memahaminya untuk tidak meminta lebih. Meskipun Bapak tidak melarang, namun setidaknya raut wajahnya mengisyaratkan sesuatu. Itulah kisah Glacier, juga Bapaknya yang selalu mendidik dengan bahasa-bahasa isyarat yang terasa lebih mengena daripada kata-kata.

Dengan berbekal crayon berisikan 12 warna, yang tentu bukan semacam koper seperti yang Glacier ingin, namun disinalah Tuhan memberikannya kelebihan yang barang tentu tidak dimiliki orang lain. Glacier menemukan kreativitas. Di sinilah ia mengerti bagaimana mencampurkan warna agar menjadi warna lain yang berbeda. Hingga suatu saat pada lukisannya, ia merasa keindahan terasa nampak ketika bubuhan warna baru terlukis pada lembar buku gambar. Saat itulah, teman-temannya bertanya pada Glacier, bagaimana ia mendapatkan warna “baru” itu. Yang bahkan tidak dimiliki oleh mereka. Sebab Glacier mengkombinasikan beberapa warna hingga tercipta warna hijau lumut, tosca, ungu, biru, orange, merah, pink, yang beraneka ragam. Semenjak itulah kepercayaan diri Glacier mulai tumbuh meskipun dengan banyak kekurangan pada dirinya.  Glacier masih dapat menempuh jalan kreativitas. Maka tak dapat dipungkiri jika semangat melukisnya kian bertambah. Glacier menemukan kebahagiaan ketika bercengkrama dengan warna.

Sekilas tentang kehidupan Glacier bercinta dengan warna, bahwa kehidupan bisa saja dibuat dengan cara kita menciptakan warna baru dalam hidup. Seperti halnya 12 warna yang dapat dikombinasikan sehingga terciptalah warna baru. Sama halnya kehidupan manusia yang terkadang membutuhkan campur tangan orang lain untuk membangun rasa syukur dan kebahagiaan. Sebab, kekurangan yang kita miliki terkadang yang memberi arti dan mengingatkan kita pada sesuatu yang tidak disangka-sangka dapat kita lakukan atas kehendak Tuhan.

[ Collab ] Ramadhan: Di Kost Ganteng [✅]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang