31

104 9 6
                                    

Di taman yang teduh dekat tempat tinggalnya, Juyeon merasa cemas karena sudah satu jam lamanya ia tidak bisa menghubungi Hyunjae. Harusnya hari ini hasil ujian dan peringkat mereka diumumkan. Tidak sabar untuk memberitahu Hyunjae tentang prestasinya, Juyeon gelisah karena kesepakatan mereka untuk saling memberitahu saat hasil ujian keluar.

“Peringkat pertama paralel,” ucapnya, “Aku harus memberitahu Hyunjae tentang beasiswa penuh yang akan kudapatkan di universitas nanti.”

Namun, kegelisahan semakin menghimpit saat panggilannya terus tak terjawab. Juyeon berusaha menenangkan dirinya sendiri, berulang kali meyakinkan diri bahwa Hyunjae pasti baik-baik saja. Namun, bayangan-bayangan negatif mulai menyelinap ke dalam pikirannya, menciptakan keraguan yang sulit diatasi.

“Tidak, aku harus percaya pada Hyunjae.” Pikirnya, berusaha mengusir keraguan itu. “Dia pasti bisa menghadapi apapun yang terjadi.”

•••

Di pinggir lapangan sekolahnya di siang hari mendung itu, Hyunjae terus bergumam resah tidak karuan. Pikirannya terus menggelinding dalam gelombang kekhawatiran yang tak berujung. Bahkan air matanya pun telah kering karena sudah terlalu sering mengalir.

Fakta bahwa ia hanya mendapatkan peringkat lima paralel di sekolahnya seolah menjadi beban berat yang terus menghimpitnya. Rasanya seperti sebuah kegagalan besar yang tak termaafkan, sebuah bayangan yang mengejar-ngejar di setiap langkahnya.

Hyunjae terus bergelut dengan pikirannya yang sudah sangat berantakan di dalam sana. Ia merenungkan masa depan yang akan datang, di mana ia dijadwalkan untuk berkuliah di sebuah kampus di Kanada. Pemikiran ini menghantamnya seperti badai, karena itu berarti meninggalkan negara tempat ia lahir dan besar. Meninggalkan semua kenangan indah, teman-teman yang sudah menjadi bagian dari kehidupannya, dan yang lebih menyakitkan lagi, meninggalkan Juyeon, sahabatnya sejak kecil.

Pada saat itu, Hyunjae merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tak berujung, di mana setiap pilihan membawa konsekuensi yang tak terelakkan. Yang ia tahu hanyalah bahwa apa pun keputusannya nanti, ia akan membawa hati yang penuh kerinduan dan kebingungan.

•••

Di depan pintu ruangan Ayahnya, Hyunjae berdiri dengan tubuh basah kuyup dan gemetar. Tangannya mengepal erat menggenggam selembar kertas hasil ujian, di mana peringkat kelima yang tertera di atasnya seakan menjadi hantu yang menghantui.

Diam-diam, Hyunjae merenung. Dia terjebak dalam pertarungan batin yang tak ada habisnya, terjepit di antara kenyataan yang keras dan harapan yang pudar. Bayangan masa depan yang telah ia impikan bersama Juyeon dan teman-teman lainnya tampak semakin kabur, semakin menjauh di cakrawala yang tak terjangkau.

Namun, dalam kebisuannya, Hyunjae menyadari bahwa dia harus merelakan segala bayangan dan rencana yang telah dibuat. Mungkin itu akan menjadi salah satu perpisahan terberat yang harus dia alami.

Tapi mengapa Ayahnya begitu keras memperjuangkan beasiswa untuknya? Apakah ini tandanya Ayahnya tidak ingin dia melanjutkan pendidikan di negara ini? Apakah Ayahnya sengaja ingin mendorongnya untuk kuliah di Kanada, mengikuti jejak pendidikan yang telah Ayahnya tempuh di sana dulu? Bahkan, Hyunjae menyadari bahwa biaya kuliah di Kanada akan jauh lebih mahal daripada di negaranya sendiri.

Dengan hati yang berat, Hyunjae merenungkan semua pertanyaan yang menghantuinya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ada di benak Ayahnya, tetapi satu hal yang pasti, keputusan ini akan membentuk jalan hidupnya ke depan.

“Ayah,” Hyunjae mengucapkan dengan suara yang lembut saat ia memasuki ruangan yang penuh ketegangan.

Ayahnya, yang duduk di balik meja kerjanya dengan ekspresi serius, segera memalingkan pandangannya dari dokumen yang sedang ia periksa. Meskipun terlihat jelas bahwa Hyunjae basah kuyup, Ayahnya tampaknya tidak tertarik untuk menyoroti hal tersebut. Matanya yang tajam menatap Hyunjae dengan ekspresi tak berubah.

“Bagaimana hasilnya?” tanyanya, suaranya datar tanpa sedikitpun kecemasan yang terlihat.

Hyunjae dengan hati-hati meletakkan kertas ujian basah itu di atas meja Ayahnya. Ia merasa tegang, menunggu reaksi Ayahnya dengan napas yang tercekat.

Saat Ayahnya melihat hasil ujian tersebut, wajahnya hanya menyunggingkan senyum miring yang menyiratkan ketidakpuasan. Tanpa ragu, ia membuang kertas itu ke dalam tempat sampah, seolah-olah itu tidak lebih dari sekadar sampah yang tak berarti.

“Baguslah kalau begitu,” ucap Ayahnya dengan nada tegas, suaranya tidak bergetar sedikit pun. “Tiga hari lagi kau berangkat ke Kanada. Semuanya sudah aku persiapkan.”

Kata-kata itu terdengar seperti pukulan berat bagi Hyunjae. Ia merasa kehilangan tanpa bisa mengekspresikan kekecewaannya. Tidak ada ruang untuk membicarakan harapannya atau meragukan keputusan Ayahnya. Hyunjae merasakan betapa dunianya hancur berantakan di hadapannya, namun ia memilih untuk menutupi perasaannya dengan mantap.

Di dalam hatinya yang terluka, Hyunjae tahu bahwa ia harus menerima nasibnya. Mungkin ada harapan yang sirna dan impian yang hancur, namun ia tidak punya pilihan selain mengikuti keputusan Ayahnya.

Air mata Hyunjae kembali mengalir deras, membasahi wajah yang sudah memerah. Dengan penuh kekecewaan pada dirinya sendiri, ia menunduk dalam kesedihan yang tak terucapkan. Segala upaya keras yang telah dilakukannya terasa tak berarti saat hasilnya berkata sebaliknya.

Meskipun Hyunjae telah membuat janji pada dirinya sendiri untuk berhasil, bahkan Ayahnya telah memberinya kesempatan, namun ia tetap gagal. Perasaannya sekarang adalah sebuah kekalahan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa telah kehilangan hak untuk melawan, terpuruk dalam keputusasaan.

“Maafkan Aku. Aku tidak bisa menepati janjiku sendiri.”

To Be Continued...

- 19.03.2024 -

[✓] Querencia | Jujae/Jumil ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang