3. Cemburu? Nggak Mungkin!

1.4K 112 11
                                    

Cahaya matahari mulai menyongsong di ufuk timur ketika Citra tengah bersiap-siap menuju sekolah. Gadis itu kini sedang duduk di depan meja rias setelah sebelumnya melaksanakan rutinitas mandi pagi. Wajahnya yang memang tirus dan kecil kini tampak lebih segar. Bibirnya pun sudah merah merona walau tanpa pewarna bibir.

Sembari menyisir rambut panjangnya Citra menikmati semilir angin pagi yang bertiup melalui jendela kamarnya. Setiap pagi ia memang selalu membuka jendela kamar agar udara dapat masuk dan kamarnya tidak terasa pengap. Hal itu juga sudah diajarkan oleh mamanya sejak dulu dan kini Citra menjadi terbiasa meskipun sang mama tak lagi membersamainya. Hal-hal yang dulu harus ia lakukan setelah mendapat omelan dari mamanya pun kini sukarela Citra lakukan.

Hari ini Citra memutuskan untuk membiarkan rambut panjangnya terurai. Wajahnya sedikit ia poles dengan bedak tipis dan bibirnya ia beri pelembab yang tak menimbulkan warna mencolok.

Setelah selesai bersiap-siap Citra meraih tasnya kemudian bergegas menuju ruang makan. Rumahnya yang hanya terdiri dari satu lantai membuat Citra tak perlu repot naik-turun tangga.

Ketika memasuki ruang makan hidung Citra langsung dapat menghirup aroma lezat dari nasi goreng buatan Papanya. Bibir gadis itupun melengkung membentuk senyum manis paling tulus saat mendapati sang Papa sedang sibuk meletakkan wadah berisi nasi goreng di atas meja kemudian mengisi gelasnya dengan susu hangat.

Pemandangan seperti ini sudah terjadi sejak 2 tahun yang lalu. Papa yang mencoba menggantikan peran mendiang mamanya menggunakan dapur dan segala peralatan yang tersedia. Padahal, Citra tahu betapa dulu Papanya sangat bergantung pada sang mama. Ya, pada akhirnya kepergian seseorang akan mengajarkan orang-orang sekitarnya untuk belajar melanjutkan hidup tanpa kehadiran mereka. Belajar melakukan hal-hal yang dulu nyaris tidak pernah mereka lakukan.

"Pagi, Papa!" sapa Citra dengan nada ceria.

"Pagi anak Papa!" balas pria yang kerap disapa Hans itu.

Ia lekas tersenyum ketika melihat putrinya sudah duduk manis di kursi.

"Baunya enak banget, Pa," puji Citra.

Hans terkekeh pelan sambil melepas celemek yang sejak tadi melindungi kemeja kerjanya dari cipratan bumbu dapur.

"Pasti, dong. Siapa dulu yang masak?" goda Hans sambil menaikturunkan alis tebalnya.

"Duda ganteng, dong," celetuk Citra.

Sontak saja tawa Hans terdengar memenuhi ruang makan. Kemudian pria usia 40 tahun itu mengusak gemas rambut putri semata wayangnya.

"Kamu ini. Bisa-bisanya Papanya dikatain duda," omel Hans.

"Kan emang benar. Btw, Papa nggak ada niat buat nikah lagi gitu?" tanya Citra, lalu memasukkan nasi goreng ke dalam mulutnya.

"Kenapa nanya gitu? Kamu pengin punya mama baru?" Hans balas bertanya.

"Emang Papa nggak pengin punya istri? Biar ada yang urus Papa. Kalo aku, sih, asal Papa bahagia aja," kata Citra dengan nada santai.

Padahal, sebenarnya gadis itu masih tidak rela dan mungkin tidak akan pernah rela posisi mamanya digantikan oleh wanita lain. Hanya saja Citra berusaha legowo dan berpikir dewasa dengan terlihat baik-baik saja serta mendukung Hans jika memang Papanya itu berniat menikah lagi.

"Papa juga, kok. Asal putri Papa bahagia, Papa juga bahagia. Sampai detik ini Papa merasa cukup dengan kita berdua," tutur Hans.

Mata pria itu memandang lembut dan penuh kasih pada Citra. Seketika membiaskan rasa hangat di hati sang putri.

Citra sungguh bersyukur memiliki Papa seperti Hans. Sosok Hans tidak egois apalagi meninggalkan Citra ketika dulu mereka sama-sama berduka kehilangan Rania. Citra tahu luka dan kesedihan Hans jauh lebih besar darinya. Namun, alih-alih fokus dengan kesedihannya sendiri, Hans justru menguatkan dirinya dan menjadi tempat Citra meluapkan duka kehilangannya.

SERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang