Suasana pagi kota Bandung selalu menjadi hal yang paling Citra nantikan sejak saat kepindahannya ke kota itu. Tidak seperti Jakarta yang selalu diwarnai polusi udara dan suara, pagi di kota Bandung baginya terasa menenangkan. Jika di Jakarta ia hanya akan mendengar gonggongan anjing tetangga di pagi hari, maka di Bandung Citra akan disambut oleh kicauan burung dan sejuknya udara pagi tepat saat ia membuka mata.
Sekarang tepat jam 7 pagi, dan Citra sudah berkutat di dapur sejak 40 menit yang lalu. Hari ini memang hari Minggu, tetapi tak lantas memicu Citra untuk bermalas-malasan. Apalagi semalam ia ingat bahwa papanya pulang begitu larut akibat pekerjaan yang sedang butuh perhatian ekstra. Oleh karena itu, pagi ini Citra yang bangun lebih pagi dan menyiapkan sarapan untuk Hans.
Senyum gadis itu merekah sempurna kala menatap meja makan yang sudah tersedia menu sarapan kesukaan papanya. Menu sarapan yang dulu selalu dibuat oleh Rania. Tentu saja rasanya tidak akan pernah seenak masakan wanita cantik itu, tetapi Citra tetap ingin menyajikannya demi sedikit mengobati kerinduan Hans terhadap istrinya.
"Wah-wah! Anak Papa rajin banget, ya. Pagi-pagi udah bangun, masakin sarapan buat Papa lagi." Pujian bernada antusias itu datang bersamaan dengan sosok Hans yang memasuki ruang makan.
Pria itu kini sudah tampak rapi dengan kemeja berwarna biru dongker berpadu celana bahan hitam. Rambutnya yang pendek disisir rapi dan klimis serta mengekspos dahi putih dan alis tebal yang menambah kesan tegas pada fitur wajahnya. Namun, jangan salah, di balik kesan tegas yang tergambar di wajahnya, Hans adalah pribadi yang hangat dan penyayang. Terbukti dari bagaimana kini pria itu menghampiri putrinya dan mengusap lembut puncak kepalanya. Pandangan penuh apresiasi pun diberikan sebagai respon atas kerja keras sang putri.
"Pagi, Papa," sapa Citra ceria.
"Pagi anak Papa yang paling cantik," balas Hans seraya mengusak gemas puncak kepala putrinya.
Keduanya pun lekas duduk di kursi masing-masing dan memulai ritual sarapan pagi dengan diiringi obrolan ringan seperti biasa.
Citra paham sekali bahwa sejak kepergia Rania suasana rumah tak lagi sehangat dulu. Dapur dan ruang makan yang biasanya menjadi tempat paling menyenangkan bagi Citra, kini tak lagi semenyenangkan dulu. Pagi yang selalu terasa hangat karena kehadiran papa dan mamanya, kini harus dengan sukarela ia lalui hanya bersama sang papa. Sempat terasa sulit dan tidak adil bagi Citra. Namun, seiring dirinya bertumbuh, akhirnya Citra paham bahwa dunia memang tidak pernah adil pada siapapun termasuk dirinya dan keluarga kecilnya.
"Papa nggak pengin liburan gitu?" tanya Citra seraya menyuapkan nasi goreng.
"Kenapa? Citra pengin liburan sama Papa?" Hans balas bertanya.
"Iya. Tapi nanti kalau aku udah selesai tes masuk kedokteran," jawab Citra seraya memasang senyum lebar.
Mendengar jawaban sang putri sontak saja Hans membalas dengan senyum penuh rasa bangga. "Papa selalu doain yang terbaik buat kamu, Sayang," ucap Hans.
"Terima kasih, Papa," tutur Citra dengan tulus.
"Oh, iya. Gimana kabar Raden?"
Senyum yang tecetak di bibir Citra seketika sirna. Nama Raden yang terlontar dari Hans-lah penyebabnya.
"Kok langsung cemberut gitu mukanya? Kenapa, hm? Raden masih sering jailin kamu, ya?" terka Hans.
Citra dengan cepat menggelengkan kepala, menyangkal dugaan papanya. "Nggak, kok, Pa."
"Terus? Kenapa? Atau jangan-jangan dia bikin ulah lebih dari itu?" selidik Hans.
"Nggak, kok, Pa. Citra cuma sebel aja sama dia karena kalo di sekolah suka banget bikin ulah," dusta Citra.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
Genç KurguKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...