Langit sudah sangat gelap oleh mendung ketika Citra duduk di hadapan pusara sang mama. Seragam sekolah masih melekat di tubuhnya. Tentu karena Citra langsung ke makam sang mama begitu jam pulang tiba.
Citra memandang sendu nama Rania yang terukir di batu nisan. Lalu, tangannya dengan lembut mengelus ukiran nama itu. Ada kerinduan yang begitu menggebu di dalam hatinya. Kerinduan yang bahkan tak akan sirna meski dengan sebuah pertemuan. Karena pertemuan yang bisa Citra harapkan hanya melalui alam mimpi. Faktanya dalam dunia nyata mamanya telah tiada.
Dalam keheningan itu, Citra terus melantunkan kerinduan dalam hatinya, seperti seruling merdu yang menyanyikan lagu kesedihan. Rania, mamanya, sosok yang telah tiada namun tetap hidup dalam ingatannya. Ia merindukan pelukan hangat dan senyuman lembut yang selalu menyambutnya di setiap langkahnya. Ia merindukan bagaimana Rania selalu ada setiap saat Citra merasa butuh untuk didengarkan. Bukan berarti selama ini sang papa tak melakukannya. Bukan berarti selama ini Hans tak mempedulikannya. Justru Hans adalah sosok yang paling peduli dan menyayangi dirinya. Namun, disaat-saat tertentu Citra tak bisa membohongi dirinya bahwa ia amat rindu sosok Rania.
"Bisa aja, kan, ternyata selama ini dia jadi perusak rumah tangga orang makanya sekarang lo yang harus nanggung karmanya."
Namun, di tengah kerinduan yang memenuhi jiwa Citra, terbersit pula kegelisahan yang mendalam. Hatinya berontak ketika ingatannya menyentuh sosok Raden, mantan kekasih yang kini berada di sekolah yang sama dengannya. Kini Citra kembali mengingat bagaimana dengan entengnya Raden menjelek-jelekkan Rania tepat di depannya.
Citra merasakan kebencian yang masih membara di dalam dirinya. Betapa ia merasa terluka oleh Raden, tidak hanya karena perpisahan mereka, tetapi juga karena luka yang dibawa Raden kepada mendiang mamanya. Citra masih mampu bertahan jika cowok itu hanya menghina atau mengusik hidupnya bahkan menyebar gosip tentang dirinya yang selingkuh saat dulu mereka masih pacaran. Namun, relung hati Citra tak sanggup lagi berdiam diri ketika mulut Raden sudah dengan lancang membawa-bawa mamanya.
Rasa sakit itu menusuk jantung Citra seperti belati tajam. Ia meratapi kesalahan besar yang pernah dilakukannya, menyerahkan hatinya kepada sosok yang sekarang menjadi sumber penyesalannya. Sosok yang kini kembali, tetapi hanya mampu menorehkan luka di setiap hari-harinya.
Dalam keheningan itu, di antara kerinduan dan kebencian, Citra menangis. Air matanya menjadi saksi bisu dari perjalanan emosinya yang rumit. Dan di hadapan pusara yang menyimpan kenangan akan mamanya, ia bersumpah untuk tidak lagi membiarkan dirinya terjatuh pada sosok yang salah, seperti yang pernah ia lakukan pada Raden.
Sempat terbesit keinginan untuk membalas dendam pada cowok itu karena sudah menyakitinya hingga sedalam ini. Namun, akhirnya Citra menghempas jauh-jauh pemikiran itu. Citra tak ingin amarah sesaatnya malah membawa dirinya pada petaka tak berujung. Citra juga tak ingin mengecewakan mamanya karena menjadi sosok pendendam. Padahal, sejak dulu Rania selalu mewanti-wanti dirinya agar menjadi sosok yang pemaaf. Sebab, menaruh dendam pada orang yang telah menyakitinya tak akan berguna. Justru hanya akan menimbulkan keresahan di hidupnya.
Kembali Citra mengusap nisan Rania. Meski hatinya teramat pedih, tetapi bibirnya tetap memancarkan senyum. "Makasih, Ma. Makasih karena udah jadi mamaku. Aku kangen mama," lirih Citra.
Bertepatan dengan air mata yang jatuh untuk kesekian kalinya, langit yang sejak tadi kelabu oleh mendung pun menurunkan rintik-rintik hujan. Sore itu Citra pun kembali ke rumah dengan tubuh basah kuyup. Hatinya yang sedang pilu membuatnya berpikir bahwa menyiksa diri dengan membiarkan hujan menjatuhinya bertubi-tubi adalah hal yang tepat. Citra tahu betul akan tubuhnya yang tak tahan dingin dan hujan. Ia lebih tahu daripada siapapun bahwa ia akan jatuh sakit hanya karena kehujanan. Namun, bukannya berhati-hati dan menjaga diri dari hujan, Citra justru sengaja membiarkan dirinya kehujanan agar ia jatuh sakit. Sakit pada tubuhnya mungkin akan mampu mengalihkan sakit di hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
Novela JuvenilKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...