18. Dongeng yang Nyata

930 154 49
                                    

"Saya nggak akan membiarkan Tante keluar dari sini sebelum Tante meminta maaf!"

Citra masih berusaha menekan desakan amarah yang berusaha menguasai seluruh pikirannya. Gadis itu masih mencoba untuk tetap bersikap sopan meskipun wanita yang kini ada di hadapannya telah bertindak amat kelewatan. Bahkan, setiap kata yang dilontarkan pun terus bergaung dalam benak Citra. Kata-kata yang menuduh dan merendahkan mendiang mamanya. Sosok yang setiap malam selalu ia rindukan peluk hangatnya.

"Minta maaf!" desis Citra.

Hans lekas meraih pundak Citra. Tampaknya pria dewasa itu berniat mencegah segala kemungkinan yang terjadi. Hatinya tak kalah sakit dengan hati Citra. Ia juga merasa sangat tak terima mendiang istrinya dituduh sedemikian rupa, namun di sini ia adalah orang dewasa. Perannya sangat dibutuhkan. Sikap tenangnya perlu dipertahankan demi melindungi sang putri.

"Sayang ...," panggil Hans dengan suara lembut.

"Kenapa diam? Mendadak gagu? Siapa yang dari awal datang secara tiba-tiba dan bikin keributan di rumah saya? Kenapa sekarang Tante malah diam aja? Nggak tau caranya minta maaf?" sinis Citra.

Bola mata Sarah tampak nyalang menyorot tepat di inti mata Citra. Ada gulungan amarah yang tersirat di mata kuyu wanita itu. Apalagi setelah mendengar ucapan Citra yang begitu sinis dan berani.

"Ma, a-ayo kita pulang!" ajak Raden. Suaranya bergetar seperti seseorang yang baru saja mendengar berita duka.

Bibir pucat Citra lekas menyunggingkan senyum sinisnya. "Pulang? Setelah berhasil bikin keributan di sini, sekarang kalian mau pergi gitu aja? Setelah puas menuduh dan menghina mama saya, kalian mau seenaknya pergi? Hebat! Nggak nyangka saya kalau ternyata ada manusia yang semenjijikkan ini," ungkap Citra sembari terkekeh pelan. Kekehannya mengandung penghinaan yang langsung menyulut kembali amarah Sarah.

"Jaga mulutmu, ya! Anak kurang ajar! Beraninya kamu--"

"Minta maaf!" bentak Citra seraya menerjang Sarah.

Kedua tangan Citra sudah mencengkeram kerah baju Sarah dengan kuat. Terlalu kuat hingga kini wajah dari Mama kandung Raden itu tampak memerah akibat jalan napasnya terhalang cekikan Citra.

"Mama!" seru Raden terkejut melihat serangan Citra pada mamanya.

Sementara Hans langsung menghampiri dua perempuan beda generasi itu. Ia berusaha menjauhkan Citra dari Sarah. Namun, entah kenapa hari ini tenaga Citra begitu kuat.

"Sayang, lepas, Nak. Citra, ini Papa! Tolong dengar Papa, sayang," pinta Hans.

Nyalang, Citra menatap mata Sarah yang mulai membeliak. "Berani sekali Tante menghina mama saya. Berani sekali Tante datang ke sini dan mengganggu ketenangan mama saya. Tante pikir ... Tante siapa? Tante akan menyesal. Tante pasti akan dapat karma atas semua ini," bisik Citra persis orang sedang kerasukan.

"Citra, dengar Papa! Lepas, Nak." Hans masih berusaha menyadarkan Citra yang kini sepenuhnya dibutakan oleh amarah.

Hans bahkan nyaris tak mengenali putrinya sendiri. Tingkah laku dan sorot mata gadis itu sungguh asing bagi Hans. Kini, di matanya Citra benar-benar seperti orang lain.

Tak kunjung berhasil menyadarkan sang putri, akhirnya Hans melakukan cara terakhir. Ia peluk bahu Citra dengan lembut dari belakang. Bibirnya yang gemetar memberikan kecupan-kecupan ringan seperti yang selama ini sering ia lakukan.

"Citra ... sayang. Dengar Papa, Nak," mohon Hans dengan suara lirih nan pilu.

Bulir-bulir air mata perlahan menetes, membasahi wajahnya.

"Papa sayang sekali sama Citra begitu pun mama. Sadar, Nak. Mama akan sedih kalau Citra seperti ini." Lagi, Hans memohon penuh kepiluan.

"Citra ...." Gemetar, Raden menyebut nama gadis itu.

SERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang