Ada yang masih nyimpen cerita ini di library nggak sih? Semoga masih ada ya. Nih, aku berusaha update lagi.
Thank you buat yang masih setia nungguin kelanjutan cerita ini.-------
"Raden? Kamu ngapain?"
Cowok itu langsung menoleh ketika suara yang teramat familiar baginya terdengar. Raden langsung memasang cengiran lebar begitu melihat sang nenek berada di ambang pintu dapur.
"Pagi, Nek!" sapa Raden.
Wanita tua itu tak langsung menanggapi sapaan cucunya. Kini, ia justru mengerutkan kening. Jelas ia heran karena mendapati cucunya berada di dapur saat hari masih sepagi ini. Sungguh pemandangan yang tidak biasa.
Nenek Murni menghampiri Raden yang berdiri di depan microwave.
"Kamu ngapain? Tumben jam segini udah bangun?" tanya Nenek Murni.
Sesekali wanita itu melirik microwave yang menjadi pusat perhatian cucunya.
"Raden lagi bikin brownies panggang, Nek," jawab Raden.
"Bikin brownies?" pekik Nenek Murni.
Diiringi ekspresi polos tak berdosa, Raden mengangguk berkali-kali.
"Kamu serius? Goreng telur aja gosong. Ini malah bikin brownies panggang. Aduh, Raden! Jangan aneh-aneh, deh. Nenek nggak mau rumah ini kebakaran gara-gara eksperimenmu, ya," omel Nenek Murni seraya berkacak pinggang.
Omelan neneknya sontak memicu raut cemberut di wajah Raden. Jelas ia tak terima diingatkan akan kemampuan memasaknya yang sangat-sangat minus.
"Goreng telur sama bikin brownies panggang kan beda, Nek. Pasti hasilnya juga beda, dong," kilah Raden.
"Bedanya apa? Lebih hancur? Lebih gosong?" kritik Nenek Murni.
"Sama cucu sendiri gitu ama sih, Nek. Nggak percaya banget kalau Raden bisa masak," sungut Raden.
Cowok itu kemudian mendekati microwave yang baru saja berbunyi, menandakan waktu memanggang sudah selesai. Raden pun lekas membuka alat itu kemudian mengeluarkan brownies panggang hasil karyanya dengan penuh hati-hati.
Masih di tempat yang sama, kini Nenek Murni memperhatikan dengan seksama gerak-gerik Raden. Termasuk bagaimana cowok itu memindahkan brownies panggang buatannya ke kotak bekal.
"Belajar dari mana kamu? Kok bisa browniesnya nggak gosong?" selidik Nenek Murni.
"Ada deh."
Mata sang Nenek semakin memicing curiga pada Raden. Namun, tampaknya Raden tidak terlalu perduli pada Neneknya. Kini, cowok itu justru sibuk senyum-senyum sendiri sambil memandang brownies panggang hasil buatannya.
Raden ingat kalau dulu Citra suka makanan manis ini. Cewek itu pernah cerita kalau mamanya sering membuat brownies panggang yang akhirnya jadi makanan favoritnya.
Hari ini Raden berniat memberikan brownies buatannya pada Citra. Semoga saja Citra mau menerimanya. Raden akan lebih bersyukur lagi kalau cewek itu sudi mencicipi brownies ini.
"Malah senyum-senyum sendiri. Aneh kamu, Den. Lama-lama tingkahmu lebih aneh dari si Freed," komentar Nenek Murni.
Wajah Raden berpaling ke arah neneknya yang kini mulai sibuk menyeduh teh hangat untuk dirinya sendiri.
"Nenek gitu, ya. Cucu sendiri malah disamain sama kucing gembel begitu," gerutu Raden.
"Enak aja. Freed bukan kucing gembel, ya. Dia itu kesayangan Nenek," sahut Nenek Murni, tidak terima kucing kesayangannya dikatai gembel.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
أدب المراهقينKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...