13. Sebuah Keinginan

1.1K 114 37
                                    

"Sayang! Raden!"

"Kamu jangan marah, dong!"

"Ih, Raden!"

Para murid yang berkeliaran di sekitar koridor kelas 12 kini sudah menjadikan Liana dan Raden sebagai pusat perhatian. Sebab, dua orang yang sudah beberapa minggu menjalin hubungan itu terlihat sedang bermasalah. Liana sibuk mengejar Raden sementara yang dikejar malah dengan sengaja menulikan telinga, enggan peduli pada sang pacar.

"Sayang, ih!" rengek Liana.

Gadis bersurai kecokelatan dengan ujung curly itu terlihat menahan kesal. Tentu saja karena upayanya dalam meminta maaf pada Raden sama sekali tak membuahkan hasil. Alih-alih mendapatkan maaf justru kini ia malah jadi pusat perhatian. Imejnya sebagai primadona sekolah yang populer dan dikejar-kejar para cowok seketika padam karena kini Liana malah kedapatan sedang mengejar Raden. Sial sekali.

"Aku minta maaf, sayang! Aku nggak maksud bikin kamu malu," mohon Liana yang kini berhasil menghadang langkah Raden.

Gadis itu merentangkan kedua tangannya. Benar-benar menunjukkan bahwa dia tak akan membiarkan Raden pergi sebelum memaafkannya. Ya, meskipun sebenarnya dia tak benar-benar serius meminta maaf. Apakah Liana merasa bersalah? Tidak. Dia justru senang karena 3 hari lalu berhasil mengotori seragam Citra dan mempermalukan rivalnya itu di depan umum.

"Minggir!" usir Raden dengan nada datar. Dua tangannya tenggelam dalam saku celana sementara netranya menatap dingin kepada Liana.

"Nggak! Aku nggak akan minggir sebelum kamu maafin aku," bantah Liana.

Beberapa murid yang lewat pun menatap Liana dengan bermacam spekulasi. Hingga akhirnya Liana memelototi mereka.

"Apa lo lihat-lihat? Gue colok juga mata lo!" sentak Liana super galak.

Diam-diam Raden bergidik ngeri. Udah gila kali, ya, gue pacarin cewek jadi-jadian begitu. Batin Raden.

"Jadi, gimana? Kamu mau maafin aku, kan?" desak Liana seraya memasang ekspresi imut yang berlebihan, membuat Raden mual saja.

"Gue kecewa sama lo, Na," ujar Raden.

"Aku kan udah minta maaf. Lagian aku lakuin itu juga bukan tanpa alasan. Aku sebal aja sama si Citra karena dia--"

"Karena dia apa?" potong Raden terlampau penasaran. Nama Citra selalu terdengar menarik bagi Raden. Lebih tepatnya menarik untuk diusik.

"Karena dia kelihatan masih ada rasa sama kamu," tandas Liana.

Raden menautkan kedua alisnya, merasa sanksi terhadap apa yang dikatakan sang pacar. Citra? Masih menyimpan rasa padanya? Big No! Raden tidak ingin percaya hal itu karena jika dilihat dari seperti apa sikap Citra padanya, maka Raden bisa dengan yakin menyimpulkan bahwa gadis itu memang sudah sepenuhnya move on darinya.

"Aku serius, Den! Citra masih suka sama kamu!" Liana bersikeras meyakinkan Raden untuk mempercayai ucapannya.

"Nggak mungkin, Na," bantah Raden.

"Apanya yang nggak mungkin? Jelas-jelas aku bisa tahu dari matanya setiap kali dia lihat kita berdua," oceh Liana sambil menahan kesal. Membayangkan Citra masih menyukai Raden sungguh berhasil merusak suasana hatinya.

"Ck! Oke. Gue maafin lo. Tapi jangan ungkit-ungkit masalah itu lagi," pinta Raden.

Senyum Liana langsung merekah sempurna. Kemudian gadis itu langsung menggamit lengan Raden dan menyeretnya menuju kantin.

"Liana, lo belum jawab permintaan gue!" tegas Raden.

Liana mengangguk tanpa pikir panjang. "Iya-iya. Udah nggak usah bahas itu lagi. Mending sekarang kita ke kantin. Aku udah lapar banget, nih," cerocos Liana.

SERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang