Ruangan kamar Citra yang didominasi warna krem dan putih itu terasa sunyi. Si pemilik kamar kini sedang fokus mengerjakan PR fisika yang akan dikumpulkan seminggu lagi. Citra perlu segera menyelesaikannya karena takut nanti akan tertumpuk dengan tugas-tugas yang lain.Disela-sela aktivitas menulisnya tiba-tiba saja pulpen yang ia gunakan tak berfungsi. Bisa dipastikan kalau benda itu sudah kehabisan tinta. Sehingga kini Citra langsung menarik laci meja di sebelahnya untuk mengambil pulpen yang baru.
Benda yang ia cari langsung terdeteksi oleh netranya. Namun, bukannya langsung mengambil pulpen dan melanjutkan tugasnya, kini Citra malah tertegun. Mata cokelatnya menatap lamat sebuah pulpen yang berada di antara pulpen-pulpen lainnya. Sebuah pulpen berwarna baby blue dengan ukiran namanya di bagian penutup pulpen.
"Hadiah buat kamu. Biar semangat nulisnya. Ya, walaupun sekarang kamu nulisnya udah lebih sering di laptop."
"Dapat ide dari mana?"
"Ide apa?"
"Ide kasih aku kado pulpen."
"Dari aku sendirilah. Kamu lupa, ya? Pacar kamu ini, kan, jenius."
Kilas kenangan itu berputar memenuhi ruang kepala Citra. Hanya karena sebuah pulpen, kini ia malah harus mengingat semua itu. Hari-hari yang dulu baginya terasa begitu menyenangkan. Hari-hari di mana dirinya begitu semangat berangkat ke sekolah karena ke sekolah berarti ia bertemu Raden. Namun, kini saat mengingat nama cowok itu bukan lagi bahagia yang ia rasa melainkan sakit, nyeri pada sudut hatinya.
"... gue udah nggak peduli, Den."
Bohong. Bohong jika Citra bilang ia sudah tak peduli pada cowok itu. Bohong kalau melihatnya bersama Liana sama sekali tak mengganggunya. Nyatanya Citra hanya terlalu pandai memasang topeng di wajahnya. Dia kacau, hatinya hancur berkeping-keping. Namun, ia mampu menutupinya dengan ekspresi datar seperti yang selama ini ia lakukan.
Citra pikir hatinya sudah benar-benar sembuh. Tak ada lagi rasa yang tersisa untuk cowok itu. Namun, kini saat kembali bertemu Raden setelah beberapa tahun berlalu ternyata dia sama sekali belum melupakan perasaannya pada cowok itu. Selama ini Citra hanya terlalu keras menekan dirinya, memaksa hatinya agar melupakan Raden.
"Stop, Cit!" Citra bergumam gusar.
Ia kembali menutup laci mejanya kemudian duduk bersandar pada kursi belajarnya. Mata Citra terpejam sejenak guna mengatur emosinya yang mendadak tak karuan.
"Nggak usah ingat-ingat dia lagi. Dia cuma orang nggak penting yang numpang lewat di hidup lo," kata Citra pada dirinya sendiri.
Tepat saat matanya kembali terbuka, pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar.
"Citra, Papa masuk, ya!" pinta Hans.
"Iya, Pa!" balas Citra.
Pintu kayu berwarna putih itu terbuka. Sosok Hans dalam balutan kemeja dan celana santai tampak memasuki kamar putrinya. Pria itu lantas duduk di tepi ranjang menghadap Citra yang masih tetap di tempat semula.
"Tumben jam segini rapi banget. Papa mau ke mana? Mau ngapel, ya?" selidik Citra.
Hans terkekeh ringan. "Papa mau ngajak seseorang buat dinner berdua. Kira-kira dia mau nggak, ya?"
"Dinner? Berdua? Siapa? Papa ada gebetan?" Citra bertanya dengan antusias. Matanya tampak berbinar bahagia.
Citra sungguh bahagia jika memang akhirnya Hans mau melangkah maju dan menemukan pendampingnya. Namun, kala melihat pria itu tertawa geli, akhirnya Citra paham kalau orang yang dimaksud papanya itu tak lain adalah dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
Teen FictionKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...