Matahari pukul 10.00 bersinar garang di langit, mengirimkan sengatan panasnya ke lapangan tempat para siswa kelas 12 IPA 1 sedang melaksanakan pelajaran olahraga.
Kamis pagi itu, suasana lapangan terasa seperti oven, dengan udara yang berat dan terik menyelimuti setiap sudut. Keringat mengucur deras dari wajah dan tubuh para siswa, seolah-olah berpacu dengan detak jantung mereka yang semakin cepat.
Di lintasan lari, tampak para siswa yang memacu kedua kaki mereka untuk berlari mengelilingi lapangan. Di antara para siswa itu ada Citra yang kini tengah berlari santai, mengikuti instruksi guru olahraga untuk menyelesaikan lima kali putaran mengelilingi lapangan. Meski ia tidak berlari secepat teman-temannya, panas yang membakar tetap membuatnya kepayahan. Kaus olahraga yang dikenakannya kini melekat di tubuh, basah oleh keringat. Rambut pendeknya, yang biasanya tertata rapi, sekarang kusut dan lembap, menempel di dahi dan lehernya.
Setelah menyelesaikan putaran kelima, Citra berjalan ke arah tepi lapangan, di mana pohon rindang memberikan sedikit keteduhan. Naura yang juga terlihat lelah dan kepayahan, mengikuti di belakangnya. Keduanya lantas duduk di bawah naungan pohon, mencoba menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan detak jantung yang masih berpacu.
Tanpa banyak bicara, mereka segera meraih botol air mineral masing-masing dan meminumnya hingga habis. Kesegaran air dingin itu terasa seperti anugerah di tengah panas yang menyengat.
"Gila, ya! Hari ini panas banget. Matahari kayak di atas kepala," keluh Naura seraya mengipasi wajahnya yang agak memerah.
"Lebih gila lagi pak Danu yang nyuruh kita lari 5 kali putaran saat cuaca sepanas ini," lanjut Naura dengan nada menggebu-gebu.
"Dan lo bakalan tambah capek kalau nyerocos terus," sahut Citra. Wajahnya menggeleng beberapa kali sebagai respon atas kehebohan Naura dalam berkeluh kesah.
"Tapi pak Danu kelewatan, Cit. Kenapa pas cuaca sepanas ini kita malah disuruh lari keliling lapangan? Kenapa nggak olah raga yang lain aja?" Naura masih mengutarakan kekesalannya, mengabaikan ultimatum dari Citra agar dirinya berhenti mengomel supaya tak semakin lelah.
Gadis itu kembali mengibaskan tangannya dengan berlebihan, seakan-akan sedang berakting di atas panggung teater. Benar-benar gestur yang berlebihan, tapi berhasil menghibur Citra.
"Eh, Cit!" panggil Naura.
"Apaan? Lo mau ngomel soal apa lagi?" selidik Citra.
Gadis berponi dora itu menggeleng kaku, membantah dugaan sang sahabat.
"Gue mau jujur sama lo," cicit Naura. Entah ke mana keberanian dan perangainya yang cerewet mirip petasan rentek.
"Kenapa lagi lo?" selidik Citra masih dengan pandangan penuh tuduhan.
"Gue ... tapi lo harus janji nggak bakal marah!" desak Naura.
"Tergantung apa yang bakal lo bilang sama gue," sahut Citra dengan nada santai.
"Ih, Citraa!" rengek Naura. Gadis itu menggelayuti lengan Citra.
"Jadi, lo mau ngomong apa, Naura?" tanya Citra penuh kesabaran.
Tangan Naura beralih memilin-milin ujung kaus olah raga miliknya. "Gue ... gue jadian sama Altan," cicit Naura.
"Terus?"
Takut-takut Naura mengangkat wajah guna kembali bertemu pandang dengan sang sahabat.
"Lo nggak marah?" Naura bertanya penuh kehati-hatian.
Citra menaikkan salah satu alisnya. "Kenapa gue harus marah?"
"Ya, karena gue jadian sama cowok yang--"
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
Novela JuvenilKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...