Kasih ungkapan cinta buat cerita ini dungssss!
---
Citra berdiri di depan cermin sambil memperhatikan penampilannya. Tidak. Lebih tepatnya gadis itu sedang memeriksa kondisi tubuhnya. Tangan kanan Citra menyibak bagian bawah kaos oblongnya sehingga mengekspos bagian perut dan pinggangnya. Di sana ia melihat beberapa memar.
"Kok nambah lagi, sih?" heran Citra.
Raut wajahnya tampak dipenuhi kebingungan. Memar-memar itu sebenarnya sudah sering ia lihat di tubuhnya. Kadang beberapa hari saja akan hilang. Namun, hari berikutnya malah muncul lagi dan jumlahnya bertambah.
"Apa gara-gara jatuh di tangga seminggu yang lalu, ya?" terka Citra.
Citra ingat minggu lalu tubuhnya sempat berguling beberapa kali sebelum akhirnya menghantam tembok. Jadi, sangat wajar jika hal itu menimbulkan memar di tubuhnya. Namun, kenapa memarnya tak kunjung hilang?
"Kayaknya iya, deh," ujarnya membenarkan dugaannya sendiri.
Tok tok tok
"Citra, papa boleh masuk?"
"Masuk aja, Pa!" balas Citra, lalu secepat kilat ia beralih duduk di depan meja belajar.
Saat Hans memasuki kamarnya, Citra sudah memasang ekspresi pura-pura fokus dengan buku di hadapannya. Ia bahkan tak mau repot-repot menoleh ke arah papanya yang kini duduk di tepi ranjang tepat di belakangnya.
"Citra lagi sibuk, ya? Ada banyak tugas dari sekolah? Atau lagi belajar buat tes besok?" tanya Hans dengan nada bicara yang hangat seperti biasa.
"Iya, Pa. Ini lagi belajar ulang materi buat tes besok," terang Citra.
Pria berkaos lengan panjang warna navy itu mengangguk-angguk. Pertanda paham akan perkataan putrinya.
"Kakinya gimana? Udah mendingan?" Lagi, Hans melontarkan tanya.
"Udah. Udah sembuh kok, Pa. Udah bisa dibawa lari-lari."
"Kalau kamu sama Raden gimana? Udah baikan?"
Gerak tangan Citra yang tengah menulis seketika terhenti begitu sang papa menyebut nama Raden. Lalu, hela napas kasar Citra keluarkan sebelum merangkai kata serta mengatur ekspresi untuk menanggapi pertanyaan Hans.
Perlahan, Citra memutar kursinya menghadap Hans. Ia balas tatapan papanya dengan sorot mata penuh ketenangan. Berbanding terbalik dengan perasaannya yang kembali tak karuan hanya karena mengingat sosok Raden.
"Papa dalam rangka apa tiba-tiba nanya soal Raden?" tanya Citra.
Pria itu menghela napas kasar sebelum akhirnya berkata, "Papa cuma ingin memastikan kalau anak Papa nggak menjalani hari-harinya dengan beban kebencian dan dendam sama seseorang. Papa nggak rela kalau anak Papa harus membiarkan hari-hari baiknya rusak oleh emosi-emosi negatif itu."
Dua tangan Citra kini meremat sisi-sisi kaos oblongnya. Ia mencoba menahan gejolak yang menyesaki rongga dadanya.
"Jadi, maksud Papa ... Papa mau nyuruh aku untuk maafin orang itu? Papa mau aku berdamai sama dia dan melupakan semua yang udah dia lakuin ke keluarga kita?" serang Citra.
"Pa ... Raden dan mamanya itu jahat. Kalau aja bukan karena mereka, pasti mama bisa sembuh dengan bantuan om Oka. Kalau aja mereka nggak egois dan asal nuduh orang, pasti sekarang mama masih di sini sama kita," racau Citra.
Emosinya mulai tak stabil saat mengingat perbuatan Raden dan Sarah pada mendiang mamanya. Sarah menuduh Rania sebagai pelakor sementara Raden dengan mudah mempercayai omongan mamanya dan tak tertarik untuk memeriksa kebenarannya. Hanya berbekal kata-kata dari Sarah, cowok itu dengan tega menyakiti hatinya. Bahkan, Citra masih ingat dengan jelas kata-kata penuh hinaan yang Raden tujukan pada mamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
Teen FictionKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...