Hai, apa kabar? Ada yang nunggu cerita ini, nggak?
----
"Hai, Cit! Apa kabar? Gimana? Udah berhasil move on dari gue?"
Sumpah rasanya Citra ingin menendang wajah songong Raden Brengsek Bagaskara setelah mendengar pertanyaan cowok itu. Cara bicara Raden dan cara cowok itu menatapnya seolah menegaskan bahwa di matanya Citra memang tampak gagal move on.
Gagal move on? Seorang Citra Maharani yang selalu dikejar-kejar cowok?
"Enak aja! Dia kali yang gagal move on," sungut Citra.
Di depan cermin toilet, kini gadis itu memandang pantulan wajahnya. Terlihat wajahnya dipenuhi rona merah padam. Bukan karena tersipu, ya, tetapi karena sedang marah. Terlalu marah hingga rasanya Citra ingin meremas trakea mantan laknatnya itu.
"Sabar, Cit. Lo nggak boleh terprovokasi. Lo harus bersikap cuek. Anggap dia nggak ada," tutur Citra. Ia berusaha menormalkan deru napasnya yang sempat memburu tak karuan.
"Tenang ...."
"Rileks ...."
Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Tampaknya Citra berhasil memenangkan diri. Namun ....
"Nggak bisa! Dia nyebelin banget!" teriak Citra.
Beruntung sekarang toilet sekolah sedang kosong sehingga tak akan ada siswi yang berpotensi mengguyurnya dengan seember air karena terlalu berisik.
Wajah Citra kembali bersungut-sungut sebal. Bayangan wajah angkuh Raden, tatapan Raden yang meremehkannya, dan bagaimana cara cowok itu memperkenalkan diri di depan kelas. Semuanya terputar kembali di dalam kepala Citra. Ya, benar. Bukan hanya satu sekolah, tetapi kini Citra juga harus menerima kenyataan bahwa mereka berada di kelas yang sama.
Hidup Citra yang damai selama 2 tahun terakhir sepertinya harus berakhir karena kedatangan mantan pacarnya itu.Setelah puas meluapkan kekesalannya di dalam toilet yang sepi, kini Citra beralih membasuh wajahnya. Semoga dengan membiarkan air menyentuh wajahnya, maka rasa kesalnya akan ikut luntur.
Sekali lagi, Citra memandang pantulan wajahnya. Ia berusaha mengatur ekspresinya agar kembali tenang seperti Citra yang selama ini dikenal seantero SMA BinPres. Sosok Citra yang tidak terlalu ramah, tetapi juga tidak jutek. Citra yang berteman dengan siapapun, tetapi tidak pernah membiarkan mereka mengenal sisi dirinya yang asli. Tidak pernah membiarkan mereka masuk terlalu dalam di hidupnya. Singkatnya Citra tak ingin mempercayai siapapun selain dirinya sendiri dan papanya, satu-satunya keluarga yang ia punya.
Merasa sudah lebih tenang dan mampu mengendalikan diri, akhirnya Citra pun keluar dari toilet. Kedua kakinya yang dibalut sepatu pantofel hitam melangkah mantap menyusuri koridor kelas 12 yang tak terlalu ramai. Hari ini memang masih hari pertama, tetapi sudah ada beberapa guru yang mengajar di kelas. Mungkin karena mereka kini sudah berada di tingkat akhir sehingga para guru ingin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk membekali para muridnya.
"Cicit, lo dari mana aja, sih?" Pertanyaan pertama datang dari Naura, gadis bersurai pendek dengan poni dora anti badai yang sejak kelas 10 sudah mengikuti Citra kemana-mana.
Gadis itu menatap penuh rasa ingin tahu ketika Citra sudah duduk di sampingnya. Jangan salah paham. Bukan Citra yang ingin duduk berdampingan dengan Naura melainkan gadis itu sendiri yang memaksa ingin duduk dengan Citra.
"Toilet." Citra menjawab setelah jeda yang cukup lama.
"Toilet? Ngapain? Kok lama banget?" cerca Naura.
KAMU SEDANG MEMBACA
SERANA
أدب المراهقينKehidupan manusia selalu lekat dengan datang dan pergi, bertemu dan berpisah, memulai dan mengakhiri. Begitu pula dengan Citra. Disaat rasa cintanya pada Raden begitu menggebu, justru cowok itu mengucap kata selesai secara tiba-tiba. Tanpa memberi t...