15. Yang Belum Tentu Benar

1K 119 26
                                    

"Citra!"

Citra merasakan adanya cairan yang meleleh keluar dari hidungnya bertepatan dengan pekikan Naura. Tak hanya itu, kini kepalanya juga terasa pusing. Pandangannya sedikit buram dan terkadang berputar-putar.

"Cit, lo nggak apa-apa?" panik Naura seraya menahan tubuh Citra yang terhuyung.

Gadis berponi Dora itupun menatap tajam sosok Raden. "Ini semua gara-gara lo, ya!" hardik Naura.

Tak menunggu respon Raden, Naura pun lekas memapah Citra menuju UKS dengan dibantu oleh Ghofar. Sementara Raden kini berdiri termangu, memandang ke arah pintu kelas. Tempat terakhir ia melihat Citra sebelum kemudian benar-benar lenyap dari jangkauan netranya.

Cowok berlesung pipi itu lantas beranjak keluar kelas. Ia berdiri di depan tembok pembatas yang membuatnya mampu melihat lapangan. Lapangan luas yang sebelumnya menjadi tempat Citra menjalani hukuman dari pak Bahtiar.

Matanya kosong, pikirannya bergulat dengan berbagai perasaan yang bercampur aduk. Bayangan Citra yang mimisan tadi masih terekam jelas di benaknya.

Ia tidak menyangka bahwa perbuatannya akan berujung seburuk ini. Niatnya hanya iseng, sekadar mengerjai Citra dengan membuang buku PR-nya ke tempat sampah dan mengirim pesan palsu lewat ponsel Naura yang mengabarkan kalau Pak Bahtiar tidak masuk. Siapa sangka, Pak Bahtiar ternyata malah memberikan hukuman berat kepada Citra karena dianggap tidak mengerjakan tugas dan bertindak semena-mena. Citra yang terpaksa berlari di bawah terik matahari, hingga akhirnya mimisan dan harus dibawa ke UKS oleh Naura dan Ghofar.

Raden menghela napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia tahu, semua ini salahnya. Penyesalan menggaung di dalam batinnya, menggema semakin kuat seiring berjalannya waktu. Wajah Citra yang pucat dan keringat yang bercucuran tak bisa hilang dari pikirannya. Bagaimana jika terjadi sesuatu yang lebih parah? Pertanyaan itu terus mengusik hatinya.

Dalam kebingungannya, Raden menendang tutup botol kecil di dekat kakinya. Perasaan bersalah makin mendesak, tapi ia tak ingin meminta maaf. Harga dirinya terlalu tinggi untuk itu, apalagi kepada Citra, mantan pacar yang paling ia benci. Namun, bayangan Citra yang mungkin sedang terbaring lemah di UKS membuat hatinya semakin tidak tenang.

Ia berpikir, apa yang harus dilakukan sekarang? Permintaan maaf jelas bukan opsi yang ia pilih, meski hatinya berteriak untuk melakukannya. Raden menggigit bibir, mencoba mencari solusi lain. Haruskah ia diam saja dan berharap semuanya akan baik-baik saja? Atau mungkin ia bisa melakukan sesuatu yang lain untuk menebus kesalahannya tanpa harus meminta maaf secara langsung?

Raden melangkah mondar-mandir di lorong sekolah yang sepi. Ia ingat betapa bahagianya Citra saat mereka masih bersama, betapa tawa gadis itu selalu bisa membuat harinya lebih cerah. Namun, sekarang, semua berubah. Kenangan manis itu terasa seperti duri di dalam hati.

"Ck! Kenapa malah jadi flashback, sih?" gerutu Raden.

Ia berhenti sejenak, menatap ke arah lorong menuju UKS. Sebuah ide terlintas di benaknya. Mungkin, ia bisa mencoba memperbaiki keadaan tanpa harus berhadapan langsung dengan Citra. Ia bisa mencari tahu apakah ada yang bisa dilakukan untuk membantu Citra, setidaknya itu akan sedikit meringankan perasaan bersalahnya.

Raden menghela napas panjang sekali lagi, memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Di sana, ia bisa mencari buku referensi atau catatan yang mungkin diperlukan Citra untuk mengerjakan tugas yang terlewat karena insiden ini. Setidaknya, itu bisa sedikit membantu gadis itu tanpa harus mengorbankan egonya.

Dengan langkah berat, Raden mulai bergerak menuju perpustakaan. Ia berharap, apa yang akan dilakukannya ini bisa sedikit menghapus rasa bersalah di hatinya. Meski ia tidak bisa mengubah apa yang telah terjadi, setidaknya ia bisa mencoba memperbaiki sedikit dari kesalahan yang telah diperbuatnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukanlah pengganti yang setara dengan permintaan maaf yang tulus.

SERANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang