P.26

849 66 4
                                    

SHANI POV

Aku menghembuskan nafasku, mencoba menenangkan hati yang kacau pagi ini. Baru saja Gracia meminta izin padaku untuk pergi keluar kota dengan alasan suatu pekerjaan. Memang sih akhir akhir ini Gracia memiliki tugas luar kota. Namun kali ini firasatku mengatakan hal yang berbeda.

Memang tidak ada yang salah dari kata kata yang diucapkan. Tapi, aku merasakan berat hati ketika kepergiannya kali ini. Entah karena apa. Seperti akan ada sesuatu yang terjadi. Dan kejadian itu akan merenggut Gracia dari diri genggamanku.

Memang awalnya Gracia kuciptakan dari manusia pilihan yang menurutku dan orang lain itu cukup kuat. Lalu kukombinasikan dengan beberapa kekuatan yang aku miliki dan pelajari untuk menyempurnakan sosok Gracia. Sosok yang bertugas untuk menjadi Guardian di keluargaku.

Tapi setiap kekuatan pasti ada kelemahannya, dan itu mutlak adanya. Dan para musuhku tentu sudah mengetahui apa kelemahan dari kekuatanku itu. Jika kalian bertanya, mengapa mereka tidak menyerangku sejak dulu jika memang kelemahanku sudah diketahui? Salah satu alasannya adalah kehadiran Gracia. Aku juga selalu waspada terhadap lingkungan sekitar. Jadi mereka semua tidak bisa memojokkanku begitu saja. 

Kedua mataku kembali memperhatikan Gracia yang memasukkan beberapa baju ke dalam kopernya. Tidak semua, untuk lima hari kerja saja. Namun itu adalah waktu yang cukup untuk melenyapkan seorang Gracia. 

Baru saja aku hendak membuka suara, muncul Freya dari balik pintu tersebut lalu masuk dan mendudukkan dirinya di sebelahku. Otomatis aku menariknya agar lebih dekat dengan diriku.

"Papi beneran cuma lima hari aja kan di sana?" Freya memelukku dengan wajahnya yang cemberut. Gracia pun tersenyum kemudian mendekat dengan menggeret kopernya yang sudah siap. "Iya sayang. Papi cuma sebentar kok," ucap Gracia untuk menghilangkan wajah cemberut anaknya "Freya mau apa? Nanti papi beliin." Freya menggeleng.

"Freya mau papi pulang cepet aja." Gracia tersenyum lalu menghampiriku dan juga Freya  lalu dibawanya kami dalam pelukan hangat itu. Aku bergumam di dalam hati, meminta agar ini tidak menjadi pelukan terakhir untukku dan juga Freya.

Setelah melepaskan pelukannya, Gracia meraih tengkukku lalu mendaratkan ciuman tepat di bibirku. Gracia juga mengecup sayang kedua belah pipi Freya, hingga sang anak merasa geli dan ingin dilepaskan.

"Kalian berdua baik baik di rumah ya," Aku dan Freya mengangguk patuh sebagai seorang istri dan anak yang baik. Ku raih tangan Gracia lalu mengecup punggung tangannya. Freya pun mengikuti apa yang aku lakukan barusan.

"Tenang aja sayang. Aku merasakan kok apa yang kamu rasakan," bisik Gracia yang membuatku mendongak menatap wajahnya. Aku lupa kalau aku memasukkan Ability perasa pada Gracia. "Iya, aku merasa kalau ini ada jebakannya." Ku peluk lagi tubuh Gracia dengan erat.

"Jadi kamu harus pulang dengan selamat. Aku nggak mau kamu pergi, Gracia." Gracia mengangguk dan mengelus lembut rambutku. Walaupun kami dicap sebagai keluarga Psikopat, namun hal seperti ini tak luput dari diriku dan keluargaku.

Kemudian Gracia beralih pada Freya dan memeluknya juga. "Freya, jaga mami kamu ya. Jangan buat mami kamu nangis." Freya mengangguk dalam pelukan mereka.

Sesudah itu, aku dan Freya mengantarkan Gracia menuju bandara. Dengan Gracia yang mengemudi. Sesampainya di bandara, ternyata dua puluh menit lagi menuju penerbangan selanjutnya.

Gracia pun berpamitan denganku dan juga Freya. Lalu pergi menuju ruang tunggu yang ada di bandara. Kini hanya tersisa diriku dan juga Freya. Aku menghela nafas sejenak. Berusaha untuk menenangkan hati dan pikiranku. Ku lirik Freya dengan wajah cemberutnya. 

aku yang tak ingin melihat Freya menangis pun segera mengajaknya untuk segera pulang. atau paling tidak ku ajak dia untuk mampir membeli es krim.

Shani POV END

Sesampainya di rumah, Freya pamit kepada Shani untuk kembali ke kamarnya. Lalu Shani memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah.

Shani kembali merasakan adanya kejanggalan dalam keluarganya. Jessi, anak yang ia angkat untuk menjadi salah satu pasukannya. Kini jarang terlihat di rumah ini.

Tak salah lagi, anak itu sudah mulai menjauh dari Shani. Dan Shani sadar akan hal itu. Secara perlahan, satu per satu dari mereka ditarik menjauh dari jangkauan Shani. Walaupun tidak direncanakan, tapi alam yang menjalani tugasnya.

Sekarang satu satunya aset yang harus Shani lindungi adalah Chika. Shani tak ingin jika gadis itu juga menjauhinya karena mendapat hasutan dari luar.

Shani berdiri lalu pergi ke kamar Freya. "Freya?" panggil Shani karena tak mendapati sang anak di atas tempat tidur. "Iya, mi? Freya lagi mandi!" teriaknya dari dalam kamar mandi.

Kemudian Shani masuk dan mendekat ke arah kamar mandi. "Freya di rumah dulu ya. Mami ada perlu, sebentar aja." ijin Shani kepada Freya. Shani memiliki rencana untuk menemui Chika. Memastikan apa yang ada di dalam pikirannya.

"Iya, mi. Hati hati!"



Shani sudah sampai di kediaman Chika. Shani mendekat ke arah pos jaga yang ada di rumah tersebut.

"Permisi pak, Chika-nya ada?" Orang itu menoleh dan langsung berdiri dengan menampilkan senyumnya. "Oh, ada mbak. Temennya ya?" Shani hanya mengangguk.

Sementara menunggu, Shani menyapukan pandangannya ke arah rumah yang megah itu. Terlihat ornamen ornamen jaman dulu masih mendominasi.

Keluarlah Chika beserta Christy yang ingin ikut dengan kakaknya. Mereka tertawa bersama layaknya setiap hal yang mereka lalui berisi lelucon.

Namun keceriaan itu tidak berlanjut ketika mata Christy menangkap sosok di depan sana. Dengan cepat Christy menahan tangan kakaknya dan menggeleng.

Setelah dibukakan pintu gerbang, Shani langsung berjalan hendak menghampiri Chika dan Christy.

Christy semakin takut dan mengeratkan pelukannya ke pinggang Chika. Yang menimbulkan kerutan dahi Chika.

"Adek, kamu kenapa?" Christy menggeleng. "Aku takut kak," cicitnya pelan namun masih didengar oleh Chika.

Dengan kehadiran Shani membuat Christy ketakutan. Berarti akan sesuatu yang terjadi di antara mereka berdua.

Chika langsung memberikan gestur berhenti ke arah Shani. Yang dituruti olehnya. Chika memicingkan matanya ke arah Shani yang masih bersikap tenang. Lalu pandangan Shani turun melihat seseorang yang bersembunyi di belakang Chika.

"Semuanya bisa dijelasin Chika," Chika diam, memaksa Shani untuk melanjutkan ucapannya. "Dulu aku ngejar adik kamu. Karena kalian berdua punya aura yang hampir sama."

MY PLEASURETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang