𓊈51𓊉 Lukisan...

9 2 0
                                    

Tubuhku terkesiap, ketika aku mendengar suara gelegar kuat yang tertangkap indra pendengaranku. Aku membuka mata ketika adzan berkumandang, sepertinya suara yang memekikkan telinga tadi adalah bedug. Aku tak tahu sekarang jam berapa, yang ku tahu hanyalah langit di balik tirai jendelaku yang sedikit terbuka sudah berwarna biru gelap.

Aku menutup mataku dengan menekannya kuat. Mengedip perlahan dan berusaha mengembalikan kesadaranku pada keadaan yang semestinya. Aku mencoba bangkit, namun kepalaku cukup berat untuk melakukannya. Alhasil aku kembali menghempas tubuhku ke atas kasur. Membuat pandanganku serasa bergoyang.

Ku tutup lagi mataku lekat-lekat, memulihkan tenagaku sebelum akhirnya aku bersiap untuk bangkit kembali sebelum adzan ini berakhir.

Tapi, tunggu dulu...

Aku terhenti sambil mengernyit. Bukankah saat kehilangan kesadaran tadi, aku terkapar di atas lantai dan memperhatikan Kun yang sedang tersenyum menonton kemalanganku. Tapi, kenapa tiba-tiba aku sudah berada di atas tempat tidurku?

. . . . .

Brak!!!

Tubuhku bangkit seketika meskipun pandanganku masih goyang, setelah menyadari apa yang telah terjadi padaku sore tadi, aku pun mengedarkan pandangan keseluruh sudut kamar, melihat tumpukkan cat air yang masih bercipratan di atas lantai. Tumpukkan kapas kotor, cangkir berisi air yang semuanya sudah nampak keruh dan kehitaman, serta kanvas yang masih tersanggah di atas penyanggahnya.

Aku melihat semua kuas telah tergeletak di atas lantai berserta wadah untuk mencampur cat air juga. Namun pelukisnya sudah tidak ada di sana. Ia menghilang dan pergi entah kemana. Buru-buru aku beranjak dan melompat dari tempat tidur, mendaratkan telapak kakiku ke atas lantai yang terasa dingin. Aku beralih ke komputerku untuk menilik jam yang ada di atas meja.

Ternyata ini adalah adzan maghrib, dan aku belum membersihkan diri sama sekali sepulang sekolah tadi.

Aku memutar tubuhku dengan pelan dan hati-hati, tak mau kepalaku kembali merasakan pening. Aku berjalan sambil berusaha menyeimbangkan tubuhku. Langkahku lambat menuju ke kamar mandi, tapi tubuhku terhenti ketika melewati sebuah kanvas yang merupakan lukisan buatan Kun tadi.

Aku berbalik dan menilik. Napasku berderu dan

perasaanku menjadi panik. Aku takut, tapi masih penasaran untuk melihat lukisan itu lagi. Akhirnya, aku memilih beralih dari kamar mandi dan melompat ke hadapan lukisan yang sebelumnya nampak menyeramkan itu. Setelah aku melihat kavasnya kali kedua, lukisan ku yang sedang mencekik leher seorang pria pun lenyap, berganti dengan lukisan ku yang sedang menghadap ke samping seluruhnya dengan pandangan yang tertunduk. Lebih terkesan manusiawi dari pada gambar yang sebelumnya. Sepertinya ia menimpa lukisan pertama dengan lukisan yang baru dengan memberikan warna gelap dan kuat pada gambar kedua.

Aku penasaran, ada banyak objek yang bisa ia lukis, tapi... kenapa Kun memilihku?

Aku mengernyit bukan hanya karena melihat hasil lukisan yang berubah, tapi juga karena membaca sebuah tulisan di pojok kanan bawah gambarku. Ia menulis namaku dengan huruf yang sedikit berbeda.

"Adgam Soeganda??" Gumamku sambil meringis begitu membaca tulisannya.

Apakah ini seperti tulisan di zaman penjajahan dulu? Dimana Sukarno di tulis sebagai Soekarno??

Tapi, bukankah Kun saat SMA sudah memasuki tahun 1998-1999, seharusnya.. tahun itu telah menggunakan ejaan yang di sempurnakan kan? Lalu, kenapa ia menggunakan ejaan lama yang sering di sebut ejaan Van Ophuijsen??

Aku mengerutkan dahi menghadap kanvas dan terpaku cukup lama. Aku begitu penasaran dan kebingungan. Sampai akhirnya malaikat mengingatkan memori di dalam otakku untuk segera melaksanakan shalat.

【 COPY K.U.N 】ADGAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang