(39). Perjanjian

39 2 0
                                    

"Alhamdulillah, ayah kakak sudah menerimaku. Aku sangat senang sekali dan bersyukur kepada Allah karena Allah telah meluluhkan hati ayah kakak untuk menerimaku sebagai istri kakak," ucap Kinara tak kalah bahagia dan beberapa kali mengucapkan syukur kepada Allah.

"Ayah juga bilang dia ingin bertemu denganmu, kamu mau kan bertemu dengan ayahku? harap Anggara.

"Iya, kak. Insya Allah, aku pasti akan menemui ayah kakak," jawab Kinara tersenyum ramah.

Anggara merasa sangat senang, sedikit langkah lagi ia akan berhasil memiliki Kinara satu-satunya seutuhnya.

*****

Di pagi yang cerah, secerah hati kedua pasangan itu juga. Anggara mengantar Kinara bertemu kedua orang tua Anggara. Biar ia gugup, takut, dan rasa malu menyerangnya, Kinara tetap berusaha untuk tidak mundur lagi. Tak lupa Kinara mengucapkan salam kepada orang tua Anggara sangat sopan.

"Silakan duduk!" suruh ayah Anggara.

Kinara pun duduk dengan ragu-ragu disamping Anggara. Sebelum ia duduk, ia meletakkan bantal sofa ditengah mereka sebagai pembatas. Ayah dan ibu Anggara sedikit kaget pada tingkah Kinara, ayah Anggara berusaha untuk tidak menggubris tingkah Kinara tadi.

"Dilihat secara langsung, kamu cantik juga ya bahkan pakai banget. Meski tante cuman lihat dari cadar, sudah terlihat kok. Kamu juga orangnya terlihat pemalu dan sangat sopan. Bahkan terlihat sangat sholehah," puji ibu Anggara.

"Gak kayak rumor yang dibicarakan seseorang. Ya kan, ayah?" sindir ibunya tersenyum seolah menyindir suaminya sendiri.

Anggara berusaha menahan tawanya pada tingkah ibunya terhadap ayahnya.

"Terima kasih tante atas pujiannya," lirih Kinara.

"Iya, sama-sama." Tersenyum ramah. "Gak salah lagi pilihanmu, nak. Dia benar-benar wanita yang baik untuk kamu. Gak kayak bapak kamu?" sindir ibu Anggara lagi sekilas menatap sinis pada suaminya membuat Anggara sulit menahan tawanya.

Ayah Anggara berusaha untuk tidak menggubris pembicaraan istrinya dan tetap diam.

"Sudah bicaranya, ma. Biarkan ayah ingin bicara dengan Kinara, ma. Ayah ingin bicara soal restu ayah kepada Kinara," ucap ayah Anggara berusaha menahan kesabarannya.

"Oke, oke, oke. Maaf deh," kesal ibu Anggara cemberut.

"Anggara, Kinara. Sebelumnya ayah minta maaf, sebenarnya ayah masih belum menerima Kinara," ungkap ayahnya membuat mereka kaget.

Anggara yang ingin minum tidak jadi dan sontak menatap ayahnya dengan tatapan bingung serta kaget.

"Apa maksud ayah bicara seperti itu? Bukannya ayah kemarin bilang merestui Kinara. Kenapa sekarang ayah bilang tidak merestui nya lagi? Apa ayah ingin mempermainkan cinta kami? cecar Anggara sempat bangkit tapi ditahan oleh Kinara untuk tetap duduk dan meredakan amarah Anggara.

"Tunggu dulu, Anggara! Ayah belum selesai bicara," ucap ayah Anggara terlihat sedikit tenang.

"Lalu apa? Tunggu apa?" marah Anggara ingin memuncak.

Kinara terlihat sangat gelisah melihat sang ayah dan putranya saling bertengkar, hanya gara-gara dia. Kinara jadi merasa bersalah sekali dan tak enak pada Anggara dan keluarganya.

"Sabar, Anggara! Sabar...." lirih Kinara mengusap-usap punggung Anggara meredakan amarahnya.

Anggara menghela napas kasar.

"Ayah memang tidak merestui Kinara sampai sekarang tapi kemungkinan hatiku akan luluh menerimanya dan berubah pikiran. Jika ia mau menerima persyaratan ku," ungkap ayah Anggara mengejutkan lagi.

"Syarat? Syarat apa?" tanya Anggara semakin bingung.

"Ayah akan merestui Kinara, jika Kinara dan dirimu mau hidup dari nol lagi. Semua kekayaan dan fasilitas hasil bekerja kamu sekarang untuk sementara ayah sita sampai kalian rumah tangga kalian berumur sepuluh tahun. Baru aku akan mengembalikan semua kekayaan suami Anggara mu ini. Soal rumah, tenang saja. Aku masih punya gubuk dulu sebelum Anggara berjaya," ucap ayah Anggara.

"Terserah jika kalian tidak mau ataupun mau, aku tidak memaksa. Tapi jika kalian tidak mau, ya aku bersumpah. Aku akan menghancurkan rumah tangga kalian sampai kalian berpisah dan anakku menikah dengan orang lain," ucap ayah Anggara tersenyum jahat.

"Kurang ajar!" kutuk Anggara mengepalkan kedua tangannya, kesabaran sudah setipis tisu.

"Ayo Kinara, lebih baik kita pergi saja! Aku yakin tidak ada yang bisa menghancurkan cinta kita," marah Anggara pada ayahnya dan menggenggam tangan Kinara untuk membawanya pergi.

"Tunggu, Anggara!" Menahan Anggara.

Anggara menoleh pada Kinara yang masih bergeming di tempat duduk. Kinara mulai berani menatap bola mata ayah Anggara, sehingga ayah Anggara sedikit gelisah tapi berusaha terlihat tenang.

"Aku terima perjanjian om, jika itu yang membuat om bisa menerimaku secara ikhlas. Percuma saja aku kabur bersama anak om, jika om sendiri sama sekali tidak merestui cinta kami. Tanpa restu ibaratkan tanpa perisai setiap anaknya pergi mengembara, tapi jika ada restu. Pasti anaknya selalu terlindungi, karena restu itu sama dengan doa terbaik dari seorang ayah dan ibu," jawab Kinara membuat mata mereka tidak bisa berkedip, ayah Anggara jadi terdiam seribu bahasa mendengar ucapan Kinara.

"Dulu dirimu mendapatkan tantangan dari ayahku dan aku, kamu sudah menunjukkan pengorbananmu demi rasa cintamu padaku. Sekarang ini giliranku, biarkan aku menerima tantangan dari ayahmu dan biarkan aku yang menunjukkan seberapa besar rasa cintaku padamu, Anggara," tegas Kinara menatap Anggara.

Ibu Anggara yang tadinya gelisah, kini tersenyum haru mendengar Kinara tidak mau menyerah dari suaminya. Ayah Anggara sekilas terlihat kesal bahwa Kinara tidak mau menyerah juga.

Awan sudah berwarna jingga, setelah banyak mengobrol dengan orang tua Anggara. Meski ayah Anggara banyak diamnya daritadi, seperti tak berselera. Sudah waktunya, Anggara harus mengantar Kinara pulang. Takut ayah Kinara akan mencari putrinya, sebenarnya Anggara tidak ingin Kinara pergi. Melihat anaknya sedih Kinara pergi, ibu Anggara menepuk pundak Anggara dan Anggara langsung menoleh lesu.

"Biarkan dia pulang, nak. Nanti ada waktunya kok, kamu puas-puas bersama Kinara. Ya kan?" hibur ibunya.

Anggara mengangguk pelan. "Iya, ibu benar," ucap Anggara masih lemas.

Sebelum pergi Kinara tak lupa mencium punggung tangan kedua orang tua Anggara disertai salam.

"Kamu hati-hati dijalan ya, nak," ucap ibu Anggara tersenyum ramah.

"Terima kasih, tante," ucap Kinara tersenyum ramah.

"Sama-sama," ucap ibu Anggara tersenyum sambil mengusap-usap puncak kerudung Kinara.

Kinara dan Anggara masuk ke dalam mobil, setelah sudah selesai dan aman. Baru Anggara menjalankan mobilnya meninggalkan perumahannya.

Satu jam, tiga puluh enam menit. Akhirnya, mereka sampai di rumah Kinara. Anggara membuka pintu mobilnya penuh romantis untuk Kinara. Kinara tertawa kecil melihat tingkah lucu Anggara.

"Kakak gak mau mampir?" tawar Kinara.

"Sebenarnya mau banget, malah mau nginap lagi. Tapi aku tetap gak bisa dan terpaksa gak mampir karena pekerjaanku numpuk biar pertunangan kita bisa dipercepat," papar Anggara terlihat sedih.

"Ya udah, gak papa. Nanti dah sah juga, kakak bisa tiap hari ke sini," ucap Kinara membuat Anggara tersenyum kembali.

Anggara pamit kepada kedua orang tua Kinara lalu ia pulang bersama mobilnya, sementara Kinara terus menatapnya sambil tersenyum sampai bayangan sudah menghilang dipandang Kinara. Baru Kinara beranjak pergi.



















Bersambung....

I Love You Mantan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang