Delapan belas

1.5K 73 0
                                    

"Mas.." cicit Cala, memanggil pria yang sedang berjalan tepat di depannya.

Galen menghentikan langkah tiba-tiba, membuat wajah Cala terhantuk punggungnya. Ia pun meringis. "Kalo mau berhenti bilang-bilang dong!" sungutnya.

Galen membalikkan badannya, menatap ke arah Cala yang sedang menatapnya kesal. "Kamu dari tadi aku suruh jalan di samping aku loh, la. Kenapa bandel banget kalau dibilangin?"

Cala bingung. Kok jadi dia yang dimarahi? "Aku malu.." jawab Cala sambil melirik sekitar. Sadar betul jika dirinya sudah menjadi pusat perhatian sejak turun dari mobil Galen tadi.

Berbeda dengan Cala yang melirik sekitar dengan takut-takut, Galen malah terang-terangan mengedarkan pandangannya dan mendapati beberapa karyawannya di sana sedang menatap penasaran ke arah mereka berdua.

Mengetahui Cala merasa tak nyaman, ia pun langsung merangkul bahunya dan mengusapnya lembut. "Cuek aja" ujarnya kemudian membawa Cala untuk berjalan ke arah lift.

Cala yang seakan terhipnotis oleh sentuhan Galen di bahunya pun menurut. Tidak lagi memperdulikan beberapa orang sekitar yang menatapnya penasaran sambil berbisik.

"Pagi, pak" sapa seorang laki-laki yang bertugas menjaga pintu akses keluar masuk area lift sambil memberikan hormatnya.

Galen mengangguk singkat. Membiarkan laki-laki itu menempelkan kartu aksesnya agar ia dan Cala bisa masuk.

"Terimakasih" ucap Galen.

"Dengan senang hati" balas laki-laki itu sambil sedikit menunduk memberi hormat.

Galen mengubah posisi tangannya. Yang semula berada di bahu Cala, kini berpindah ke pinggang membuat Cala sedikit terkejut.

Ia menoleh ke samping hendak protes, namun entah mengapa suaranya seperti tertelan begitu saja ketika mendapati aura yang berbeda dari Galen.

'Kenapa di kantor keliatannya jadi dingin begitu?' tanya Cala pada dirinya sendiri dalam hati.

"Selamat pagi, pak" sapa beberapa bawahannya saat Galen ikut mengantri menunggu lift.

Galen mengangguk. Ia tak berniat sedikitpun menyingkirkan tangannya dari pinggang Cala, walaupun ia sadar beberapa bawahannya yang berada disana diam-diam memberinya tatapan aneh.

"Mas.." bisik Cala sambil menyingkirkan tangan Galen. Namun bukannya terlepas, tangan itu malah semakin erat memegang pinggangnya. Bahkan dibawanya tubuh Cala hingga benar-benar dekat pada dirinya.

Cala baru akan menyerukan protes, namun kali ini suara lift yang terbuka berhasil menahannya.

Lift tersebut kosong. Galen segera membawa Cala masuk.

"Kalian nggak masuk?" Tanya Galen kepada beberapa bawahannya yang masih setia berdiri di luar lift.

Salah satu karyawan menggeleng sambil tersenyum. "Duluan aja pak, silahkan. Kita bisa naik lift berikutnya" jawabnya dengan sopan.

Tangan Galen pun segera memencet tombol menutup pada lift. Kemudian, ia nampak mengeluarkan kartu akses lift dari balik jas kerjanya. Ia cukup menempelkan kartu itu di depan sensor, dan lift otomatis menuju ke ruangan kerjanya yang berada di lantai 48 tanpa berhenti lagi di lantai manapun.

"Bisa lepasin tangannya nggak?" Tanya Cala dengan jengkel.

Galen menatap ke arahnya kemudian segera menyingkirkan tangannya seraya menunjukkan cengirannya. "Sorry"

Cala mendengus. "Gini ya ternyata sifatnya kalo lagi di kantor?"

"Siapa?"

"Ya kamu lah, mas. Siapa lagi?" Balas Cala sambil memutar kedua bola matanya malas.

My Beloved CalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang