4

23.2K 1.9K 114
                                    

San menatap sendu sang kekasih, ia mengusap lembut pipi memerah Arvi lalu mengecupnya. Melihat jejak tangis si manis membuat San semakin merasa bersalah, ia mengecup kedua mata terpejam itu bergantian.

"Maaf," ucapnya. San memeluk Arvi erat, berpikir jika sampai melepas pelukannya maka Arvi akan menghilang.

"Maaf Vi," bisik San.

Arvi pasti sangat marah padanya, ini pertama kali dalam hidupnya menyakiti seorang submisif dan itu pada Arvi, sang kekasih.

_______

Sang mentari selalu kembali di kala bulan bersembunyi lagi, seolah tak pernah lelah memberi kehangatan ia akan kembali bersinar di pagi hari.

Arvi bangun lebih awal, ia menatap dirinya pada pantulan cermin. Pipinya sedikit membengkak dan sudut bibirnya sobek dengan darah yang mengering, semalam ia tak sempat mengobati karena kantuk yang menyerang.

Arvi melirik San yang masih terlelap, senyuman nanar terbit dari wajah piasnya. Ia masih ingat bagaimana tangan sang dominan menamparnya dan masih terdengar jelas bagaimana suara nyaring itu berdengung ditelinga.

Sebesar itukah kasih sayang San pada Elio? Apakah ia salah karena cemburu tak mendasar pada sepasang sahabat itu? Arvi menghela napas, ia memilih memberi salep pada sudut bibirnya.

San mengerjapkan matanya saat mendengar ringisan tertahan, ia melirik Arvi yang tengah duduk di depan meja rias.

Dengan langkah gontai San menghampiri Arvi. Tatapan keduanya bertemu pada pantulan cermin, saling menyelami pada rasa dalam hati. Akankah keduanya mencintai dengan seimbang? Sama besarnya atau hanya berat di salah satu?

"Maaf, ak-"

"Aku tak apa, bukankah itu wajar?" Arvi menyela. Ia kembali mengolesi salep pada lukanya.

San memeluk  si submisif dari belakang, menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Arvi.

"Maaf Vi, aku sungguh tak sengaja. Maafkan aku," bisik San.

Arvi menatap San yang memejamkan matanya, ia tersenyum nanar.

"Apa kau mencintaiku San?" cetus Arvi tiba-tiba, pertanyaan yang selalu ia lontarkan pada sang dominan. Persetan jika San bosan dengan pertanyaannya, Arvi hanya ingin kepuasan dari jawaban si empu.

"Eum," sahut San, pelukannya semakin erat.

"Jika suatu saat kau di suruh memilih antara aku dan Elio. Siapa yang akan kau pilih?" tutur Arvi, membuat pelukan San terlepas.

San terkejut mendapat pertanyaan Arvi yang satu ini.

"Ah, seharusnya aku tak bertanya. Tentu saja kau akan memilih Elio, kalian sahabat sejati." Arvi terkekeh miris, perkataannya begitu menohok membuat San mengeras.

"Aku akan memilihmu," ucap San telak membuat kekehan Arvi berhenti.

San membalikan tubuh si manis, membuat keduanya saling berhadapan.

"Kenapa menanyakan hal itu?" ucap San.

"Aku bingung, sebenarnya apa aku dalam hidupmu. Jadi aku menanyakannya, San ... tolong jangan menyakitiku. Aku begitu terluka, jangan meninggalkanku ... aku sendirian." Arvi berucap lirih, air mata menumpuk dipelupuk matanya.

Arvi hanyalah seorang anak rantau, jauh dari kota kelahirannya, bahkan ia harus menabung walau hanya ingin menemui tempat pengistirahatan terakhir orang tuanya. Di hidupnya tak banyak orang yang memiliki peran penting, di kota ini Arvi hanya memiliki Dery sang teman dan San, kekasihnya. Arvi penakut, ia takut sendirian.

"Aku berusaha melakukan yang terbaik untukmu ... maaf jika aku selalu cemburu pada Elio, aku begitu takut kehilanganmu. Kalian begitu dekat bahkan kenal dari kecil, sedangkan aku? Aku hanya submisif beruntung yang dipertemukan denganmu," sambung Arvi. Tangisnya pecah, membayangkan jika San pergi. Bagaimana dirinya hidup di kota besar ini.

Ia selalu meminta pada semesta untuk tak mengambil miliknya lagi, sudah cukup menjadi yatim piatu di usia belia ia tak ingin lagi merasakan kehilangan.

"Aku tak bisa berhenti untuk cemburu. Aku terlalu mencintaimu sampai rasanya aku sendiri lelah dengan perasaanku, bisakah suatu saat aku berhenti San?"

San menggeleng, ia meraih tubuh rapuh itu ke dalam pelukannya. Mengusap punggung bergetar si empu, berusaha menenangkan.

"Aku tak akan kemana-mana," bisik San.

Arvi menenggelamkan kepalanya pada dada sang dominan, mencurahkan isi hatinya berharap San sedikit mengerti, jika ia bersikap seperti semalam karena begitu mencintai San, bukankah akan aneh jika seorang kekasih akan biasa saja jika dominannya dekat dengan submisif lain?

"Aku mencintaimu San."

Tak pernah lelah untuk mengatakan seuntai kalimat yang tak pernah juga mendapat balasan dari sang kekasih, Arvi tak akan berhenti mengatakannya sampai ia lelah. Persetan dengan San yang selalu diam tak pernah membalas pernyataan cintanya.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang