18

22.2K 2.1K 251
                                    

"Ayah ... kembalikan bolanya!"

Tawa riang anak berusia lima tahun mengudara dengan gelak tawa wanita berambut pendek sebahu dikursi taman.

Mereka keluarga sederhana yang bahagia, itulah yang orang sekitar katakan tentang keluarga manis ini.

"Sini sayang, buka dulu mulutmu."

Makan disuapi sang ibu dan kembali berlari bermain bersama sang ayah, gambaran keluarga cemara yang bahagia.

Tapi semua meredup kala gelap datang, kepergian merenggut tawa riang anak yang saat itu sudah beranjak remaja. Kehilangan figur orang tua di usia muda membuat hidupnya hampa. Kekacauan mulai berdatangan membuat raga sering kali ingin menyerah.

"Ayahh ... ibuu ... "

"Aku merindukanmu!"

Namun raga yang dahulu kecil kini sudah tumbuh dewasa, sampai dimana bisa berlari menyusul dimana tempat orang tersayang berada. Di langkahkan kaki mengejar dua orang di sana, berusaha menggapai namun langkahnya terasa berat, semua sesak. Dadanya seperti dihantam batu membuat sulit bernapas, kaki sudah tak bisa digerakkan saking beratnya, ia tak sanggup.

"Ayah ibu tunggu aku!"

"Ayah ... ibu!"

Netra kelam itu terbuka dengan napas tak beraturan. Peluh membasahi wajah, pandangan pertama yang ia lihat atap ruangan putih.

"Ayah ... ibu ... kalian dimana?" ucapnya patah-patah.

"Sudah sadar huh?"

Arvi melirik orang yang baru ia sadari kehadirannya, di sana pria dengan mata sipit menghampirinya.

"Kau ... "

"Ck, aku yang membawamu. Sial, kau begitu putus asa sepertinya," selanya.

Arvi tersenyum nanar, ah ternyata ia selamat ya? Seharusnya ombak menggulungnya sampai tak ada orang yang bisa menyelematkannya.

"Kenapa kau menyelamatkanku?" tanya Arvi serak yang langsung mendapat kekehan.

"Kau patah hati? Kau ingin pergi dari kehidupan satu kali ini? Kematian bukanlah akhir segalanya, setelah kau mati tak akan ada yang mengingatmu. Kau berharap yang menyakitimu menyesal? Hei bangunlah, mereka mungkin menyesal namun hanya sesaat lalu melupakanmu seiring berjalannya waktu, sakit dibalas kematian diri sendiri itu tak adil."

Benar, Arvi hanya merugikan dirinya. Tapi untuk apa ia hidup? Ia sudah tak punya alasan lagi untuk bertahan.

"Aku tahu, tapi tak ada alasan lagi untuk kubertahan. Orang yang menyakitiku adalah sahabatmu jika kau lupa, dan dia menikah dengan Elio, kenapa kau bisa dipantai?" ucap Arvi membuat Bawen terkekeh ringan.

Ya, pria yang berhasil menyelamatkan Arvi adalah si sipit Bawen, orang yang rumahnya sering dipakai titik berkumpul.

"Pertanyaan yang bagus, kita sama-sama patah hati. Tapi aku tak segila itu sampai harus bunuh diri," tutur Bawen.

Arvi mengerutkan kening, patah hati? Submisif atau wanita mana yang menyia-nyiakan pria seperti Bawen?

"Ah ya, klasik dan sedikit kurang ajar. Aku sudah menyukai Elio dari dulu, ahaha ... dia hamil oleh sahabatku. Kita dua manusia yang tak beruntung," tutur Bawen dengan tawa renyah.

Arvi tahu itu bukan tawa senang melainkan tawa penutup luka atas perasaan yang sudah tak bisa lagi tersampaikan.

"Minumlah, kau harus minum banyak. Kau dehidrasi dan kurang asupan, putus asa membuatmu gila." Bawen menyodorkan segelas air yang langsung diterima baik oleh si submisif.

Bawen dengan baik menyiapkan makanan dan juga air mineral lagi, ia tak mau membuat Arvi dehidrasi. Tak bisa ia bayangkan jika ia tak pergi ke pantai setelah dari acara pernikahan Elio, mungkin sosok yang saat ini tengah minum itu sudah tiada di telan lautan.

Iba? Tentu saja, submisif macam Arvi harus menerima kekalahan telak takdir yang begitu sadis, Bawen tahu sedikit tengang Arvi yang hidup sendirian selama ini, ia prihatin.

"Makanlah."

Arvi menggeleng, ia tak ada selera untuk makan membuat Bawen menghela napas.

Pria itu duduk di sisi ranjang, lalu meraih pipi Arvi yang terasa dingin, ditatap kedua mata kelam itu dalam.

"Harus kukatakan, kau harus bertahan. Vi ... makanlah, setidaknya untuk nyawa lain dalam tubuhmu," tutur Bawen, terasa berat untuk dikatakan tapi Arvi wajib tahu hal ini, jika ia tengah membawa nyawa lain dalam dirinya.

Ucapan Bawen sontak membuat Arvi terbelalak, tangannya meremat baju pasien yang dipakai, berharap ucapan Bawen bukanlah apa yang sedang ia pikirkan.

"A-apa maksudmu?" tanya Arvi terbata.

"Kau hamil Vi, kau tak lagi sendirian."

Ah, lagi? Bibir pucat itu bergetar mendapati kenyataan pahit, tak cukupkah beban sebelumnya? Arvi bergetar dengan tangis, lagi-lagi air mata menampakkan kelemahan submisif itu. Arvi dengan air mata seolah hal yang tak bisa dipisahkan, katakanlah ia lemah atau mungkin tak makhluk cengeng, tapi hanya menangislah yang bisa Arvi lakukan untuk meluapkan segala perasaan.

Bawen tak tega sungguh, ia langsung memeluk si manis. Membiarkan Arvi menangis dalam dekapannya. Isak tangis semakin terdengar, membuat Bawen terasa ikut sakit. Sedalam apa luka Arvi sampai tangisnya terdengar menyakitkan? Bawen mengelus punggung Arvi.

"Kumohon ... jangan membencinya, dia ber-hak hidup," bisik Bawen.

Lancang memang, menyuruh orang lain bertahan di saat diri sendiri tak merasakannya. Namun Bawen benar-benar peduli.

"Kenapa menyelamatkanku!"

"Kau seharusnya membiarkan aku!"

Arvi menjerit sakit, memukuli dada Bawen yang tak ada apa-apanya bagi sang dominan.

"Aku ... harus bagaimana?! Tidak ... aku lelah,  bagaimana ini ... "

Bawen membiarkan Arvi meracau, ia mengeratkan pelukannya. Jerit memilukan ini membuatnya semakin iba akan nasib buruk si manis, kenapa San tega menorehkan luka dalam pada manusia rapuh ini.

Arvi benar-benar berada dalam titik terendah dalam hidup, ia putus asa dan ingin pulang sendirian tapi kenapa semesta memainkan takdir dengan lihai. Bukankah ia hamil anak San? Mungkin jika San masih kekasihnya ia tak akan sesakit ini tapi kini San sudah menjadi suami orang dan juga akan menjadi seorang ayah dari anak submisif lain.

Bagaimana dengan nasib anaknya? Arvi sudah tak memiliki apapun, haruskah ia pergi membawa anaknya juga? Mencabut hak hidup sang anak?

Siapapun yang mendengar jeritan pilu penuh air mata ini akan ikut sakit, bagaimana raungan meminta keadilan atas hidup terdengar menyayat hati. Bahkan Bawen, si keturunan China itu tak bisa berkata-kata hanya dapat memeluk dan menerima pukulan di dada atas pelampiasan rasa sakit.

"Tinggallah bersamaku, ayo kita pergi jauh dari sini. Mari besarkan anak itu jauh dari rasa sakitmu, kau dan dia layak hidup. Kalian ber hak atas segalanya."

Bisikan yang mengantarkan benang lain, meraih jiwa tenggelam dalam keterpurukan, menyelamatkan hidup seseorang yang menyerah atas hidupnya. Takdir terkadang terdengar lucu, sosok yang di kenal acuh tak acuh bahkan keduanya tak saling mengenal dengan baik tapi Bawen mampu meraih jiwa hilang arah, mendekap jiwa dengan ribuan goresan luka.

"Aku bukanlah orang baik tapi aku tak akan membiarkan seseorang mati karena kehancuran."


SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang