11

24K 2K 338
                                    

Suara pintu terbuka tak membuat atensi Arvi teralihkan, submisif itu memilih abai dan terus memainkan ponselnya. Ini sudah pukul dua belas malam, dan San baru saja pulang.

"Kau belum tidur?" San melepas jaket, lalu duduk di sisi ranjang.

Arvi tak menjawab, jujur saja pertanyaan San seolah tak merasa bersalah atas semuanya.

"Tidurlah ini sudah malam, kau bisa sakit," sambung San, ia mulai merebahkan dirinya.

"Sakit akibat tidur malam tak ada apa-apanya dibanding oleh manusia yang selalu lupa," sahut Arvi pada akhirnya, ia melirik San yang kembali duduk saat mendengar ucapannya.

Kerutan di kening San kentara jika dominan itu tak mengerti arah pembicaraan sang kekasih.

"Apa maksudmu?" ucap San.

Arvi terkekeh sinis, ia muak dengan segalanya. Tak pernah ada titik terang dalam hubungannya dan San.

"Ayo kita selesai San, mari berakhir. Aku sudah tak tahan," tutur Arvi lirih, diraihnya tangan sang dominan, ia genggam.

"Ayo akhiri hubungan ini, aku menyerah. Rasanya menyakitkan, aku tak mau lagi," ucap Arvi lagi.

San menangkup kedua pipi Arvi, ia menggeleng pelan. Tak terima akan ajakan tak masuk akal si submisif.

"Apa yang kau katakan, berakhir? Huhungan kita selama ini baik-baik saja, kenapa kau seperti ini?" cecar San.

Arvi menggeleng. "Bagiku tak ada yang namanya baik-baik saja, aku terlalu egois San. Aku memilih berhenti saja, dengan itu kau bisa bebas bersama Elio. Kalia akan menjadi pasangan yang sempurna," ucapnya.

Mendengar nama Elio membuat San merasa tak terima, karena lagi dan lagi Elio terseret dalam hubungannya. Tanpa sadar pegangan dipipi si manis menjadi cengkraman kentara akan amarah yang mulai naik.

"Kalian sudah bersahabat sejak lama, maka jadilah sepasang kekasih. Berhenti menyakiti orang lain dengan hubungan penuh kedok itu," ucap Arvi tak peduli pipinya yang sakit. Mengingat postingan San tadi semakin memperkuat tekadnya mengakhiri hubungan yang sudah tak jelas ini.

"Bisakah kita tidur saja, ini sudah malam. Obrolan ini akan melantur ke depannya, tidurlah." San memilih berbaring kembali, enggan menanggapi ucapan Arvi.

"Terserah padamu, terus saja bersikap abai! Hari ini kita selesai, aku akan pergi dari sini!" pekik Arvi.

Ia mengatakan hal itu memang ancaman semata tapi jika benar San masih abai, maka Arvi akan pergi dari sini. Persetan hidup dijalanan, bulan depan ia gajihan.

Arvi beranjak, ia membongkar lemari mulai memasukan pakaiannya, sedangkan San masih diam menatap datar tingkah sang kekasih. Isakan kecil mulai terdengar, San masih saja membiarkan Arvi mengemasi barang-barangnya.

"Kita selesai." Arvi melangkah, menarik daun pintu tapi sayang sebelum ia menggapai pintu, San berhasil menarik lengannya.

"Berhenti memutuskan hal sendirian, kau kekanakan!" teriak San, amarahnya sudah tak bisa dibendung seolah bisa kapan saja menghancurkan orang kecil macam Arvi. Tatapan setajam elang itu terasa menghunus mata penuh linangan air mata si manis.

"Kau ingin pergi huh?" San mengelus pipi Arvi, menghapus jejak air mata di sana. "Jangan harap itu terjadi," bisiknya.

San mencengkram pipi Arvi membuat submisif itu meringis. Diseretnya tubuh Arvi, San melempar tubuh yang lebih kecil darinya itu ke ranjang, mengukung sang kekasih membuat Arvi beringsut takut. Selama ini San tak pernah semarah ini, Arvi meringkuk ketakutan melihat bagaimana San melepas baju memperlihatkan tato di dadanya.

"Kau tak bisa pergi, sejak awal kau yang datang dalam hidupku. Enak sekali ingin pergi setelah sejauh ini, kau pikir aku akan diam saja huh? Bukankah kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu?" San merobek kaos Arvi.

"S-san ... hentikan ... " Arvi memohon saat di rasa sudah semakin bahaya, San menindihnya menjilat cuping telinganya.

"Bukankah ini yang kau inginkan?" bisik San dibarengi dengan jilatan, membuat Arvi semakin ketakutan.

Arvi kembali menangis, ia tak tahu harus melakukan apapun, pemberontakannya dapat dikendalikan dengan mudah oleh San bahkan San tak merasa kesakitan saat dirinya menendang dan memukul dadanya.

"Berhenti menangis sialan! Kau terus saja menangis, tak bisakah sekali saja tak menangis?!" teriak San, ia kembali melucuti pakaian sang kekasih, abai akan reaksi takut Arvi. Amarah dan nafsu sudah menguasainya.

Kecupan ringan San bubuhkan pada wajah Arvi, beralih pada bibir yang jarang sekali ia sesap. San mulai melumat bibir merah muda itu, melesakkan lidahnya mengabsen setiap isi mulut manis Arvi.

"Mphh ... "

Cup

San menatap kekasihnya dengan senyuman yang sulit di artikan, ia senang melihat wajah kacau si manis, bibir bengkak, air mata yang tak berhenti mengalir ditambah tubuh bergetar Arvi yang semakin memancing nafsu liarnya.

"Akhhh!"

Tanpa aba-aba San langsung memasuki anal Arvi, membuat sang kekasih menjerit penuh sakit, air mata semakin berlomba-lomba keluar, bahkan Arvi mencakar punggungnya. Namun San terlihat menikmati saat penisnya terasa diremas dinding rektum anal sang kekasih.

Sakit.

Ini pertama kalinya dan San melakukannya dengan kasar, penglihatan Arvi samar karena air mata.

"Ahh!" Lagi rasa sakit semakin menderanya, saat San memompa penisnya seolah tak peduli dengan darah yang keluar, dominan itu terus merojok anal Arvi dengan geraman yang tak pernah Arvi dengar.

San terlihat menikmati semuanya, berbeda dengan Arvi yang pasrah saat analnya terus dijejal dengan rasa sakit, tamparan dan pukulan ia dapat, energinya sudah terkuras begitupun dengan harga dirinya.

Plak

"Mendesahlah lagi jalang, kenapa kau diam!" San menampar pipi sang kekasih.

Geraman penuh kenikmatan mengisi kamar, menjadi saksi bisu bagaimana sakitnya Arvi yang pasrah dimasuki kasar, bukan hanya hatinya yang sakit tapi juga fisiknya, ditampar saat suara desahannya tak terdengar. Bagaimana ia bisa mendesah sedangkah hanya sakit yang ia rasakan?

Bugh

"Berakhir huh? Nikmati ini."

"Akhhh!"

Arvi kembali menjerit saat San merojok analnya terlalu dalam dibarengi dengan pukulan di pipi.

Tak ada kenikmatan hanya rasa sakit yang ikut melebur dengan kesadaran, kedua mata itu terpejam terlalu lelah, terluka akan rasa dan terluka akan setiap jengkal tubuh yang disesap dan bercampur dengan bekas tamparan dan pukulan. Kekasihnya baik tapi ia juga sangat menyayangi sahabatnya, melupakan dirinya yang sama saja dapat terluka jika dipukuli.

San melindungi sahabatnya tapi ia melukai kekasihnya, dua submisif itu memiliki tempat yang berbeda tapi nyatanya tempat Elio lebih spesial sampai membuat dominan itu melupakan fakta jika semua orang akan menangis saat dipukul, ditampar dan dikatai kasar.

San meneriaki orang lain bajingan tapi ia tak sadar, jika ia juga bagian dari seorang bajingan.

______

Poor Arvi😭🙏
SATU KATA BUAT SAN!

Btw baru ombak gede belum stunami😚



SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang