19

20.8K 2K 227
                                    

"Daddy!"

Pekikan riang membuat sudut bibir pria dewasa itu tertarik membentuk senyuman tipis, ditangkapnya tubuh mungil anak yang sudah tak terasa sudah sebesar ini.

"Selamat pagi." Kedua mata itu menyipit saat tersenyum, menyapa sang ayah.

"Pagi," sahut San.

"Ayo bersiap dan sarapan, papa sudah menunggu," ucap si kecil.

San mengangguk, membiarkan bocah itu mencuri ciuman dipipinya lalu berlari keluar dengan tawa riang.

Lucu. Anak itu lucu, San menyayanginya, sungguh.

Sudah tujuh tahun, dunianya sudah berhenti tujuh tahun lalu tapi bukankah kehidupan terus berjalan?tangis yang masih terasa terdengar ditelinga, jeritan kesakitan masih terekam jelas di kepalanya membuat San tak pernah bisa lagi tidur dengan nyenyak. Ia beranjak pergi mandi, hari-hari seperti biasa mengawali pagi lagi demi sang anak.

Kio namanya, Alkio Maven? San tertawa dalam hati. Sematan nama yang bagus, semua orang memuja Kio, menyayangi anak itu. Kio tumbuh menjadi anak yang riang, cerewet dan juga pintar. Elio benar-benar mengajari bayi kecil itu sampai tumbuh menjadi anak yang menggemaskan.

Rasanya baru kemarin ia menggendong bayi merah yang menangis saat melihat dunia, tak terasa sekarang Kio sudah akan masuk sekolah dasar.

San begitu perhatian pada Kio, bahkan kata orang pria dengan satu anak ini benar-benar seorang ayah yang menyayanyi anaknya. Membuat semua anak iri rasanya saat melihat tatapan ketulusan dari kedua mata kelam San.

San menatap dirinya dipantulan cermin, tetesan air mengenai wajahnya dari helaian rambut. Helaan napas berat terdengar lesu, setiap orang akan bangun dengan semangat saat di pagi hari, berbeda dengan San rasanya berat untuk menjalani hari-hari.

Semua berantakan tak bisa lagi tertata, semua gelap tak ada lagi warna. Cintanya sudah lama pergi dan ia hanya bisa diam membiarkannya pergi, San tak menyalahkan siapapun ini salahnya dan ia menanggungnya. Arvi boleh pergi tapi bukan berarti sosok itu lenyap dalam hatinya.

"Semua lucu, ya ... Kio sangat lucu." San bergumam, ia terkekeh sendu. Di dunia ini yang San jadikan alasan terakhir adalah Kio, ia masih ingin mendengar tawa sang anak.

Dunianya boleh hancur tapi tidak dengan dunia Kio, akan San ciptakan warna untuk menerangi kegelapan.

Tok

Tok

Tok

"San, kau belum bersiap? Kio sudah menunggumu, kalian akan terlambat jika kau masih belum selesai." Suara Elio yang tujuh tahun ini sudah menemaninya.

"Aku selesai, katakan padanya untuk menunggu sedikit lagi," sahut San.

"Baiklah."

Suara langkah Elio sudah menjauh, San langsung keluar. Ia segera bersiap, tak ingin mengecewakan Kio.

Jika di sini ada San sang ayah idaman di belahan bumi lain juga ada sosok pria yang sampai sekarang menemani submisif yang pernah ingin mengakhiri dunianya, tak kalah idaman juga, sosok super hero paling hebat di mata hazel yang saat ini tengah memicing tak suka.

"Baba itu berlebihan," ucap si tampan Ezra risih saat sang ayah mengkalungkan botol minum dilehernya.

"Nanti kau kehausan," sahut Bawen santai.

"Baba kuno sekali, air mineral bisa beli bukan? Aku seperti bocah jika seperti ini." Ezra menggerutu. Babanya, pria terkuno sepertinya apa-apa harus membawa air, seperti penjual sudah lenyap saja di bumi.

Tawa renyah terdengar dari submisif yang baru saja datang dengan tas Ezra, Arvi selalu terhibur dengan perdebatan kecil keduanya.

"Babamu memang kuno," celetuk Arvi santai membuat Bawen memicing tak terima.

"Dengar, papa mendukungku." Ezra mulai bertingkah sombong saat pemilik tahta tertinggi di rumah berada di kubunya.

"Tapi ... yang dikatakan baba benar, kau harus membawa minum dan papa juga sudah memasukan bekal untuk makan siang, jadi uang saku dapat ditabungkan jika kau ingin, papa dan baba melarangmu jajan sembarangan," tutur Arvi membuat bahu sang anak merosot.

"Nanti aku tidak keren, seperti bayi." Ezra mencibik gemas.

"Anak keren itu yang mendengarkan ucapan orang tua," timpal Bawen penuh kemenangan.

"Ya ... ya baiklah, aku akan menurut pada papa, huh ... baba itu sainganku," celetuk Ezra.

"Anak nakal," ucap Bawen.

Pagi yang selalu membawa tawa, Ezra menjadi sinar hidup yang membawanya dalam kegelapan, bukan hanya Ezra tapi juga Bawen yang sudi menemaninya bahkan rela merawat Ezra dari dalam kandungan sampai sekarang anak itu sudah berani berdebat dengannya.

Bagi Ezra Bawen saingannya dalam merebut perhatian Arvi. Ezra anak yang enggan diperlakukan seperti bayi, Bawen selalu merecokinya seperti tadi, mengalungkan botol ke leher Ezra yang menurut si anak itu seperti bayi, padahal di mata Arvi dan Bawen Ezra itu memang masih bayi.

Arvi selalu merasa bersalah saat menatap kedua mata Ezra, bagaimana dulu ia ingin mencabut hak hidup Ezra membawanya pergi sebelum melihat dunia. Sampai saat ini Arvi kembali bangkit, kembali merajut hidup yang selalu banyak rintangannya tapi setidaknya sampai detik ini Arvi masih di sini.

Terima kasih pada Bawen yang sudi berbagi bahu, berbagi segalanya. Bawen membuktikan jika di dunia ini masih ada manusia berhati malaikat, Bawen bahkan bersedia menjadi ayah bagi Ezra yang dimana ayah kandung sang anak bahkan tak tahu jika ada darah dagingnya yang menapaki bumi.

Semesta mengirimkan Bawen layaknya malaikat penolong, mengulurkan tangan pada makhluk yang hilang arah.

"Papa!" pekikan Ezra membuyarkan lamunan Arvi.

"Kenapa sayang?" Arvi bertanya.

"Aku dan baba akan pergi, papa jangan merindukanku. Pangeranmu ini akan belajar sampai pintar dan mengalahkan baba," ucap Ezra.

"Dasar pintar bicara," ucap Bawen, membuat Ezra mendengkus.

Arvi memberi kecupan di pipi Ezra yang mendapai ciuman balik di pipinya juga.

"Aku pergi, segera hubungi aku jika ada apa-apa." Bawen mengelus kepala Arvi, hal yang sudah menjadi kebiasaan.

Arvi mengangguk, ia membalas lambaikan Ezra yang sudah menaiki mobil. Matahari dan cahayanya, dua orang yang begitu berarti bagi Arvi.

"Dadahh ...  papa!"

"Bye sayang!"

Seiring berjalannya waktu Arvi dapat menerima nasibnya di masa lalu, kehilangan cinta dan juga ayah bagi Ezra. Mungkin suatu hari nanti Arvi akan memberi tahu jika super hero kebanggaannya bukanlah ayah kandungnya, entahlah waktunya kapan. Arvi tak ingin membuat Ezra kecewa jika Bawen bukan ayahnya. Bagi Ezra Bawen bukan hanya ayah melainkan teman dekat, mungkin dua orang itu selalu berdebat tapi percayalah saat salah satunya sakit maka yang satunya tak ingin jauh, lebih memilih ikut sakit daripada berjauhan.

"San ... entah bagaimana kabarmu sekarang, semoga kau bahagia dengan Elio karena di sini aku akan mencoba berbahagia dengan dua malaikatku. Pasti anakmu yang lain juga sudah sebesar Ezra, aku akan berdamai San. Mungkin dulu kita dipertemukan bukan untuk merajut hidup bersama sampai akhir, melainkan pertemuan yang mengajariku jika menggantungkan kebagiaan pada manusia adalah bom bunuh diri yang bisa meledak kapan saja."

____

Wikwiww

Istirahat dulu yukk, ayo tarik napas dulu sebelum kembali bertepur.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang