"Terima kasih, sampai jumpa kembali." Arvi tersenyum ramah pada pelanggan. Inilah pekerjaannya, menjadi kasir di swalayan.
Arvi sudah bekerja di sini hampir lima tahunan sepertinya, menjadi kasir kadang membuatnya rugi tapi pekerjaan ini juga yang mempertemukannya dengan San. Masih teringat jelas saat itu San membeli soda, pria yang membuat Arvi sempat lalai karena terlalu tergugu akan sosok sang dominan, tak bisa dipungkiri sejak awal Arvi yang jatuh duluan, ia begitu mengagumi San. Ya, Arvi yang mendekati San bukan San yang mendekatinya.
San pria itu, selalu bersikap dingin bahkan bukan sekali dua kali ia akan merasa kesal karena di abaikan, tapi itu semua sudah Arvi lewati, San sudah menjadi kekasihnya dan itu sampai sekarang, tiga tahun lamanya.
"Shift malam bagianku bukan?" tanya Dery membuat lamunan Arvi buyar.
"Ya, jam-ku sebentar lagi selesai," sahut Arvi.
Keduanya cukup dekat, Dery teman yang sangat pengertian dan juga selalu ada jika ia butuh. Kadang kala keduanya tukar shift.
"Bagaimana kencanmu dengan kekasihmu itu? Apa semua lancar?" tanya Dery tiba-tiba.
"Kita tak kencan, dia mengajakku ke rumah temannya." Arvi menghembuskan napas, meringis mengingat waktu itu.
"Hah, itu pasti menyebalkan. Apa San masih saja dekat dengan Elio? Aku gatal sekali ingin membuat otaknya berfungsi," ujar Dery kesal. Ia tahu bagaimana hubungan Arvi yang sudah merembet toxic, sungguh Dery tak rela jika teman kerjanya ini menangis lagi karena di abaikan seorang dominan.
Arvi tak menyahut lagi saat perbincangan keduanya terpotong karena ada pelanggan.
Menit demi menit terus berjalan, jam kerja Arvi sudah selesai. Ia bersiap pulang, biasanya San akan menjemputnya tapi pria itu bilang hari ini ia lembur. Terkadang Arvi merasa tak pantas menjadi kekasih San, pria itu pekerja keras, ia pria berada, seharusnya San tak perlu lelah bekerja karena orang tuanya cukup kaya tapi kembali lagi, San sangat mandiri. Dibanding dengan dirinya yang hanya seorang kasir, pernah ia harus membayar kekurangan di kasir dan itu di bayar oleh San. Seharusnya Arvi berhenti saja jadi kasir, bukannya nambah gaji malah sebaliknya, gaji dipotong untuk menutupi pemasukan yang tak sesuai dengan catatan.
_______
Ruang gelap menyambut kepulangan si submisif, ia menghidupkan lampu. Mata mengedar menelisik sepi, sang kekasih ternyata benar lembur. Arvi merebahkan tubuhnya di sofa, menikmati setiap persendiannya yang terasa sakit.
Keningnya mengerut saat mendapati makanan yang ia buat tak habis, apa San tadi pagi pergi buru-buru? Arvi beranjak membereskan semuanya. Ia segera membersihkan apartement sebelum San pulang dan merasa tak nyaman jika apartement berantakan. Ya, ia dan San memang tinggal bersama sejak keduanya menjalin kasih di tahun kedua, San yang memaksa.
Arvi dengan telaten membersihkan semuanya bahkan ia melakukannya sambil masak, melupakan rasa lelahnya. Jika sudah menyangkut San, Arvi tak pernah lelah. Alhasil semua selesai tepat waktu, apartement yang sudah bersih dan makanan yang sudah siap.
Brak!
Arvi terhenyak, ia setengah berlari ke ruang tengah. Arvi menutup mulutnya terkejut mendapati San dengan wajah yang penuh lebam, ia segera menghampiri sang dominan.
"Astaga San, apa yang terjadi?" Arvi membawa San duduk di sofa, ia begitu khawatir.
San tak menjawab, yang dapat Arvi dengar hanyalah ringisan. Tanpa banyak tanya lagi, Arvi langsung mengobati luka-luka itu.
"Maaf jika sakit," ucap Arvi ia membalut lebam di sudut sang kekasih dengan alkohol. Ia sendiri ikut meringis saat mengoleskan salep.
"Mau berbagi masalah?" ucap Arvi, ia mengelus bahu San setelah selesai mengobati luka si empu.
"Bisakah kau membuatkan aku kopi, aku merasa buruk saat ini, nanti kuceritakan," sahut San setelah sedari tadi diam.
"Tentu, tunggu." Arvi segera beranjak.
Setelah beberapa menit ia kembali dengan secangkir kopi.
"Terima kasih," ucap San, menerima dengan baik. Kopi buatan Arvi, selalu menjadi yang terbaik.
"Jadi ada apa? Kenapa kau pulang dengan banyak luka?" cecar Arvi.
San menghela napas. "Kekasih Elio berselingkuh, tentu saja aku marah dan ya ... aku bertengkar dengan pria itu, sampai mendapat luka," jelasnya.
Arvi mengusap lebam San. "Jangan terluka lagi, aku khawatir."
San tersenyum tipis, ia mengangguk tapi tak berjanji. Jujur saja ia masih marah pada kekasih Elio, padahal ia sudah percaya tapi pria itu menyakiti sahabatnya terlebih Elio masih saja membela pria itu, membuat dirinya semakin muak.
Arvi mengelus bahu San, saat menyadari wajah sang kekasih kembali mengeras kentara menahan amarah.
"Tenanglah," ucap Arvi.
"Bagaimana aku bisa tenang? Elio terus menangis sedari tadi karena Rayden, pria itu berselingkuh dan ini kedua kalinya, dan Elio masih saja memberi pria itu kesempatan. Bukankah itu memuakkan?" jelas San.
"Bukankah sebuah perasaan memang sulit dihentikan? Elio mencintai Rayden jadi menurutku, dia akan sadar jika sudah berhenti mencintai Rayden." Arvi berkata seolah dirinya tak bodoh dalam sebuah hubungan.
"Elio itu submisif manis tapi ia bodoh, selalu saja mendapat dominan tolol. Ah, aku kesal jadinya," ucap San.
"Jika begitu, kenapa tak kau saja yang menjadi dominannya?" celetuk Arvi. Entahlah kalimat itu keluar begitu saja, di saat melihat San begitu mengkhawatirkan Elio, padahal di sini ia begitu mengkhawatirkan San.
"Apa maksudmu mengatakan itu?" mata tajam San semakin menusuk menatap sang kekasih.
"Ya, kau begitu perhatian padanya sampai ikut campur dalam hubungan asmara Elio, jadi kupikir kenapa tak kau saja jadi kekasih Elio." Tanggung berceletuk, Arvi mengungkapkan pernyataan pedas.
"Apa ini? Jangan membuatku semakin kesal! Sudah kukatakan jangan cemburu pada Elio! Kenapa kau bebal sekali." San berteriak kesal membuat Arvi memejamkan matanya, enggan melihat wajah murka sang kekasih.
"Kenapa kau selalu membawa Elio dalam hubungan kita?!" Lagi San berteriak bahkan ia menghempaskan tangan Arvi dari bahunya.
Arvi membuka mata, memberanikan diri.
"Bukankah kau yang selalu membawa Elio dalam hubungan kita. Setiap perbincangan dan setiap kita tengah berdua nama submisif itu selalu terselip,"
"Elio juga sama saja denganmu, dia selalu bergelayut manja. Wajar saja kekasihnya selingkuh, karena sikap Elio yang gatal pada kekasih orang!"
Plak
Hening.
Suara tamparan nyaring terasa berdengung di telinga Arvi, rasa panas menjalar dari pipi sampai telinga bahkan sudut bibirnya terasa perih. Ia menatap San yang bernapas tersenggal-senggal karena amarah.
Arvi tersenyum tipis, salahnya. Ini salahnya karena merecoki San yang tengah kesal.
"Maaf ... makanlah aku sudah masak." Arvi berucap dengan suara bergetar, ia beranjak sambil memegangi pipinya. Sakit, rasanya sakit saat mengungkapkan keganjalan hati tapi harus menerima luka secara fisik.
Apa yang Arvi harapkan? San yang mengerti akan dirinya? Seharusnya Arvi sadar diri, San lebih peduli pada Elio.
Baru protes segitu saja San menamparnya dan ini untuk pertama kali. Apa salah yang ia katakan? Bukankah benar? Jika San tak mau Elio bersama dominan yang salah, mengapa tak menjadikan Elio kekasihnya saja sedari dulu.
Berbeda dengan Arvi yang tengah memejam matanya di ranjang dengan air mata mengalir, di ruang tengah San mengacak rambutnya frustrasi tak seharusnya ia melakukan itu, Arvi pasti terluka. San menatap tangannya yang bergetar, tangan yang sudah ia angkat untuk menyakiti sang kekasih. San begitu menyesal, seharusnya ia tak melampiaskan kekesalannya pada Arvi, ini salah.
"Maaf."
_____
Kalau gak ada notif cek aja.
Banyakin komen dong🤧

KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND [lengkap]
RomanceArvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. San terlalu perhatian dan menyayangi Elio, sahabat kecilnya. Sampai melupakan jika Arvi selalu cemburu...