16

20.8K 1.8K 336
                                    

Dikeheningan malam, Arvi dikejutkan dengan teriakan. Ia segera beranjak, matanya memicing melihat sosok yang ia rindukan tengah berhadapan dengan seseorang.

Saat Arvi hendak menghampiri lengannya dicekal erat, ia melirik siapa yang menghentikannya.

Jane menatapnya tajam, Arvi menelan ludah. Ia menelisik tatapan seperti apa yang tengah Jane berikan padanya sekarang, ia kembali melihat San di bawah sana yang tengah bersi tegang dengan seorang pria.

"Jangan menghampirinya," ucap Jane penuh penekanan.

"Kenapa?" tanya Arvi.

"Jika pemilik rumah sudah melarang tak usah membantah."

Perkataan Jane cukup membuat Arvi tertampar, bukankah kali ini ia terlalu lancang? Ia terlalu ingin tahu, terlebih ia ingin menemui San.

"Bajingan!"

Bugh

Sontak keduanya melihat ke bawah, dimana San tersungkur dengan suara pukulan yang begitu kentara. Arvi hampir saja ingin berlari membantu pria itu, tapi lagi-lagi Jane menghentikannya.

Dengan mata kepalanya sendiri Arvi melihat bagaimana San di pukuli dan diumpati, ia tak tahu siapa yang berani memukuli San se-bringas itu.

"Kau ... kau mengecewakanku!"

Setelah pria yang tega memukuli San melangkah pergi barulah Jane melepas cekalannya, membiarkan Arvi berlari menghampiri kekasihnya, sedangkan dirinya masih berdiri di tangga melihat sang anak meringis kesakitan.

"San!"

"Apa yang terjadi?!" Arvi seakan melupakan bagaimana sosok San yang kasar, ia menyentuh pipi sang dominan terdapat banyak lebam di sana.

"Vi ... " San ambruk membenamkan kepalanya pada bahu si manis. Tubuhnya lemas saat menatap dua mata yang mencemaskannya, bagaimana cara agar ia bisa mengatakan segalanya.

"Ada apa? Siapa tadi?" cecar Arvi.

San menelan saliva, ia tak menjawab. Haruskah ia katakan sekarang?

"Kau mencintaiku?" San mendongak, pandangan keduanya bertemu saling menatap.

"Sampai saat ini aku masih di sini, kenapa ragu?" sahut Arvi.

"Aku juga," ucap San. "Aku ingin mengatakan sesuatu," sambungnya setelah beberapa detik diam, San semakin mengeratkan pelukannya seolah takut tak akan pernah lagi menerima kehangatan ini.

"Katakanlah," ucap Arvi.

"Aku menghamili Elio."

Di saat semua orang mendapat bisikan cinta, tidak bagi Arvi. Ia mendapat bisikan yang begitu menusuk, bahkan napasnya terasa berat seolah dihantam beribu ton beban. Bukankah ia masih kekasih San? Lalu kenapa San bisa mengatakan hal sebusuk ini dalam dekapannya

"Bukankah ... kalian hanya sebatas ... sahabat?"

Nyaris sulit untuk menanyakan hal yang sungguh hanyalah pertanyaan bodoh, Arvi selalu memegang teguh perkataan San, jika ia dan Elio hanya sebatas sahabat. Lalu kenapa mereka bisa sejauh ini? Arvi hanyalah tokoh kedua dalam hidup San, seharusnya ia sadar bahkan dari dulu sikap San lebih peduli pada Elio dibanding dirinya.

"Maaf Vi ... "

Arvi terkekeh, ia melepas pelukan San. Ditatapnya wajah yang sudah menemaninya selama tiga tahun, selama ini ia tinggal bersama luka yang perlahan merenggut segala sisa harapan.

Arvi menunduk menatap lantai, tubuhnya bergetar akan tangis yang semakin menyayat hati. Tak bertemu selama sebulan lebih, lalu sang kekasih datang di malam yang larut bukan untuk menemuinya, melainkan untuk menyampaikan kabar yang memilukan bagi kisah cintanya.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang