13

24.7K 2K 85
                                    

Sinar matahari mampu menyilaukan mata walau hanya masuk dari celah jendela, kedua mata itu mengerjap membiasakan denga bias cahaya yang terasa menusuk.

Ringisan kecil terdengar serak, Arvi berusaha mendudukkan dirinya tapi sungguh rasanya menyakitkan, persendiannya terasa nyeri, ia menatap sekeliling dan seperti biasa apartement terasa sepi. Entah San yang sudah pergi bekerja atau pergi keluar.

Senyuman nanar terbit diwajahnya saat tak sengaja melihat foto yang terlihat manis terpajang apik di atas nakas, dimana ia dan San tengah makan es krim bersama, foto yang di ambil dua tahun lalu. Sikap San tak bisa ditebak, kadang kala manis terkadang juga acuh tak acuh. Mengingat perlakukan San semalam membuat hati Arvi kembali meradang.

Semarah-marahnya San tak pernah sekalipun ia berbuat sekasar kemarin, bukankah kemarahan pria itu karena permintaan perpisahannya? Arvi bingung, apa yang San inginkan sebenarnya, selesai atau terus berjalan? berpisah tak mau tapi San sama sekali tak bisa menyamai langkahnya.

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi Arvi, membuat submisif itu beringsut takut. San yang sadar akan sikap reflek Arvi hanya bisa menekan rasa bersalahnya.

"Makanlah," ucap San, ia menyimpan bubur di atas nakas.

Tak ada jawaban, Arvi diam dengan raut yang jelas akan ketakutan jika hal semalam terjadi kembali.

"Itu bubur," sambung San seolah tak sadar jika Arvi takut padanya. "Kuharap kau sudah menghabiskannya siang nanti," ucapnya lagi.

Tanpa kata apapun lagi, San melangkah pergi mengambil tasnya meninggalkan sang kekasih.

Arvi menatap kepergian San sendu, apa kali ini San tak merasa bersalah? Sampai pria itu abai? Arvi melirik kantong kresek bubur, ia tersenyum sinis.

"Bukankah kau bajingan San? Apa kau pikir semua bisa ditebus dengan semangkuk bubur?" ucap Arvi. "Bajingan gila, aku membencimu," sambungnya.

Tanpa Arvi tahu, San masih berdiri dibalik pintu. Kedua tangan dominan itu mengepal, mendengar penuturan Arvi.

"Aku berharap kau akan bahagia nanti walau itu tanpa aku, jika saja waktu bisa diputar. Aku akan meminta pada semesta untuk tidak mempertemukan kita."

________

Sudah lama sekali San tak memijakkan kaki di rumah ini tanpa harus di suruh, rumah sebesar ini sepi jika di siang hari, ralat setiap waktu juga sepi. San anak tunggal, memiliki ayah seorang workaholic membuat ia tak begitu dekat dengan sang kepala keluarga. Ya, harus dikatakan ia beruntung lahir dari pasangan yang hartanya lebih dari cukup.

San tak masuk kantor, pikirannya kacau dan jikapun bekerja itu akan sia-sia. Persetan ia akan dimarahi, toh direkturnya juga ayahnya. Bukankah tak masalah jika pewaris istirahat sejenak?

"Ya Tuhan putraku!" pekik Jane, ia setengah berlari bahkan menjatuhkan keranjang bunga yang tadi ia bawa. Jane terkejut, anaknya datang tanpa harus dipaksa.

Ia memeluk San, lalu mencubit perut sang anak yang terasa keras karena otot.

"Kenapa tak bilang akan pulang? Aku bisa saja mempersiapkan segalanya, tadi mommymu ini baru saja memetik bunga dihalaman belakang," tutur Jane, tabiatnya memang cerewet layaknya ibu-ibu komplek pada umumnya.

"Tak usah berlebihan mom," sahut San. Ia melemparkan dirinya ke sofa, begitupun Jane yang ikut duduk dihadapan San.

Helaan napas terdengar berat membuat kening Jane mengerut, raut wajah San memang sulit diprediksi tapi ikatan batin seorang ibu tak pernah meleset.

"Kau ada masalah eum?" tanya Jane.

San membuka matanya, kedua mata itu memerah kentara akan tangis yang mati-matian ia tahan. Jane menutup mulutnya terkejut melihatnya, ada apa dengan San? Ia langsung menghampiri San lalu memeluk anak tunggalnya ini.

"Ada apa sayang?" Jane mengelus punggung San lembut.

Kedua tangan San mengepal, tak ada air mata hanya saja kedua bola mata itu memerah dengan napas yang tak beraturan, amarah, kecewa dan sedih bercampur melebur jadi satu.

Jane mengusap kepalan tangan San, ia tak bertanya lagi menunggu San tenang.

"Sona tolong ambilkan minum!" pekik Jane pada pelayan.

Tak berapa lama, pelayan datang dengan bawaan yang diperintahkan.  Jane langsung membantu San untuk minum.

"Jangan membuatku khawatir." Jane mengusap kening sang anak yang dibasahi peluh.

San tak menjawab, ia memeluk Jane erat. Kemanapun kaki seorang anak melangkah, tetap saja langkah kaki tak pernah lupa dimana rumah utamanya. San memang seorang dominan tapi ia juga butuh dekapan seorang ibu dan ini terasa hangat.

"Mom ... apakah aku buruk?" San melepas pelukannya.

Jane menggeleng. "Kau putraku, siapa yang mengatakannya. Putra Jane yang terbaik," ucapnya.

San menggeleng pelan, jika Jane tahu apa yang ia lakukan pada Arvi wanita ini juga pasti marah.

"Aku buruk mom, aku melukainya. Aku bahkan melakukan hal yang sangat buruk, bagaimana ini?" San berceloteh tak tentu arah namun Jane mengerti karena setiap putranya melakukan kesalahan pasti ia akan bertingkah seperti ini, mengingat bagaimana dulu ia tak mau bicara selama dua hari karena telah membuat mainan robot dari Maven rusak.

"Kesalahan apa? Coba katakan, wanita ini mommy mu San," ucap Jane.

Tatapan keduanya bersi robok saling meyakikan.

"Mommy tak akan marah jika kamu bercerita," sambung Jane. San anak yang tertutup, ia pendiam. Terlebih jika memiliki masalah, Jane bahkan sulit untuk mengetahuinya.

San membalas genggaman tangan Jane, ia mulai bercerita mengungkapkan segalanya meyakinkan diri jika Jane tak akan marah, Jane ibunya dan itu tak masalah bukan? San menghentikan ceritanya melihat ekspresi Jane berubah  saat ia mengatakan telah melakukan hal menjijikan pada Arvi bahkan bisa disebut 'pelecehan' karena bukan unsur mau sama mau, bahkan genggaman Jane semakin mengerat.

"Kau melakukannya?" ucap Jane ragu, jujur ia kecewa bahkan sangat kecewa. San bukanlah pribadi seperti itu, kenapa anaknya sejauh ini?

San mengangguk, ia menunduk. Siap menerima segala konsekuensi yang akan terjadi.

"Kau berani menebus segalanya?" tanya Jane, yang kembali di angguki San.

"Jangan putuskan Arvi tapi kirimkan dia untuk tinggal di sini, dan kau ... kau tetap tinggal di apartement,  kalian harus dipisahkan. Perlakuanmu padanya hal yang sangat buruk, dia bisa saja memiliki trauma, San ... kamu putra mommy tapi itu bukan berarti mommymu ini akan membela orang yang salah. Jadi biarkan Arvi tinggal di sini, aku yang akan menemaninya tak terbayang anak sebatang kara itu harus melawan ketakutannya sendirian dan kau tak bisa menemaninya karena kau sendiri sumber ketakutannya," tutur Jane, walau terdengar tenang percayalah Jane menahan amarahnya karena tak mau membuat San takut bercerita kembali padanya.

San menghembuskan napas, yang dikatakan Jane benar. Ia tak bisa lagi tinggal bersama Arvi, bahkan sikap Arvi pagi tadi kentara jika sang kekasih takut padanya bukankah membiarkan Arvi dengan Jane adalah hal paling benar? Dan San harus menerima itu.

"Terima kasih mom, maaf telah melakukan kesalahan sebesar ini. Maaf juga telah mengecewakanmu," ucap San, ia menunduk dalam.

"Minta maaflah pada orang yang kau lukai San dan berhenti melukainya, maafmu akan terasa omong kosong jika kamu tak berhenti melukainya." Jane mencium pelipis sang anak.

_____

HARUS BANYAK VOTEMENT, biar sayahh semangatt😚

Aww jamet



SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang