"Ayo pergi." Arvi langsung menarik Ezra membawa sang anak ke dalam pangkuan. Wajahnya begitu kentara menahan amarah.
"Kenapa buru-buru?"
Amarah yang semula ditahan agar mereda kembali naik kepermukaan, selain Elio ada San yang memang sama-sama tak tahu malu, ia menatap si domina sinis.
"Aku tak ingin berkumpul lagi dengan orang-orang brengsek seperti kalian," ucap Arvi.
Bawen sampai tak percaya jika Arvi akan seberani ini, tatapan Arvi bak tombak menghunus ikan dalam sungai.
"Vi ... " Bawen berusaha menengahi.
"Diamlah, berhenti bersikap baik pada manusia anjing seperti mereka. Mereka hanya sekumpulan iblis bertopeng manusia," tutur Arvi.
Suasana semakin menegang, tak peduli para pengunjung lain yang mendengar menatapnya dengan bermacam-macam reaksi.
"Ezra ... nanti kita main lagi ya." Kio dengan polos bersuara membuat Arvi mendekat.
"Katakan pada anakmu untuk tak usah sok akrab pada putraku, Ezra tak akan kubiarkan kenal dengan bagian bedebah sialan," ucap Arvi.
"Kau boleh marah tapi Kio tak ada hubungannya dengan ini, kau ... "
"Bicaralah pada angin."
Arvi menyela ucapan San, ia beranjak membawa Ezra yang tampak takut dengan sang papa karena ini baru pertama kalinya ia melihat dan mendengar perkataan kasar Arvi.
"Papa Ezra!"
"Ezra!"
Kio hanya anak polos yang tengah merasakan senangnya memiliki teman baru, ia berteriak memanggil sang teman tapi Ezra sama sekali tak meliriknya justru semakin menenggelamkan kepalanya pada dada Arvi. Seperti kehilangan benda tersayang Kio menjerit, seolah mainannya direbut.
"Sstt ... tak apa, tenanglah." San menggendong Kio, menenangkan sang anak.
San menatap kepergian Arvi sendu, semua sudah hilang. Arvi sampai membenci Kio karena perbuatannya, bahkan San belum puas melihat keduanya, ia berusaha tenang agar bisa melihat Arvi dan Ezra lebih lama.
San memang bedebah, seharusnya ia lebih bisa mengendalikan situasi, jika ia bisa ia ingin kembali mendekap Arvi seperti malam terakhir Arvi memeluknya erat, mengatakan jika ia mencintai dirinya tapi sekarang rasanya itu sulit.
San tercekik, ia berharap semua tak pernah terjadi. Ia tahu Arvi pasti terluka kembali bertemu dengannya, tapi bisakah San meminta waktu, mengemis pada semesta untuk memberinya waktu sedikit lebih lama hanya untuk menatap dua orang tadi? Ia juga ingin lebih lama menatap anak kecil yang bahkan tak tahu siapa ayah kandungnya, mendengar Ezra memanggil Bawen sehangat itu, rasanya seperti ia membawa api ditangannya. Namun ia tak bisa apa-apa, ia hanya raga yang sudah lelah berontak memilih hanyut dalam curamnya sungai bebatuan, terbentur sampai ribuan kali sampai matipun ia sudah terima.
"San ... "
Suara Elio menyadarkan San dari lamunannya.
"Apa kau tak mau mengejarnya lagi?" ucap Elio lirih bahkan bekas air mata masih kentara di kedua matanya.
"Bisakah?" San menyahut serak, energinya sudah habis.
"Maaf tak pernah bisa membantumu, aku berjanji akan mengembalikan semuanya beri aku waktu ... ak-aku akan mengembalikan apa yang hilang." Elio bergetar, ia menunduk membiarkan air mata kembali mengalir. Maju kena, mundur kena, ia menjadi serba salah dalam hal apapun.
San menggeleng, menatap kosong kursi yang tadi di duduki Arvi.
"Bahkan untuk meraih bayangannya pun aku sudah tak mampu, kau tahu? Aku begitu mencintainya, sampai aku rasanya ingin mati," ucap San.
"Napasku di setiap detik hanya membuatku semakin tertekan, aku ingin menata kehancuran ini menjadikan seperti semula, tapi bukankah kita semua tak berdaya? Kau dan aku sudah terjerat hal rumit dan jika salah langkah jiwa yang tersisa ini akan melebur."
Elio menggigit bibir bawahnya, menikah dengan sahabat dan tak saling mencintai menjadi ajang hidup dalam keterpurukan, meninggalkan dunia yang di dambakan lalu menyiksa diri sendiri, bukankah itu kehidupan yang memang sengaja dirajut dengan benang api yang panas?
"Papa ... apa bedebah sialan itu? Kenapa papa Ezra mengatakan itu?" Kio berucap kecil ia turun dari pangkuan San, lalu memeluk Elio.
"Papa jangan bersedih, Kio akan bersama papa sampai kapanpun. Kio berjanji," ucap si kecil.
Elio mengangguk, ia mengecup kedua mata Kio bergantian. Semua orang boleh membencinya tapi tidak dengan Kio, ia hanya malaikat yang sayangnya lahir dari iblis buruk rupa sepertinya.
"Jika suatu saat kau tahu Ki, aku siap menanggung kebencianmu. Bencilah papamu, papamu juga sudah menghancurkan hidup banyak orang, tapi papa berjanji papa akan mengembalikan semuanya sekalipun dengan menukar hidup papa ... di dunia ini hanya kau yang menjadi alasan papa, San sahabatku masih di sini karenamu dan ayahmu sendiri sama sekali tak pernah bisa menemui kita, semoga semesta memberimu sedikit kebaikan sampai ia menebus semua takdir buruk yang selama ini kita jalani. Hidup dengan takdir rumit menekan dan menghabisi kita berkali-kali, papa akan mengemis pada semesta dari sekarang untuk kebaikanmu. Seluruh dunia boleh membenci papa tapi tidak denganmu, kau hanya anugerah yang papa perjuangkan hidupnya."
Elio menggengam tangan Kio, berkata dalam hati, menjeritkan permohonannya. Hidup dalam rasa bersalah memang menyesakkan.
Anak sekecil Kio harus mendengar perbincangan rumit orang dewasa, Elio berharap takdir sedikit memiliki belas kasihan pada putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND [lengkap]
Roman d'amourArvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. San terlalu perhatian dan menyayangi Elio, sahabat kecilnya. Sampai melupakan jika Arvi selalu cemburu...