Kedua mata itu mulai terbuka, cahaya lampu menyilaukan mata membuat keningnya mengerut, di samping itu wanita dengan rambut digerai menyunggingkan senyum saat sang anak mulai sadar.
"Mom ... "
Lirih dan serak, mengalun dari belah bibir si anak tunggal.
"Kau sudah bangun sayang?" Jane mengusap pipi San yang langsung ditepis kasar oleh sang anak.
San mengedarkan pandangannya, mencari Maven.
"Daddymu kembali pergi," bisik Jane dibarengi kikikan.
Kedua tangan San mengepal, ia duduk dengan susah payah. Pandangan keduanya bersi robok.
Senyuman Jane semakin melebar, wanita itu beranjak mengambil sesuatu dalam laci lalu menunjukkannya pada San. Sebuah jarum suntik dengan sebuah cairan di dalamnya.
"Ck, sayang sekali ... aku harus membius mawar dengan ini," gumam Jane yang masih bisa di dengar oleh San.
"Berhenti menjadi gila, kau sudah melakukan itu kemarin malam padaku. Dari pada membiusku lebih baik putuskan saja leherku sekalian, kau terlalu bertele-tele," tutur San.
Selama ini ia tak pernah berani pada ibunya, ia selalu merasa harus tunduk dan menghormati Jane tapi kali ini perbuatan Jane sungguh di luar nalar. Bahkan dirinya disuntik cairan bunga aconitum yang dicampur air. Bunga ungu beracun yang memiliki racun, racun yang mungkin perlahan akan merenggut nyawa dari raga jika terus-menerus disuntikan.
Mata Jane berkilat, ketukan sepatu hak tingginya selalu menjadi ketakutan bagi San. Wanita itu mencondongkan tubuhnya.
"Seharusnya sejak dulu aku menyimpan maha karyaku, lihat ... bagaimana orang sekitar membuatmu rusak sampai melawan padaku, bahkan kau mengatakan hal kejam pada ibumu sendiri." Jane menampilkan raut sedih tapi di mata San itu hanyalah ekspresi main-main terbukti dengan kikikan Jane di akhir.
"Tapi mulai sekarang tak ada yang bisa merusakmu lagi, karena aku akan segera menghilangkan semua hama .... termasuk ayahmu," bisik Jane membuat San terbelalak.
Jane tertawa nyaring, senang melihat ekspresi menggemaskan sang anak. Anak kecilnya, anak manisnya, San anak tunggal maha karyanya tak boleh ternodai ucapan orang-orang kotor seperti yang lain.
Wajah San yang semula sedikit membaik kembali memucat, ia teringat saat ia belum sadarkan diri tadi ada ayahnya lalu ia memanggil dokter, lalu kenapa sekarang terasa sepi? Dimana Elio dan Kio? Kedua tangannya mengepal saat pikiran buruk mulai menghantuinya.
Walau masih lemah San beranjak, ia mendorong Jane.
"Arghh!" pekik Jane saat kepalanya terbentur lantai.
San melangkah terseok-seok, ia berusaha membuka pintu tapi wanita itu lebih pintar sudah mengunci pintu terlebih dahulu. San mendengkus saat Jane kembali bangkit dengan seringaian, ia tahu jika ia tak mengalahkan Jane maka ia lah dan yang lain yang akan kalah. Bisakah kedua tangannya melukai wanita itu? Wanita yang walau kejam tetap saja ibunya? Ibu yang mengajarkannya bicara, berjalan, merawatnya sejak kecil? Katakanlah San lemah, ia pengecut dan tak bisa melawan seorang wanita. Tapi adakah seorang anak yang tega melukai ibunya? Ribuan tombak mungkin bisa San terima, tapi sebagai anak ia juga sangat menyayangi Jane.
Jane terkekeh ia semakin mendekat dengan suntikan yang mengacung, siap melumpuhkan sang anak kembali.
"Ke sini sayang ... ayo peluk mommy, sayang ... nanti mommy belikan mainan." Jane tersenyum.
San mengepalkan tangannya, ia berdiri diam seolah tak bisa bergerak saat sang ibu tepat berdiri di hadapannya. Saat dunia menyuruh melawan, San mungkin bisa jika lawannya adalah seorang musuh tapi di sini lawannya adalah dia, wanita yang membesarkannya.
"Mom .. mari berdamai, aku ... " San kehabisan kata-kata saat suntikan itu semakin dekat dengan kulit lehernya.
Seolah logika yang bermain, San menangkis lengan Jane membuat suntikan itu terlempar. Saat San akan mengambil benda itu, dari belakang Jane memukul punggungnya dengan tongkat baseball membuatnya memekik.
Jane mengambil alih permainan, ia berhasil memegang suntikan itu. Namun dengan cepat San yang masih bertahan, pria itu menginjak telapak tangan Jane membuat suara jeritan mengisi ruangan.
"Menyingkir!" teriak Jane.
San mendorong Jane, lagi wanita itu tersungkur sampai kepalanya terpentok nakas, membuat cairan kental merah merembes dari keningnya.
Melihat Jane yang terluka, San mengambil suntikan itu lalu ia menancapkan pada leher Jane membuat jeritan Jane semakin keras.
"Maaf ... maaf ... " gumam San, lengannya bergetar saat melakukan hal yang pernah Jane lakukan juga padanya.
Melihat Jane yang mulai kehilangan kesadaran, San mencari kunci kamar. Percayalah saat ini San dilanda panik dan takut, takut orang-orang sekitar terluka karenanya.
Nihil, Jane seperti sudah menebak akan hal ini. Kunci seolah lenyap, San mengacak rambutnya frustrasi. Ia melihat jendela kamar, dengan penuh tekad ia memecahkan jendela kamar dengan tongkat baseball.
Kamar Jane bertepatan dengan kolam di bawah sana, jika San meloncat dari jendela maka ia akan langsung tercebur ke kolam. Ini adalah opsi terakhir yang San pikirkan.
Tak peduli pecahan kaca melukai kakinya, San menerobos keluar dari jendela yang sudah dipecahkan.
San bukanlah atlet loncat jauh, tapi demi orang-orang sekitarnya San memberanikan diri.
'Byurrr'
Tubrukan antara tubuh dan air menjadikan suara ceburan yang keras, terlebih memberikan efek pada tubuh yang terasa sakit, pecahan kaca yang menancap di kaki menambah rasa ngilu. San berjalan ke sisi kolam lalu naik, tetes demi tetes darah mengotori air.
"Shh ... " San meringis, saat mencabut pecahan kaca di kedua telapak kakinya.
San mendongak melihat jendela yang terbuka, ia tersenyum kecut saat mengingat di dalam sana ada Jane.
Tak mau membuang waktu takut jika Jane kembali sadar, San mulai berlari persetan dengan rasa sakit, ia harus mencari Elio dan Kio.
Sepi.
Tak ada satupun pelayan, San memeriksa setiap sudut ruangan meninggalkan bercak darah di setiap langkahnya. Hanya gudang milik Jane yang belum San periksa, ia mulai mendobrak pintu sampai percobaan beberapa kali barulah pintu terbuka memberikan cahaya pada orang yang tersekap di dalam.
"El ... " San menghampiri Elio yang tanpak lemas, "kumohon ... tetaplah sadar," sambungnya.
"S-san ... Kio ... " Elio menyahut terbata-bata.
San menoleh ke kursi satunya, di sana Kio sudah tak sadarkan diri. Sejak kapan keduanya terkurung di sini? San melepas tali yang mengikat keduanya, ia tak habis pikir dengan Jane. Kenapa ia begitu tega melakukan ini?
"El naiklah kepunggungku, ayo ... "
"Ta-"
"Sudahlah ayo naik," sela San. Alhasil Elio naik ke punggung sang dominan.
"Pegangan yang erat," ucap San.
Dari belakang ia menggendong Elio, sedangkan dari depan ia memangku Kio.
San berusaha menahan sakit, ia harus bisa membawa Elio dan Kio ke rumah sakit. Dengan langkah terseok ia meninggalkan rumah, membawa Elio dan Kio pergi menggunakan mobil. Tanpa ia tahu, sosok yang ia pikir tengah melawan sakit karena cairan biadab ternyata sosok itu menatap kepergiannya dengan tatapan dingin dari balkon. Bibir merah itu menyeringai. San lupa jika Jane begitu licik, cairan dalam suntikan tadi hanyalah air biasa. San kembali terjebak dalam taktik licik si rubah pintar. Jane sengaja membiarkan San melakukan hal tadi dan pura-pura pingsan agar bisa memanah burung lain.
"Pergilah sejauh mungkin agar aku tak bisa menggapaimu," gumamnya dengan kekehan. "Tapi burung yang tak memiliki sayap tak bisa pergi jauh dari sarangnya, lari selamatkan dia ... dan kau akan semakin terluka saat ibumu ini melenyapkan kesukaanmu, ck ... aku sudah tak sabar untuk mempersembahkan darah pria itu, pasti wajahmu akan memerah saat aku memberi hadiah indah." Jane terkikik, ia melangkah membawa pisau kecil dibalik tangannya.
"Mommy datang Arvi sayang ... "

KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND [lengkap]
RomanceArvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. San terlalu perhatian dan menyayangi Elio, sahabat kecilnya. Sampai melupakan jika Arvi selalu cemburu...