Selain mawar merah, Jane juga menyukai bunga aconitum. Bunga berwarna ungu cantik yang dipajang berserta pot besar di kamar.
Senyuman terbit di wajahnya kala melihat anak tunggalnya terbaring di ranjang, semalam hampir saja maha karyanya tergores parah oleh kuku-kukunya.
Suara pintu dibuka kasar membuat atensi Jane teralihkan. Maven masuk dengan tergesa.
"Pelayan mengatakan San sakit, sakit apa dia?" tanya Maven.
Jane menghampiri Maven, mengelus dada sang suami.
"Ia hanya terlalu lelah," jelas Jane. "Pekerjaanmu selesai? Akhir-akhir ini kau mulai sibuk lagi," sambungnya.
Maven menghela napas, tak mengubris ucapan Jane. ia terlalu khawatir saat mengetahui San sakit.
"Ada apa dengan leher San, sampai menggunakan plester?" Maven menyentuh beberapa plester yang digunting kecil menempel pada beberapa bagian leher sang anak.
Jane tak menjawab, ia lebih fokus menyemprot bunga ungu kesayangannya, memilih abai dengan pertanyaan Maven.
Jane. Bunga, lipstik merah, sepatu hak tinggi dan rambut digerai kadang kala di gelung adalah satu kesatuan yang menjadi ciri khas yang unik. Kecantikannya itu seolah tak lenyap ditelan waktu.
"Kau tahu semalam dia menangis, dia tak bahagia menikah dengan Elio. Kau penyebabnya," ucap Jane sendu, wajah yang semula sedingin es berubah sendu terkesan ikut terluka melihat San terjerat hubungan pemaksaan.
"Bukankah kau bilang dia bahagia?" ucap Maven lagi, ia menghampiri Jane membuat keduanya saling berhadapan.
"Elio tak bisa membahagiakan San, kau menyuruhnya menikahi Elio yang saat itu hamil anak dominan lain, bukankah tak adil bagi San?"
Memanah burung yang tengah terbang adalah keahlian Jane, ia akan membawa burung itu lalu menjeratnya sampai bagian dari sayap demi sayap patah akan kerapuhan.
"Kemari." Jane membisikkan sesuatu pada telinga Maven, membuat sang suami terbelalak. Kedua tangannya mengepal seolah siap memusnahkan setiap musuh yang datang.
"Ah ... sudahlah, aku akan masak hari ini. Aku ingin mengadakan perayaan kecil."
Setelah membuat Maven bergeming terdiam dalam kebisuan, Jane melangkah pergi.
"Daddy ... "
Suara serak San membuat Maven kembali ke dalam kesadarannya, ia menghampiri San. Setiap San sakit, Jane akan merawat San dengan tangannya sendiri dan menyuruh San diam di kamarnya, ya kamar ia dan Jane.
"Kau kenapa San? Apa yang sakit?" Maven duduk di sisi ranjang.
"Daddy ... apa daddy memiliki waktu untukku?" ucap San lirih.
Maven mengangguk, ia ada waktu hari ini. Walau lelah, tak apa ia akan menemani San.
"Aku ingin mengatakan sesuatu," ucap San.
"Katakan." Maven menajamkan pendengarannya.
"Ayo pergi dari sini ... di sini ada penyihir Dad," ucap San dibarengi lelehan air mata di kedua sudut matanya. Tubuhnya mulai bergetar, wajah yang semula pucat semakin memucat saat sudut matanya menangkap sebuah objek di sudut ruangan.
Maven mengerutkan kening. "Ada apa San?! Kau kenapa?!"
San menggeleng ribut, dadanya sesak, tenggorokannya terasa panas. Pertanyaan Maven tak mendapatkan jawaban, tubuh San mengejang,
"JANE!"
"JANE!"
teriakan Maven mampu menembus tembok kamar, membuat sang ratu di rumah datang dengan tergesa, guratan kekhawatiran begitu jelas di wajahnya.
"Astaga sayang!" Jane menghampiri San, ia langsung membawa San ke dalam pelukannya.
"Sayang kau kenapa? Hei ... "
Maven langsung menghubungi dokter, ia membiarkan Jane mendekap San.
"Jangan menjadi anak pembangkang, diamlah menjadi anak manis."
Wajah itu berangsur berubah dingin, membisikkan kata dingin pada telinga sang anak membuat San menegang, kejangnya semakin menjadi bahkan mulutnya berbusa tapi dengan sigap Jane membersihkannya.
"Kita lihat, apa mawar bisa melawan aconitum," bisik Jane dengan senyuman menghiasi wajahnya.
"Dokter akan segera datang."
San meremat bahu Jane, ia menatap sang ayah yang mengkhawatirkannya. Tak tahukah Maven jika semua ini perbuatan penyihir? Maven memang pemaksa dan kasar, tapi ayahnya lebih baik dari sang ibu. Lelehan air mata semakin berlomba-lomba keluar tanpa suara, gigi bergemeletuk berusaha menahan reaksi tubuh yang semakin menjadi.
"Sial dokter lama sekali, sialan tak berguna," umpat Maven.
Di sini San tak berdaya di ruangan lain Elio tengah terikat dalam gudang dari semalaman, di saat San bertempur dengan Jane, wanita itu lebih dulu mengurung Elio dalam gudang bersama dengan Kio, keduanya diikat saling berhadapan.
"Papa ... Kio haus," ucap Kio lirih, wajah sang anak sudah pucat namun tak bisa dilihat Elio. Bayangkan saja keduanya dikurung dari semalam sampai sekarang tanpa diberi makan dan minum, terlebih di gudang gelap. Elio tak tahu ini siang, sore atau apa, karena dalam gudang sama sekali tak ada pentilasi hanya secercah cahaya kecil dari bolong tembok, itupun sangat kecil dan menghasilkan sedikit cahaya. Rasanya sesak.
Selama tinggal di sini, baru kali ini Elio mendapat perlakuan buruk secara fisik dari Jane, selama ini ia hanya mendapatkan makian dan perkataan pedas saja.
"Sayang ... bertahan ya," sahut Elio.
Apa yang terjadi di luar sana sampai Jane bisa semarah ini? Apa yang terjadi pada San saat ini? Elio menggigit bibir bawahnya, berharap San baik-baik saja.
"Papa ... apa daddy juga di ikat?" ucap Kio takut, ia mengkhawatirkan daddynya.
Elio menggeleng. "Tidak, daddy sedang mencari kita. Kita sedang bermain saat ini, tunggu sebentar lagi ya ... "
Permainan? Permainan manusia bertopeng huh? Elio harus bisa membuat Kio tak menganggap ini menyeramkan.
"Sayang ... ayo bernyanyi sampai daddy menemukan kita," ucap Elio bergetar, napasnya sudah mulai tak normal.
Suara Kio mulai terdengar walau bergetar, Kio tampak berusaha tetap bernyanyi dibarengi Elio.
_____
Baca berurut woyy
25, 26,27.
Kalian kenapa pada langsung ke 27, gak ada notif 26 sama 25 kah?
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND [lengkap]
RomanceArvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. San terlalu perhatian dan menyayangi Elio, sahabat kecilnya. Sampai melupakan jika Arvi selalu cemburu...