8

22.4K 1.8K 57
                                    

Wanita dengan rambut panjang digerai dan tubuh tinggi semampai berdiri menatap sang anak tajam, sudah kedua kalinya ia harus memaksa putra tunggalnya ini untuk pulang.

"Sebenarnya apa yang membuatmu terus di apartement?" Jane bertanya tegas, bibir yang dibaluti lipstik merah menyala itu menambah kesan tegas akan dirinya.

"Tidak, aku hanya malas pulang," sahut San datar.

Jane Maven, wanita cantik itu ibu dari San Maven. Seorang mantan model yang harus berhenti dari karirnya semenjak memiliki anak karena memilih fokus pada keluarga. Ia merasa jengkel San terus mengelak dan banyak alasan jika di suruh pulang, bukankah seorang ibu memang selalu ingin berkumpul dengan anaknya? Tapi lihat si keras kepala San hampir saja membuat amarah sang ibu meledak.

"Ya Tuhan, kau keterlaluan. Kau ingin aku mati tua sendirian?" celetuk Jane membuat San menghela napas.

Jane duduk dihadapan San, ia meminum jus buatan pelayan. Ia memang memberi kebebasan pada San tapi bukan berarti San akan dengan kurang ajar melupakan rumah.

"Mulai besok kau tak boleh kembali ke apartementmu itu, jika tidak aku akan mengadu pada ayahmu agar memecatmu sekalian," tutur Jane.

Mendengar ucapan Jane, membuat San terlonjak. Apa-apaan itu, ia tak sudi lagipula bagaimana dengan Arvi, San tak mungkin meninggalkan sang kekasih sendirian.

"Mom, bukankah itu berlebihan? Aku tak mau," ucap San.

Jane mendengkus tak peduli pada bantahan San, bahkan jika San merengek ia tetap tak akan menurutinya lagi. Jane menulikan pendengarannya enggan mendengar celotehan San yang entah mengapa begitu keras membantah.

"Mom ... ak-"

"Katakan memang ada apa di apartementmu huh?" Jane menyela, ia menuntut jawaban pasti.

San memejamkan matanya, berusaha tenang. Berurusan dengan Jane memang bukanlah hal sulit tapi juga cukup menegangkan. Ibunya orang yang begitu teliti.

"Mom, aku tinggal bersama temanku. Jika aku meninggalkannya, bukankah itu membuatnya sendiri? Seharusnya kau mengerti, lagipula aku bukanlah remaja labil lagi," jelas San.

Jane menaikkan sebelah alis, teman? Bukankah ini pembahasan yang cukup menarik, teman yang mana maksud si tunggal ini.

"Elio?"

San menggeleng, membuat Jane menyeringai.

"Bawen? Hia?"

Tak ada jawaban, Jane yakin bukan dari keduanya. List nama pertemanan San hanya mereka, jadi siapa teman yang begitu dikhawatirkan San?

"Sudahlah, jangan banyak alasan. Aku tetap melarangmu kembali, aku tak hanya mengancam, tak usah membantah. Lagipula temanmu yang mana, jangan berbohong."

Gotcha

Wajah San memerah, Jane berhasil membuat anaknya ini masuk perangkap. San terlalu tertutup, bahkan sudah tak pernah bercerita apa-apa lagi padanya.

Hening untuk beberapa menit, San tampak berpikir sedangkan Jane menatap lamat wajah kebingungan itu.

"Arvi, namanya Arvi. Dia temanku, dia penakut, dia ceroboh, bodoh dan juga tak bisa hidup sendiri. Jadi kumohon aku harus kembali ke apartement."

Jane melipat tangannya, seperti memenangkan lotre saat San menjelaskan tanpa dipinta lagi. Arvi? Bodoh jika Jane percaya akan ucapan San, terlihat jelas anaknya begitu mengenal pria itu bahkan kekhawatiran San terlalu berlebihan jika Arvi hanya sebatas teman.

"Putuskan dia."

San membelalak tak percaya, kedua tangannya mengepal jantungnya terpacu dua kali lebih cepat.

"Mom ... apa maksudmu? Tidak," sahut San.

"Bukankah teman? Kenapa kau menjawab tidak, ouh demi Tuhan kau membohongi ibumu. Siapa yang mengajarimu huh? Apa temanmu itu?"

Rentetan perkataan Jane membuat San memanas, alasan ia tak mau memberi tahu ibunya tentang Arvi adalah ini, ibunya begitu posesif. Ia tak mau sampai terjadi sesuatu pada Arvi.

"Dari mana, siapa, kalangan mana, apa pekerjaannya, lalu bagaimana sikapnya dan sejak kapan kalian saling mengenal?"

San hanya diam, ia tak tahu harus menjawab apa. Terlalu takut melakukan kesalahan.

"Siapa yang memulai dan apakah kalian seimbang dalam hal apapun?" ucap Jane lagi.

Tak ada jawaban membuat Jane menaikan sebelah alisnya. San bahkan terlihat enggan menjawab.

"Kupikir kau dan Elio sepasang kekasih." Jane memainkan kukunya, ia berceloteh tanpa melihat San.

"Jadi kekasihmu Arvi? Jadi jawab sekarang sudah berapa lama, jika kau masih diam aku akan mendatangi kekasihmu."

Ucapan Jane berhasil membuat San mendongak.

"Tiga, tiga tahun. Hubunganku dengannya sudah tiga tahun, dia yang memulai, sikapnya baik, dia dari kalangan biasa, dia seorang kasir swalayan tapi dia submisif baik dan pekerja keras." San berucap gugup, perasaan takut menyerang membuat ia mengatakan semuanya.

"Aww ... tiga tahun? Dan kau menyembunyikan itu dari orang tuamu, bahkan sudah tinggal bersamanya juga. Tiga tahun bukan waktu sebentar, apakah submusifmu tak mau bertemu denganku? Selama ini yang selalu kau bawa ke rumah hanya Elio, jadi kupikir dialah kekasihmu," ucap Jane.

"Elio putra teman ayahmu, dia dekat denganmu, kalian tumbuh bersama. Aku jadi ragu hubunganmu dengan pria itu akan tetap berlanjut, kau tahu sendiri," sambung Jane.

San mendengkus, ia berdiri dari duduknya. Pembahasan ini sudah cukup menggerus kesabarannya, Elio hanya sahabat dan Arvi jelas kekasihnya dan kedua orang itu memiliki tempat berbeda dihatinya.

"Aku tak yakin akan tetap berlanjut tapi baik pergilah sana dan ingat jaga kekasihmu." Jane mengedipkan sebelah matanya.

"Jangan pernah berani untuk menyakitinya atau bahkan menemuinya." San berucap tegas, membuat Jane terkekeh kecil.

Menyenangkan melihat putranya bersikap hero seperti itu. Jane mengekori San, ia melambaikan tangan saat sang anak menaiki mobilnya.

"Aku tak janji jika aku akan diam!" teriak Jane dengan seringaian.

_____

Tarik napas dulu yukk ... wkwkw

Btw votement banyak baru gue up, biae seimbang.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang