25

21.4K 1.6K 168
                                    

Ini sudah hampir larut tapi tak membuat San mundur untuk mendatangi rumah Bawen.

"Pergilah ... kau harus bicara dengan Arvi."

Yang dikatakan Elio benar, ia harus menemui Arvi. Walau mungkin akan sia-sia, setidaknya San harus lebih berani mengatakan segalanya lalu urusan dimaafkan itu terserah Arvi, ia akan menerima apapun tanggapan mantan kekasihnya itu.

San memencet bel beberapa kali, sampai pada akhirnya pintu dibuka, ia disambut hangat oleh pelayan.

"Silahkan Tuan, Anda tamu Tuan Bawen?"

San mengangguk, ia melirik jam tangannya, ini pukul sebelas lebih empat puluh menit. Bertamu di malam hari, memang terkesan tak memiliki sopan santun tapi San sungguh hanya bisa menemui Arvi sekarang.

Suara langkah kaki membuat atensi San teralihkan, di sana ia dapat melihat Bawen menuruni tanggan dengan santai.

"Kau datang?" Bawen menghampiri, duduk dihadapan San.

"Ya, bisakah aku bicara dengan Arvi?" ucap San ragu, membuat Bawen terkekeh geli.

Ayolah, ucapan ragu San dan wajah sangarnya itu sangat tak cocok.

"Kau yakin ingin menemuinya? Kau tak takut dengan segala sumpah serapahnya? Dia bukan lagi Arvi yang mengatakan mencintaimu di setiap waktu, sekarang dia papanya Ezra," tutur Bawen, tergelak melihat wajah memerah San kentara jika ada amarah di kedua mata si keturunan Maven itu.

San memejamkan mata, helaan napas terhembus berusaha menenangkan pikiran.

"Apapun itu, aku ingin menemuinya." San berucap tegas, persetan dengan reaksi Arvi padanya, San hanya ingin bicara pada sang mantan.

Bawen tersenyum tipis, ia beranjak lagi tanpa kata. Memberikan waktu pada San dan Arvi tidaklah buruk, San cukup pintar meminta bantuan padanya, ya sedikit belagu memang Bawen harus mengatakan jika Arvi hanya akan menurut padanya saat ini, jika Bawen menyuruh Arvi menemui San maka pria itu tak akan menolak, karena itulah sepertinya San memilih menemuinya dulu.

______

Awalnya Arvi menolak keras tapi Bawen berhasil membujuk si submisif. Dan di sinilah San dan Arvi sekarang duduk bersampingan di kursi taman belakang sedangkan Bawen hanya melihat dari kejauhan takut jika San atau bahkan Arvi melakukan hal di luar batas.

"Katakan, apa yang ingin kau katakan." Arvi berucap sinis, sungguh ia malas bertemu lagi dengan San.

"Apa kau bahagia sekarang?" ucap San pelan, jujur saja ia tak tahu harus bicara apa. Ia hanya ingin melihat Arvi, itu saja.

"Sangat bahagia, terlebih aku terlepas dari dominan sepertimu," sahut Arvi.

San tersenyum mendengarnya, ini jawaban sesuai dengan yang ia harapkan. Malam ini, langit gelap sekali bahkan bintang tak ada yang muncul, cahaya bulan redup, dinginnya malam tak mengalahkan perkataan Arvi yang dingin, tapi San ikut senang, jika Arvi bahagia walau tak bersamanya.

"Aku senang mendengarnya," ucap San tulus.

"Hah ... kupikir Bawen menyuruhku menemuimu karena ada hal penting, nyatanya tak ada. Buang-buang waktu saja, sebaiknya kau pulang ... Elio dan anakmu pasti menunggu."

San semakin melebarkan senyumnya, Arvi masih sama. Bawen salah, Arvi masih sama, ia yakin.

"Tapi aku ingin menemui anakku yang lain."

Ucapan San berhasil membuat Arvi berdiri, ia terkejut bukan main. San mengetahuinya? Arvi menarik kerah kemeja sang dominana, penuh amarah.

"Apa maksudmu brengsek?" ucap si manis penuh penekanan.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang