Ezra berlari menghampiri Arvi dan Bawen, ia menggandeng teman yang baru saja ia kenal.
"Kau dari mana saja, papamu hampir menangis saat kau tak ada di mobil," ucap Bawen yang dibalas cengiran tak berdosa si kecil.
"Siapa dia sayang?" Arvi mensejajarkan tingginya melirik Kio yang bibirnya penuh sisa es krim dengan telaten Arvi membersihkan sekitaran mulut Kio dengan tisu.
"Namanya Kio, dia yang mengajakku membeli es krim." Ezra menyahut senang.
"Hallo paman, namaku Kio." Kio menyapa ramah, tipikal anak yang sopan.
"Hallo aku papanya Ezra, Dimana orang tuamu? Terima kasih ya sudah mengajak Ezra membeli es krim, kau anak yang baik." Arvi mengusap kepala Kio gemas.
"Daddy dan papaku di dalam, aku memiliki uang saku jadi aku bagi untuk Ezra karena dia membantuku," jelas Kio bersemangat. Melihat Kio yang gemas seperti ini membuat Arvi penasaran siapa orang tuanya, pasti keduanya cantik dan tampan sampai menghadirkan sosok semanis ini, bukan hanya manis Kio juga tampak terdidik terlihat dari kesopanan anak itu.
"Kio!"
Arvi berdiri, matanya tak berkedip saat seseorang berlari cepat menghampiri Kio. Waktu seakan berhenti saat sosok yang sudah tujuh tahun tak pernah ia lihat lagi, saat ini tengah mensejajarkan tingginya dengan Kio. Apa Kio putra Elio?
"Papa mencarimu, bahkan daddy sampai mencari ke setiap sudut toko," tutur Elio tak sadar akan orang dewasa yang berdiri menatapnya tanpa kata.
"Maaf papa ... aku tak akan melakukannya lagi, tadi ada paman badut lalu aku meminta bantuan Ezra," jelas Kio merasa bersalah, Elio menganggguk ia begitu khawatir tadi saat San bilang Kio tak bersamanya.
Elio melirik Ezra yang berdiri di samping Kio.
"Terima kasih ya," ucapnya yang hanya di angguki oleh si kecil Ezra.
"Papa, kenalkan ... itu papanya Ezra." Tunjuk Kio pada Arvi.
Senyuman Elio lenyap saat ia berhadapan dengan submisif yang telah ia renggut kehidupannya. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, lidahnya kelu terdiam akan keterkejutan.
"Ouh hai El ... sudah lama tak bertemu." Bawen berceletuk, ia tersenyum membuat kedua matanya ikut tersenyum.
Elio tersenyum kaku. "H-hai ... sudah lama ya," sahutnya.
Berbeda dengan Arvi yang hanya diam, terlebih saat seorang pria keluar dengan paper bag ditangannya, waktu memang sangat senang bermain-main dengannya. San dan Elio bahagia ya? Terlebih mereka merawat Kio bersama, bukankah Kio putra keduanya?
Arvi sudah berdamai dengan masa lalu, tapi dipertemukan seperti ini rasanya kembali seperti pertama kali, sakit. Dulu pria itu kekasihnya, dia ayahnya Ezra tapi saat ini ia adalah suami Elio dan ayah Kio.
Tatapan keduanya bersi robok, rumit untuk dijelaskan yang satu memandang penuh luka yang satu kosong seolah semua kejadian ini sudah diprediksi sampai terkejut bukanlah hal pertama baginya.
"Baba dan papa kenal orang tua Kio?"
Kalimat yang kaluar dari mulut Ezra mengalihkan atensi keduanya, tak ada yang menjawab pertanyaan si kecil.
"Daddy ... bagaimana sudah? Maaf ya aku tak bilang saat keluar." Kio memilin bajunya.
San tersenyum tipis, ia mencubit pipi Kio.
"Lain kali jangan pergi tanpa bilang oke? Daddy dan papamu khawatir," ucap San.
Indah sekali, timbal balik? Karma? Arvi sama sekali tak melihat itu, kenapa yang ia lihat San begitu bahagia, mereka tampak keluarga yang manis dan harmonis. San tampak begitu menyayangi Kio, tak tahu kah San jika Ezra juga anaknya? Arvi merasa tak terima saat melihat perlakuan manis San pada Kio.
Selama ini Arvi mati-matian belajar menjadi manusia kuat, menyembuhkan lukanya tapi di sini San seperti tak merasakan apapun atas kepergiannya. Dimana keadilan itu? Ya, orang kelas rendah sepertinya memang selalu tertindas.
"Bagaimana kabarmu San?" ucap Bawen berusaha mencairkan suasana yang terasa dingin.
San tersenyum tipis. "Baik. Bagaimana denganmu?"
"Tentu saja baik," sahut Bawen.
Kejadian di masa lalu seperti tak pernah terjadi bahkan San mengabaikan Arvi yang sedari tadi masih menatapnya, telinganya tak begitu fokus dengan perbincangan San dan Bawen ia hanya tenggelam dengan wajah tanpa rasa bersalah itu. Bajingan gila, yang sayangnya ayah Ezra.
_________
Dan di sinilah dua keluarga yang tampak berhubungan baik itu tengah berkumpul, memang konyol. San mengajak Bawen makan siang bersama di restorants terdekat yang tentu saja Arvi dan Ezra juga ikut bergabung.
Bawen menggengggam tangan Arvi, agar sang submisif tak sampai lepas kendali di hadapan San.
Di sini yang banyak bicara hanya San dan Bawen, dari San yang bercerita tentang pertemuannya dengan Hia dan semacamnya.
Elio dan Arvi hanya diam sesekali melihat Ezra dan Kio saling menyuapi layaknya teman akrab.
"Eum, aku ingin ke toilet sebentar." Arvi beranjak.
"Aku akan menghubungi ayah dulu, aku lupa dia menyuruh untuk meneleponnya." Elio ikut beranjak setelah Arvi pergi.
Tersisa Bawen dan San, keduanya saling menatap serius bahkan perbincangan yang semula random kini berbalik semakin panas dan juga tegang.
Lain dengan dua dominan itu, di toilet Arvi membasuh wajah menatap dirinya dipantulan cermin yang nampak seperti zombie kelaparan. Ditengah lamunannya keningnya mengerut saat Elio berada dipantulan cermin juga, Arvi sontak berbalik membuat tatapan keduanya bertemu.
"Apa kabar Vi?" tanya Elio lirih.
Yang ditanya mendelik. "Kau bertanya kabar seseorang yang kau hancurkan hidupnya? Apa kau becanda?" ucapnya tajam.
"Maaf." Elio meremat celananya.
"Kau mengikutiku ke toilet hanya ingin mengatakan omong kosong? Maafmu tak mengembalikan segalanya, kau mengacaukan hidupku!" Arvi sudah terbawa emosi, mata kelam si manis bak menatap mangsa yang harus dicabik.
"Saat itu aku tak tahu harus apa, aku sangat takut oleh ayahku ... ak-"
"Diam dan tutup mulutmu, jangan pernah ganggu aku lagi. Nikmatilah kehidupan rumah tangga kalian yang bahagia itu, kupikir Kio bukan putramu hah ... ternyata dia anak yang ada hubungannya dengan kehancuranku, ingat jauhkan anakmu dari anakku."
Persetan jika semua orang menganggap Arvi kekanakan, ia hanya tak ingin anaknya berdekatan dengan luka lamanya. Karena bagi Arvi, Ezra hidupnya ia tak akan pernah membiarkan anaknya terlibat dengan orang-orang kejam.
"Jika aku menjadi kau ... aku sudah tak memiliki wajah untuk menemui orang yang kurenggut kehidupannya."
Setelah mengatakan hal itu, Arvi melangkah pergi meninggalkan Elio yang memucat.
"Arghh!" Elio mengacak rambutnya prustrasi. Perkataan Arvi benar-benar menusuk dan sialnya itu kebenaran.
Tanpa ia sadari Arvi masih berdiri di ambang pintu toilet, melihat betapa kacaunya Elio.
"Aku bahkan pernah lebih gila dari itu, menjerit memohon, melempar harga diri. Katakanlah mulutku tajam tapi aku berharap orang yang menganggap masa laluku sepele mereka merasakan hal yang sama, agar mereka paham."

KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND [lengkap]
RomansaArvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. San terlalu perhatian dan menyayangi Elio, sahabat kecilnya. Sampai melupakan jika Arvi selalu cemburu...