14

20.1K 1.8K 73
                                    

Bukan San yang menjemput Arvi melainkan Jane, wanita itu bertanggung jawab atas perbuatan anaknya. Terdengar kekanakan bagi San tapi begitulah seorang ibu, tidak hanya menasehati tapi memberi solusi.

Arvi menolak ajakan Jane, tapi pada akhirnya submisif itu tak bisa menolak dengan bujuk rayu Jane. Arvi tak masuk bekerja selama satu minggu tanpa izin membuatnya diberhentikan dan hari ini tepat ia menerima tawaran Jane, selain terpaksa ia juga tak mau dekat dengan San dulu.

Bola mata indah itu mengedar melihat sekeliling, tak pernah di ajak ke sini main tapi sekalinya datang ia akan tinggal di sini. Ini pertama kalinya Arvi menginjakkan kaki di rumah San dan ia juga akan menetap untuk sementara.

"Anggap saja rumah sendiri," ucap Jane membuyarkan lamunan Arvi.

"Terima kasih," sahut Arvi gugup.

Jane mengeluarkan sebatang rokok, ia mulai membakar nikotin itu. Asap menguar dari belah bibirnya, kala menyesap nikotin yang menurutnya menenangkan.

"Kau tak perlu khawatir, aku akan mendidik San kembali. Maafkan aku yang gagal mendidiknya sampai membuatnya beringas," tutur Jane, matanya menatap datar figura besar berisi foto keluarga yang terpajang apik di ruang tamu, seakan memamerkan jika rumah besar ini juga berisi keluarga yang lengkap tanpa cela.

Arvi menunduk tak tahu harus bereaksi apa, Jane terlihat menakutkan tapi hatinya begitu baik, itulah yang dapat Arvi simpulkan.

"Tak perlu sungkan, katakan yang kau suka dan katakan yang tak kau suka. Terkadang ada segelintir manusia yang sulit mengerti dan jika manusia itu dipasangkan dengan yang bungkam maka selamanya akan diam ditempat dan hancur, tak perlu takut untuk terus bersuara," ucap Jane lagi. Kini ia menatap Arvi lekat.

"San putraku yang baik tapi dia bukan kekasihmu yang baik," sambungnya membuat Arvi mendongak, tatapan keduanya bersi robok.

"Ak-aku tak tahu, saat ini aku ingin berpisah dari San. Aku sudah tak mau lagi menjadi kekasihnya," ucap Arvi.

Jane terkekeh. "Wajar, submisif mana yang mau bertahan dengan dominan sepertinya tapi perlu kau ingat, kau juga punya janji dengan ibunya."

Arvi meremat celananya, ya Jane baik tapi tetap saja ia wanita yang melahirkan San. Sebaik-baiknya Jane tetap saja wanita itu orang asing yang tak mau anaknya menerima kerugian.

"Kau berjanji tak akan meninggalkan San, kau juga terlihat yakin saat mengatakannya. Kenapa ingkar di saat aku sudah percaya?" Jane menggilas rokoknya, sudah tak selera untuk menyesapnya.

"Aku takut," sahut Arvi lirih. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, keringat mulai membanjiri wajahnya. Bayangan malam waktu itu membuat dirinya sulit mengendalikan diri. San kekasihnya sangat kasar, Arvi takut hal itu kembali terjadi.

Jane duduk di samping Arvi, di elusnya kepala si manis.

"Aku tak bisa kehilangan seorang anak, maka jadilah anakku yang lain," bisik Jane ia memeluk tubuh rapuh Arvi, menenangkan tubuh begetar itu.

"Kau akan aman bersamaku, percaya padaku. San tak akan berani datang jika tak di suruh olehku, kau bisa memanggilku mommy. Kau tak sendiri," tutur Jane lembut.

Arvi menggigit bibir bawahnya, rindu pada pelukan seorang ibu begitu menggerogoti.

"Sayang ... jangan takut, kau tak sendiri ada mama di sini."

Suara yang samar sudah Arvi lupakan mengalun dengan perkataan yang masih tertanam dikepalanya. Rindu pada sosok yang tak bisa lagi di lihat, membuat hati terasa diremas, Arvi sendirian itulah yang selalu ia rasakan. Hidup dikota besar tanpa ada kerabat ataupun saudara, tetap berusaha berdiri tegap di kala kesulitan datang. Ingin menyerah rasanya, tapi pria baik menyelamatkan hidupnya. San, dominan yang menjadi alasan Arvi tetap berdiri. Namun semuanya terasa kembali hampa saat logika mulai bermain, Arvi lupa orang sepertinya tak seharusnya banyak menuntut.

Semesta memberinya sosok yang sudi menemaninya tapi Arvi dengan kurang ajar meminta lebih, meminta waktu dengan kasih sayang besar. Bukankah ia sungguh egois?

Tangis anak sebatang kara itu semakin pecah, pelukan hangat dari seorang ibu dari pria yang Arvi tuntut waktunya terasa menampar. Bukankah Arvi harusnya bertahan seperti kata Jane akan janjinya? Ia adalah anak yang kuat selama ini, tak seharusnya ia menjadi lemah hanya karena mendapat waktu sedikit dari prianya. Dari dulu bahkan tak ada yang punya waktu untuknya.

"Apa aku egois?" tanya Arvi serak, dengan lelehan air mata yang berlomba-lomba keluar.

"Tidak, anakku yang bajingan. Maaf tak bisa menghukumnya dengan berat," sahut Jane. "Kau bisa menyalahkanku atas tindakan kurang ajarnya," sambungnya.

Arvi melepas pelukan keduanya, ia menggeleng pelan. Semua ibu pasti akan kesulitan mengatasi hal yang diperbuat anak seperti San, tapi dengan tidak membela San saja, bagi Arvi Jane sudah menjadi ibu yang baik.

"Kau ibu yang baik," ucap Arvi pelan.

"Ibu yang baik ini, telah membuat anaknya tumbuh menjadi bajingan. Jika bisa aku akan berlutut memohon padamu, tolong jangan merasa sungkan. Aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk kalian berdua, setelah ini ikutlah bersamaku untuk konsultasi pada dokter. Tidak, kau bukan sakit ini hanya sebuah kontrol biasa." Jane menghapus air mata dipipi Arvi. Ia sudah membuat janji dengan psikolog. Ia tak mau menyepelekan apapun, dan tak mau menyesal kembali. Terlambat seditik, bisa saja merugikan seribu hal.

"San, ibumu begitu baik. Pantas saja kau baik, sampai membuatmu begitu menyayangi Elio. Apakah aku benar-benar tak bersyukur menjadi kekasihmu? Atau benar kau yang memang payah dalam menanganiku? Siapa yang harus disalahkan, apa pada semesta yang tega membuatku sendirian sampai menggantungkan segalanya padamu? membuatku tak berdaya."

_____

300 vote plus banyak komen, otw double up.

SECOND [lengkap]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang