17.0

575 48 0
                                        


"Sekitar 5 hari yang lalu, beberapa orang pria membawa pasien kemari. Kebetulan saya sedang praktik hari itu."  Dokter Hanna bercerita kepada kedua orang tua Ciara juga orang tua Radhea yang berada disana.

"Kondisinya sangat memprihatinkan, gadis itu mengalami patah tulang di beberapa bagian juga pendarahan hebat di kepala" Keempat orang dewasa disana memejamkan mata dan saling menguatkan mendengar kondisi Ciara.

"B-bagaimana kondisinya sekarang, dok?"

"Beruntung Ciara berhasil melewati masa kritisnya saat itu. Saya meminta maaf karena melakukan tindakan operasi tanpa meminta izin dari pihak keluarga" 

"Kami berterimakasih untuk itu dokter, tolong sembuhkan anak saya.." Ibunda Ciara menggenggam lengan dokter Hanna, menaruh harapan penuh padanya agar bisa membawa kembali putrinya seperti sedia kala.

"Saya akan berusaha semaksimal mungkin tolong bantu do'akan Ciara.."  Setelahnya sang dokter pamit darisana, meninggalkan keempat orang dewasa tersebut.

Ibunda Ciara menangis di pelukan Ibunda Radhea yang juga tengah menangis. Mereka tak menyangka bahwa Ciara akan mengalami kejadian tragis seperti ini. 

Alea dan Reka masuk ke dalam ruangan, mencari tahu bagaimana keadaan Ciara dari obrolan para orangtua dan dokter.

"H-harusnya kita menuruti permintaan Ciara, yah.."  Ujar ibunda Ciara, sang ayah mengangguk dan menitikan airmata.

"Apa yang Ciara minta, tante?"

"Ciara minta kami menemaninya dan bodohnya kami malah menolak permintaan itu. A-andai saja saya tau bahwa mungkin itu permintaan terakhirnya hiks.."

"Om Haris! itu bukan permintaan terakhir! Lea yakin Ciara akan segera sembuh dan kembali berkumpul bersama kita!"  Kesal Alea mendengar ucapan pasrah ayah Ciara.
Reka mengusap bahu sahabatnya mencoba menenangkan gadis tersebut. 

Alea dan Reka keluar dari sana, keduanya tersentak kaget melihat Radhea yang berdiri tepat di depan pintu ruangan tersebut. Alea menarik tubuh sang adik dan membawanya duduk di kursi ruang tunggu yang berada tak jauh dari ruangan tadi.

"Apa itu memang permintaan terakhir Ara, kak?" 

"Dhea, kamu gak boleh ngomong gitu. Ara pasti bangun.." 

"Kalo bisa milih, gue gak akan mau kenal sama si lesbi Ciara!!"  Radhea mengulang perkataannya tempo hari membuat Alea dan Reka terdiam.

"Itu yang Dhea omongin waktu itu kak, Ara pasti denger kan?" 

"Radhea.."

"Gak kak, semua itu bohong. Aku gak pernah nyesel kenal sama Ciara. Dhea sayang Ara kak hiks.. "  Radhea menundukkan kepalanya, kedua tangannya bertautan resah diatas pangkuannya. 

Alea menarik tubuh sang adik dan memeluknya, mengusap punggung Radhea berusaha menenangkan.

"Dhea sayang Ciara kak, Dhea gak mau Ara pergi.." 

"Kakak tau sayang.."  Timpal Alea lirih menahan isakannya.

"Doakan Ciara dan minta maaf sama Ciara. Kakak yakin Ara pasti bisa maafin kamu" Radhea mengangguk dan mengeratkan pelukan pada tubuh Alea.






Keesokan harinya, Radhea tengah bersiap memakai pakaian khusus untuk memasuki ruang ICU. Ia menoleh kearah pintu kala kedua orangtua Ciara keluar dari ruangan anaknya dengan tangisan yang tak terbendung.

Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, tangannya terangkat dan menggenggam pegangan pintu. Radhea mendorong pintu tersebut kemudian masuk seorang diri.

Bip.. Bip..

Langkahnya memelan kala semakin jelas suara mesin EKG terdengar. Disana Ciara, terbaring lemah dengan tubuh yang terbalut banyak kain kasa. Radhea menatap kaki gadis tersebut, pandangannya teralih pada tangan dan tubuh Ciara kemudian terpaku pada wajah cantik gadis tersayangnya.

Kedua matanya mulai memanas dan bergetar, wajah cantik itu kini di penuhi dengan luka dan lebam, bahkan sudut bibirnya terlihat sedikit bengkak. Radhea menyentuh jemari Ciara dan menautkan jemari mereka.

"Ara gak cape tidur terus?"  Gumamnya pelan, ia kini menggenggam tangan Ciara, mengusap punggung tangannya dengan ibu jari.

"Maafin Dhea, Dhea jahat.."

Bip.. Bip..

"Bangun sayang tolong bangun.." Radhea merebahkan kepalanya di samping tangan Ciara, mengecup punggung tangan gadis tersebut.

"D-Dhea sayang Ara, jangan tinggalin Dhea.." Airmatanya mulai mengalir, ia mengangkat tangan Ciara dan menaruhnya di pipi kirinya. 

Kedua orang tua mereka menyaksikan adegan penuh haru disana dengan tatapan sendu. Radhea memang yang paling menderita dari mereka, namun yang tak mereka mengetahui bahwa Radhea lah yang menyebabkan Ciara terbaring lemah disana.

Radhea masih menikmati penyesalannya dengan airmata yang semakin deras mengalir kala seorang perawat hendak masuk dan memintanya keluar namun Arya, ayah dari Ciara menahannya.

"Tolong, biarkan mereka suster.."

"Tapi jam besuk sudah habis pak, dokter Hanna akan segera visit." 

"Saya tau, sampai dokter datang.." Sang perawat melirik kearah dalam ruangan kemudian menatap wajah pria di hadapannya.

"Baiklah, tolong pastikan pasien tak terganggu"

"Terimakasih.." 

Tak berselang lama, dokter Hanna terlihat berjalan di koridor menuju ruang ICU. Ia mengangkat tangannya diiringi dengan senyuman kala kedua orang tua Ciara hendak bangkit dari tempat mereka duduk. Dokter melirik kearah dalam ruangan dan tersenyum kemudian masuk ke dalam ruang ICU.

Radhea sadar bahwa ada orang lain disana namun ia enggan mengangkat kepala apalagi keluar dari sana. Dokter Hanna pun sepertinya membiarkan Radhea tetap disana, ia mulai mengecek kondisi Ciara dari beberapa alat yang menopang hidup si gadis.

"Kamu teman dekat Ciara?"  Tanyanya kini pada Radhea, 

"Sejak kecil"  Timpalnya masih dalam posisi sama.

"Saya melihat kamu kemarin, di sekolah.."

"Hmm.."

Dokter Hanna kini membalikkan tubuh kearah Radhea, melihat Radhea masih memainkan jemari Ciara di pipi nya, menggerakannya seolah Ciara tengah mengusap wajahnya. 

"Kalian sangat dekat?" Kini Radhea mengangkat kepalanya namun tangannya masih menggenggam tangan Ciara.

"Ya.. Saya menyayangi Ciara.."  Ujarnya menatap wajah Ciara, dokter tersenyum.

"Beruntungnya Ciara di kelilingi orang-orang yang teramat menyayanginya"

"Saya lebih beruntung dari Ciara, dok.. " Radhea menatap lekat wajah dokter Hanna, keduanya saling bertatapan seakan Radhea kini menyampaikan sesuatu pada sang dokter. 
Membuat dokter Hanna terdiam namun kedua matanya berembun.

"Kamu boleh temani Ciara, buat Ciara semangat untuk bangun dan pulih.." 

"Terimakasih, dok.." 

Dokter Hanna mengangguk, ia mengusap pundak Radhea sebelum kemudian benar-benar keluar dari ruangan tersebut. Ia menghampiri kedua orangtua Ciara.

"Apa ada perkembangan dok?" 

"Harusnya Ciara sudah sadar, dia telah melewati masa kritisnya beberapa hari ini."

"A-apa maksud dokter?" Cemas sang ibu, dokter kembali melirik ke dalam ruangan dan menatap serius pada kedua orangtua Ciara.

"Saya masih akan berusaha untuk Ciara dan tolong berikan Ciara alasan agar ia bertahan!"  Setelahnya sang dokter berlalu pergi tanpa menghiraukan mereka yang tak sedikitpun mengerti tentang apa yang dokter Hanna katakan.
















HOMELESS (GxG) (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang