🧩GAME ERROR🎮 : 39

2.8K 159 4
                                    

Wednesday.

_

Vanessa ingin kembali menatap wajah Samuel dari samping, tapi justru Samuel tengah memandanginya sekarang. Hal itu membuat kedua matanya Vanessa bergerak kesana-kemari lalu kemudian tersenyum canggung.

'Ngode ngusir apa begimana? Orang mau girls time juga.'

"Kamu keganggu, ya? Mau sendirian? Aku pergi deh, supaya kamu bisa leluasa cerita sama Sherly." Vanessa bangkit hendak pergi dari sana, tapi Samuel langsung menarik tangan kanan Vanessa hingga dia kembali berjongkok.

"Hm? Kenapa?"

Samuel mengamati seluruh wajah Vanessa dengan seksama, entah kenapa gadis itu terlihat lebih chubby dan tubuhnya berisi. "Kenapa lo jadi dongo begini?"

"Hah?" Jelas Vanessa mengerutkan keningnya, tiba-tiba mengata-ngatai dirinya siapa yang tidak bingung?

"Lo udah tau tuh cowo gak serius sama lo kenapa masih tetep dijalanin?"

Vanessa terdiam sebentar dengan mulut menganga, kemudian mengangguk kepalanya satu kali. "Oh, itu awalnya mau nunggu sampe dia ngejelasin terus minta maaf, tapi sampe sekarang gak sama sekali, tapi hari ini mau putus kok, beneran."

'Gue lupa, harusnya tadi malem dia udah mati.'

Terlihat Samuel menyipitkan matanya ke arah Vanessa, lalu dia melepaskan cengkramannya di tangan gadis itu.

Keduanya sama-sama diam sambil menatap ke kuburan Sherly, hingga mereka menyadari jika perlahan turun hujan.

Dengan terburu-buru, Samuel bangkit dan menarik lengan Vanessa untuk segera pergi dari sana. Mulanya Vanessa bingung, tapi dia mengikuti ke mana Samuel pergi karena hujan mulai deras.

Lelaki itu membawanya masuk ke dalam mobilnya yang terparkir tidak jauh dari tempat pemakaman umum, Vanessa ragu untuk masuk karena bagian dalam mobil Samuel akan kotor dan basah, tapi Samuel mendorong dirinya untuk masuk.

"Masuk, hujannya gede," perintah Samuel.

"Aku numpang neduh ya? Nanti kalau udah reda aku keluar kok," kata Vanessa setelah keduanya berada di dalam mobil.

"Lo ke sini sendiri?"

"Iya, naik taksi online."

Samuel melirik sebentar ke arah Vanessa lalu kembali menatap ke depan, ia mengelap wajahnya yang basah dengan tisu. "Gue anter lo balik."

Vanessa melipat bibirnya ke dalam, diam-diam dia menahan senyum. Sepertinya sikap dingin Samuel kepadanya perlahan mencair. "Makasih."

Mesin mobil dinyalakan dan kendaraan yang ditumpangi keduanya bergerak maju menerobos hujan.

Gadis itu memegang sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya, sama-sama diam begini membuatnya merasa tidak nyaman.

Biasanya jika berdua seperti ini Samuel selalu marah-marah karena Vanessa terus mengacaukan waktu sendiriannya, tapi sekarang Samuel justru hanya diam dan berniat mengantarkannya pulang.

Sekelebat ingatan semasa berpacaran dulu membuatnya sulit menelan ludah.

"Lo keliatan baik-baik aja."

Vanessa yang sedang melihat ke luar jendela seketika menoleh. "Maksudnya?"

"Biasanya lo babak belur."

"Itu ... ibu pergi dari rumah, sekarang aku sendirian. Jadi, gak ada yang bakal nyakitin aku lagi."

"Oh."

Vanessa angguk-angguk saja dan kembali mengalihkan pandangannya.

Penglihatannya jatuh pada glove box mobil di depannya, lumayan lama ia memandangi tempat penyimpanan itu.

'Dah lama banget gak naik mobil ini. Seinget gue, gue suka naro permen sama pafrum di sana, sekarang masih ada gak ya?'

Vanessa dan Samuel bingung harus bicara apalagi sehingga mereka memutuskan untuk kembali bungkam, tidak adanya alunan musik dan hanya suara gemercik hujan membuat suasana di dalam mobil sangat canggung.

Hingga tak lama kemudian ponsel Samuel berbunyi tanda ada telepon masuk. Ia mengambil ponselnya dari saku jaket dan membaca nama yang terpampang di layar.

Tidak berniat dijawab, Samuel justru membiarkannya terus berbunyi sampai suara deringan ponselnya berhenti sendiri.

Vanessa pada ponsel Samuel yang kembali dimasukkan ke dalam jaket "Kenapa teleponnya gak diangkat? Angkat aja siapa tau itu pacar kamu, anggap aku gak ada."

"Apa?" tanya Samuel sambil menengok kepada Vanessa dan mengangkat satu alisnya.

"Apanya yang apa?"

"Omongan lo, ulangin lagi," pinta Samuel.

"Itu teleponnya diangkat, siapa tau itu pacar kamu, anggap aja aku makhluk halus." Meski kebingungan, Vanessa tetap mengulang lagi ucapannya.

Samuel berdecih pelan. "Gimana gue dapet cewe baru kalau rumor konyol itu udah kesebar ke mana-mana," ketusnya.

Gadis itu langsung tersedak ludahnya sendiri. "Rumor? Ru- oh, iya, yang itu."

Raut wajah Vanessa langsung berubah murung dan seketika rasa bersalahnya menyelimuti dirinya.

"Maaf, ya. Waktu itu aku lagi gila sampe ngelakuin hal bodoh kayak gitu, besok aku bakal jelasin ke anak-anak di sekolah kalau itu gak bener. Aku nyesel, serius, gara-gara itu kamu sampe dijauhin orang-orang, aku bener-bener minta maaf," sesal Vanessa.

"Maaf juga buat semuanya, selama ini aku selalu bikin kamu risih. Meski masalah Sherly udah selesai, kamu pasti masih gedeg sama aku gara-gara hal lain yang udah aku lakuin dulu."

"Aku udah renungin kesalahan aku, aku juga sadar diri, aku egois sampe bikin kamu muak. Semua tindakan yang aku perbuat gak pantes dimaafin."

Vanessa tidak sanggup melihat ke arah Samuel, saat ini dirinya tengah menundukkan kepalanya dengan jemari yang saling bertautan.

Dia tidak berpura-pura loh, Vanessa sungguh sangat menyesal.

"Kamu tenang aja, aku gak lagi-lagi ganggu kamu. Kamu udah tau kenyataan tentang kecelakaan itu aja aku udah seneng, seenggaknya rasa benci kamu ke aku berkurang. Sebentar lagi ujian, aku bakal fokus belajar buat masuk univ, aku serius gak akan cari perhatian kamu lagi."

"Kamu mau masuk kampus mana? Biar kita gak satu kampus, soalnya kalo kita satu kampus otomatis sering ketemu, kamu pasti kesel liat mukaku terus."

"Ada banyak cewe yang lebih waras dari aku, lebih cantik, lebih kalem sama lebih berhati lembut. Aku harap cewe baru kamu nanti kayak gitu, jangan ceritain kalo kamu punya mantan gila, abnormal sama dongo kayak aku, itu cuma bikin malu kamu, " ucapnya sambil menghina diri sendiri.

Dia sudah memutuskan untuk benar-benar berhenti berharap pada Samuel, laki-laki itu terlalu sempurna baginya.

Juga, sisi lain dari dirinya tidak diketahui oleh Samuel dan jangan sampai dia tahu, Vanessa tidak mau membuat laki-laki itu semakin membencinya. Jadi, lebih baik Vanessa melepaskannya daripada terjadi masalah yang lebih fatal di masa depan.

Tentu dadanya berdenyut ngilu, bahkan saat ini rasanya Vanessa ingin menangis, dari cara bicaranya saja terdengar bergetar, tapi dia mencoba menahannya sekuat tenaga. Kedepannya mungkin akan berangsur-angsur hilang jadi, nikmati saja rasa sakitnya sejak hari ini.

"Udah ngomongnya?"

Vanessa mengucek matanya yang berair dan mengangguk. "Iya, udah."

Samuel menghela napas, kedua tangannya mencengkram erat stir mobil. "Berisik banget, kalo gak bawel begini ya ngomong sambil nangis-nangis," gumam Samuel yang terdengar jelas di telinga Vanessa.

'Ya itu kan gara-gara lo, bngst!'

_

GAME OVER : Who's The Winner?[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang