3

414 35 0
                                    

Aku duduk dengan tenang disebuah meja di salah satu sudut café ini. Es matcha latte dihadapanku ini hanya ku aduk pelan sambil mata dan telingaku yang tertuju pada penampilan band yang sedang perform saat ini. sebuah lagu akustik yang enak dipendengaranku menghanyutkan pikiranku pada seorang perempuan yang saat ini masih ada dalam hatiku karena lagu ini adalah lagu favoritnya.

"Sayang...sayang...sayaaaang."

Sebuah sentuhan di tanganku menyadarkanku kalau saat ini aku sedang berada bersama laki-laki dihadapanku ini.

"Oh...iya. Kenapa Dave?"

"Ngelamunin apa sih? Sampai gak dengar dari tadi aku manggilin kamu."

"Aku gak ngelamun kok...aku hanya terbawa suasana lagunya. Maaf."

Aku lihat Dave beberapa kali menghela nafasnya dan mengedarkan matanya tak tentu arah setelah beberapa saat menatapku.

"Kenapa Dave?"

"Huft...sayang. Mari kita secepatnya menikah."

"Dave. Kenapa tiba-tiba seperti ini? Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak membahas pernikahan sebelum dua tahun pertunangan kita? Aku belum siap Dave."

"Aku tahu. Tapi kapan kamu siapnya? Jujur aku takut kehilangan kamu karena aku merasa semakin hari kita semakin jauh."

"Semakin jauh gimana Dave? Buktinya aku disini sama kamu."

"Huft...aku gak tau kamu memang gak ngerti atau pura-pura gak ngerti."

"Apa maksud kamu?"

"Huft..sudahlah."

Dave terlihat menahan emosinya dan memendam apa yang ingin dia katakan. Sebenarnya aku tahu dan aku paham betul apa yang dia rasakan dan pikirkan. Aku tahu semua karena aku dan masalahnya ada di aku. Tapi sementara ini, aku tak ingin melangkah lebih jauh bahkan hanya untuk sekedar membicarakan hubungan kami.

Ku akui, aku terlalu egois karena hanya mementingkan ego dan perasaanku sendiri. Kadang aku menyesal kenapa dulu harus menerima dia. satu setengah tahun lalu, pertemuan pertama kami setelah beberapa tahun tak pernah ketemu. Saat dimana aku benar-benar merasa terpuruk dan patah hati yang sangat. Saat Bianca memutuskan hubungan kami dengan alasan dia ingin hidup normal dan menikah dengan laki-laki pilihannya.

Saat itu, saat dimana aku sangat mencintainya dengan setulus hatiku. Namun harus mengalah dan mundur karena keinginan hatinya. Karena ku pikir itu hak dia untuk bahagia karena aku sangat menyadari bagaimanapun hubungan kami, sebesar apapun rasa cintaku padanya tidak akan sampai membawa dia ke hubungan pernikahan.

Saat itu Dave yang dulu adalah teman sekolah saat SMA dan baru kembali dari luar negeri setelah menempuh Pendidikan dan bekerja disana, datang menawarkan cinta terpendamnya setelah sekian lama. Bahkan saat kami masih SMA. Aku berfikir adakah cinta seperti itu? Bertahan lama tanpa pengungkapan? Namun ternyata Dave bisa membuktikannya. Sampai aku luluh untuk menerimanya meskipun hatiku masih untuk orang lain dan berharap Dave bisa menjadi obat untuk luka dihatiku dan melupakan Bianca.

Waktu berjalan merambat. Detik, menit bahkan jam sudah berlalu menemani malam mingguku bersama Dave. Kami sudah meninggalkan café dimana kami makan malam disana tadi dan berjalan menuju parkiran.

"Apa ada tempat yang masih ingin kamu datangi sayang?"

"Gak ada Dave. Lagipula ini sudah malam dan tolong anter aku pulang ke rumah mamah ya."

"Ke rumah mamah?" Dave menatapku kecewa.

"Iya. Aku sedang ingin menginap di rumah mamah." Dave terlihat sangat keberatan dan hanya diam.

"Kenapa Dave? Kamu gak mau nganterin aku? Gapapa, biar aku naik taksi aja dari sini." Lanjutku.

"Aku gak keberatan. Hanya saja sebenarnya aku ingin pulang ke rumahmu dan menghabiskan waktu bersamamu." Dave menatapku sayu.

"Kita sudah satu tahun bertunangan tapi jangankan untuk menghabiskan waktu panjang. Untuk sekedar weekend saja kita jarang melakukannya. Meskipun aku paham kamu sangat sibuk namun tak bisakah kamu meluangkan waktu untukku? Seperti aku yang selalu meluangkan waktuku untukmu." Lanjutnya.

Mungkinkah Dave merasa berjuang sendiri dalam mempertahankan hubungan ini agar tetap hangat dan baik-baik saja. Seketika rasa bersalah dan kasihan muncul di hatiku.

Aku menatapnya sebentar untuk kemudian memeluknya, dan ini pertama kalinya aku yang terlebih dulu memulai untuk memeluknya.

"Baiklah. Kita pulang ke rumahku." Ajakku setelah melepas pelukanku.

"Benarkah?" Wajah Dave berubah berseri dan ku akui dengan senyumannya itu menambah ketampanannya.

"Huum."

Dave kembali memelukku dan setelah melepasnya, Dia membukakan pintu mobil untukku dan mempersilahkanku masuk seperti ke seorang putri saja.

***

Dave memelukku dari belakang dan mencium pipiku. Saat ini aku sedang mengaduk nasi goreng yang kumasak untuk sarapan kami pagi ini.

"Duduklah. Sebentar lagi akan kusiapkan sarapannya."

"Baik kesayanganku, tapi bolehkah aku minta secangkir kopi dulu." Pintanya masih sambil memelukku.

"Akan ku buatkan."

"Terima kasih." Ucapnya dengan sumringah, dan kemudian menarik daguku ke arah wajahnya dan mencium bibirku sekilas.

Setelah nasi goreng yang kubuat sudah matang, aku mematikan kompor dan membuatkan secangkir kopi untuknya. Ku lihat dari sudut mataku Dave terus saja memandangiku dengan senyum yang tak luput dari bibirnya.

"Ini kopinya Dave."

"Makasih sayang." ucapnya sambil menatap wajahku dengan mata berbinarnya.

"Huum." Aku membalasnya dengan senyuman tipis di bibirku dan melanjutkan pekerjaanku untuk menghidangkan menu sarapan yang sudah kubuat dan menikmatinya bersama.

***

Sepanjang jalan Dave terus saja menggandeng tanganku, mengitari taman kota yang sejuk karena pohon-pohon rindang disini masih tegak berdiri. Tumbuhan lain dan berbagai macam bunga di tanam dengan sedemikian rupa menjadikan taman ini jauh lebih indah. Taman ini juga di desain agar pengunjung bisa melakukan jogging mengitari areanya. Beberapa bangku juga ditempatkan pas di spot-spot yang bisa membuat nyaman para pengunjung untuk duduk santai.

Aku dan Dave duduk santai untuk menikmati kopi kaleng dingin yang baru saja kami beli sambil ngobrol ringan dan menikmati pemandangan dan lalu lalang orang disekeliling. Seseorang dengan pakaian olah raga tiba-tiba saja berhenti di depan kami, aku yang awalnya tidak begitu memperhatikan wajahnya baru tersadar saat dia menyapaku, dia adalah Fanny.

"Bu Zora, anda disini?"

"Oh. Hai Fanny. Iya. Kamu jogging di jam segini?" Tanyaku karena sekarang jam hampir menunjukan jam 11 siang.

"Sebenarnya gak lagi jogging sih bu, tadi saya abis keliling bersepeda untuk bisa lebih mengenal setiap sudut kota ini dan kebetulan lewat sini jadi mampir dulu untuk beristirahat."

"Kamu gak capek? Sampai sesiang ini soalnya."

"Gak bu. Karena saya excited dengan kota ini dan saya menikmatinya."

"Kamu bukan asli orang sini?"

"Bukan bu. Saya baru datang kesini pas diterima kerja." Aku mengangguk paham.

Kami lanjut ngobrol bertiga setelah kuperkenalkan Dave pada Fanny. Fanny ternyata orang yang sangat menyenangkan. Dia ramah dan sangat pandai bergaul. Dan setelah cukup lama kami ngobrol dan kami juga sudah cukup lama berada di taman ini akhirnya kami pulang ke rumah masing-masing. Tentu saja Dave pulang setelah mengantarkanku ke rumah terlebih dulu.

TBC

The Butterfly's Secret {GXG}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang