33

170 20 2
                                    

Marsha PoV

Waktu sudah menunjukan jam empat sore ini. Tetapi matahari masih memancarkan sinarnya yang terik menambah rasa lelah yang kurasa setelah seharian ini bekerja sampai menghadirkan peluh yang meluruh di keningku.

Aku mendudukkan diriku dan bersandar di badan kursi untuk mengurangi rasa letih sambil ku pijit kecil bahu dan lenganku yang dirasa pegal dengan tangan ku sendiri.

Melihat kepulanganku Marisa bergegas ke dapur dan kembali dengan segelas air putih dingin ditangannya.

"Kak...minumlah dulu."

"Makasih Cha."

Aku menerimanya dengan senang hati dan langsung meneguknya hingga tandas. Sedangkan Icha sekarang memijat kedua bahuku.

"Kak Novia mana Cha?" Tanyaku yang belum melihat batang hidungnya.

"Ada kak, di kamar. Lagi Ngebajuin Kiara."

"Hmm."

Aku terdiam menikmati setiap pijatan Marisa. Begitupun dia yang tak lagi bersuara sampai ku dengar isakan kecil dari arah belakangku. Aku menengadahkan kepalaku melihat ke arah Marisa yang sangat kentara dia sedang berusaha  menahan tangisnya.

Aku memegang kedua tangannya dan menariknya dengan perlahan agar dia duduk disampingku. Aku mengelus puncak kepalanya dengan sayang.

"Kenapa nangis?"
Tanyaku dengan lembut dan penuh perhatian. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Aku terus menatap wajahnya yang sedang menunduk dengan sesekali menyeka air matanya.

Tanpa banyak tanya lagi aku menariknya ke dalam pelukanku. Membiarkannya menangis sampai dia merasa tenang.

"Cha...bicaralah. jangan bikin kakak khawatir. Terbukalah seperti biasa kamu menceritakan apapun sama kakak." Tanyaku setelah cukup lama aku membiarkan Marisa menangis.

Novia datang menghampiri kami dengan Kiara yang berada di gendongannya. Kemudian Marisa pergi meninggalkan kami begitu saja. Aku hanya menatap punggungnya yang berlalu masuk ke dalam kamar.

"Sepulang sekolah tadi Icha juga menangis dan mengurung diri di kamar, dia baru mau buka pintu setelah ku kugedor-gedor pintunya."

"Kamu tanya gak dia kenapa?"

"iya. Tapi dia gak mau jawab."

Huft...aku menarik nafasku dalam untuk melegakan rasa sesak di dadaku. Perasaanku tak tenang karena mengkhawatirkan Marisa. Aku harus segera mencari tahu penyebabnya. Aku berdiri hendak melangkahkan kakiku untuk menyusul Marisa, tapi Novia menahanmu.

"Biarkanlah dulu. Mungkin dia masih perlu waktu. Tunggulah sampai dia benar-benar tenang dan mau bercerita."

Aku mengurungkan niatku dan kembali duduk.

"Nov...sebenarnya aku bisa merasakan perubahan Icha sejak laki-laki itu datang ke rumah. Icha jadi lebih banyak diam. Icha pasti mencemaskan hal itu dan aku rasa Icha juga sudah tahu hubungan seperti apa yang aku dan Zora jalani."

"Menurutmu kalau dia benar-benar tahu. Apa dia akan menerimanya?"

"Aku gak tahu Nov. Dia sama sekali gak pernah membahasnya, dan aku sendiri masih takut untuk menceritakan yang sebenarnya. Aku takut dia akan membenciku Nov."

"Kalau untuk membenci, aku rasa gak akan sampai Sha. Kamu bisa rasain kan dia sangat menyayangi kamu."

"Papa Zora juga sangat menyanyangi dia. Tapi, tetap aja kan dia gak bisa menerima anaknya menjadi seorang lesbian."

Novia terdiam dan begitupun aku hening dalam pikiranku sendiri. Teringat bagaimana di awal aku dengan percaya dirinya dalam menjalani hubunganku dengan Zora tanpa ada kekhawatiran ataupun ketakutan apapun. Tapi sekarang setelah kedua orang tuanya mengetahui hubungan kami, setelah datangnya laki-laki itu dan sekarang setelah Marisa berubah, semuanya membuatku bimbang. Disisi lain aku ingin egois mempertahanku hubungan kami karena aku sangat mencintainya dan aku bahagia dengannya. tetapi, disisi lain aku juga takut aku akan sangat menyakiti orang-orang terdekat kami khususnya Marisa. Aku takut dan khawatir aku akan menyakitinya secara mental. 

The Butterfly's Secret {GXG}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang