34

182 18 7
                                    

Zora PoV

Aku menutup telpon dengan rasa kesal karena sikap Marsha yang lain dari biasanya. Dia tak pernah berbicara denganku dengan nada tinggi seperti itu. Mungkin dia tersinggung olehku. Di satu sisi aku mengerti setiap orang memiliki self esteemnya sendiri dan salah satunya dengan tak ingin menjadikan dirinya sebagai beban untuk orang lain. Tetapi, disisi lain dalam hal ini aku ingin egois, bukan karena aku tak menghargainya sama sekali tapi aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk orang yang aku cintai.

Bi Murni masuk saat aku sedang duduk dipinggiran ranjang masih dengan ponsel di tanganku. Saat ini, aku sudah berada di ruang perawatan VIP dari beberapa hari yang lalu. Cervical Collar dileherku sudah dilepas, dan semua keadaan fisikku sudah dinyatakan baik. Hanya saja tangan kananku masih harus menggunakan penyangga karena patah tulang yang kualami. Dokter bilang perlu sekitar dua sampai tiga bulan bahkan bisa saja lebih dari itu untuk sembuh total.

Kedua netraku melihat ke sekeliling ruangan. Lantas aku teringat kembali akan Marsha yang besok hari sudah harus mulai masuk rumah sakit untuk perawatan sebelum operasi kistanya dilakukan. Akupun ingin memastikan Marsha mendapat pelayanan terbaik di rumah sakit ini, dan mendapatkan ruangan yang nyaman untuk dia bisa beristirahat selama masa pemulihannya.

Sejujurnya aku sedih kalau harus melihatnya hidup dalam kesulitan apalagi dalam keadaanya yang sakit seperti sekarang ini. Apalagi kalau aku harus membandingkan kehidupannya dengan kehidupan yang kumiliki saat ini. Rasanya aku benar-benar ingin memilikinya utuh. Hidup Bersama dengannya. Aku sangat ingin dia bisa menikmati semua yang aku miliki. Tak hanya dia tetapi juga Marisa, adik satu-satunya yang juga sangat ku sayangi.

"Bibi lagi ngapain?" pikiranku terdistraksi oleh Bi Murni yang terlihat sedang sibuk membereskan ini itu.

"Bibi lagi beresin yang kira-kira udah gak diperlukan lagi. Biar besok gak terlalu repot saat Non mau pulang."

"Emang aku udah dibolehin pulang bi?"

"Eh...ibu belum bilang ya ke Non, Kalau tadi ibu ke ruangan dokter dan bicara sama dokternya? Pokoknya dokternya bilang kalau Non sudah boleh pulang besok."

"Benarkah? Syukurlah aku udah gak betah."

"Iyalah Non. Siapa juga yang akan betah tinggal di rumash sakit." Ucap Bi Murni sambil menghentikan kegiatannya dan beralih membukakan pintu karena suara pintu yang diketuk dari luar. Seorang petugas rumah sakit datang membawakan makan untukku.

"Makasih." Ucapku pada mas-mas yang mengantarkan makanan sebelum dia berlalu dan pergi meninggalkan ruangan.

"Mau makan sekarang, Non?"

"Iya bi." Aku berpindah duduk ke sofa lalu Bi Murni menyiapkannya di meja dan duduk disampingku dan hendak menyuapiku.

"Gak usah bi. Aku makan sendiri aja."

"Tapi tangan Non."

"Udah bi. Kalau bandel biarin aja."

Aku dan Bi Murni melihat ke sumber suara yang tiba-tiba muncul dari balik pintu. Fanny, dia datang dengan santainya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu.

"Gak bisa ya kalau ketuk pintu dulu? Gimana kalau si bibi lagi itu aku?" Sewotku.

"Lagi itu apa? Emang bibi berani gituin kamu? haha" Ucap Fanny sambil tertawa.

"Ih apa? bibi gak ngerti Non- Non ini pada ngomongin apa." Ucap Bi Murni kebingungan.

"Gantiin baju aku bi."

"Oh ngomong dong Non dari tadi. Jangan pake ini itu."

"Maklum aja bi, kepalanya kan abis kebentur. Jadi gitu. Otak sama mulut gak singkron." Ucapnya sok-sok an berbisik padahal terdengar jelas di telingaku.

The Butterfly's Secret {GXG}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang