Trauma

22 5 2
                                    

Heisen tiba di rumahnya dengan ketakutan dan kemarahan yang bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Pria itu berusaha keras untuk menyembunyikannya dari Nayan. Tapi tampaknya ia tidak bisa bersandiwara. Pria itu duduk di kursi ruang tamu sembari mengusap matanya berkali-kali.

"Kenapa, Kak? Kok lu kayak ketakutan gitu sih?" tanya perempuan itu sembari memberikan air putih pada Heisen. Pria itu lantas meraih gelasnya dan langsung menghabiskannya. Ia mengembuskan napas dengan kasar.

Heisen lantas menceritakan pelecehan seksual yang ia alami dengan detil.

"Gue marah, gue kecewa sama diri gue sendiri," ucapnya. "Kenapa ini harus terjadi?"

"Tapi di satu sisi, gue takut kalau ada yang ngerekam, terus diunggah dengan caption yang melenceng jauh dari kejadian yang sebenarnya," lanjut pria itu. Ia jadi sangat bingung karena dirinya telah main hakim sendiri.

Mendengar cerita kakaknya, gadis manis itu tersenyum.

"Lu tahu kenapa gue diemin elu bertahun-tahun dan akhirnya mau ngomong lagi sama elu?" tanyanya sembari tersenyum. Pria bertubuh tinggi itu menggelengkan kepala.

"Setelah diperkosa sama Paman, gue ngga bisa percaya sama semua orang, termasuk elu," ujar perempuan itu. "Apalagi, lu janji bawa gue pergi dari sana,"

"Dan akhirnya, lu berhasil bawa gue pergi," lanjutnya. "Tapi, gue ngga bisa langsung percaya gitu aja sama elu saat itu,"

"Saat itu, gue takut kalau lu juga ngelakuin itu ke gue,"

"Tapi ternyata, lu justru jagain gue baik-baik meskipun dari jauh,"

"Dan tindakan lu ngga salah. Justru orang kayak gitu tuh harusnya ngga usah lahir di dunia ini," lanjutnya. "Cuma jadi sampah masyarakat,"

"Kalaupun ada yang viralin elu tapi dengan informasi yang salah, lu bisa klarifikasi. Gue tahu kalau lu bisa hadapi semua,"

Heisen terdiam. Ia tidak tahu, apa benar bahwa dirinya bisa menghadapi semuanya?

"Dan lu tahu? Orang-orang yang mengalami kejadian ini kebanyakan sulit buat cerita. Bahkan ke orang terdekatnya. Termasuk gue,"

"Lu bisa tahu pun, karena, gue sering ngeluh kesakitan,"

"Tapi, lu berani mukulin orang itu dan nyeritain ke gue. Lu hebat karena bisa begini,"

Heisen menatap Nayan sejenak. Ia tidak tahu apakah perkataan adiknya itu hanya untuk menenangkan dirinya, atau memang dirinya sehebat itu? Apapun itu, dia merasa sedikit lebih baik setelah mendengar ucapan Nayan.

Beberapa saat kemudian, ponsel Heisen berdering. Rupanya kekasihnya, Shalu, menelepon dirinya. Ia ragu untuk mengangkatnya. Ia pun melirik adiknya karena bingung.

"Angkat aja!" perintah Nayan. Heisen pun mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumsalam," jawab sang kekasih.

"Sayang, aku main ke rumah kamu ya? Ada titipan dari Mama buat kalian," lanjutnya.

"Aku jemput ya?" Heisen menawarkan diri.

"Ngga usah, Sayang, aku bisa sendiri," sahut gadis itu. Ia pun segera menutup teleponnya dan bersiap-siap.

*****

Shalu telah tiba di depan pintu rumah Heisen yang biasa-biasa saja itu. Gadis berlesung pipi dan rambut yang bergelombang itu tampak semangat sekali menemui kekasihnya.

Gadis itu mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Nayan membukakan pintu sembari tersenyum dan mempersilakan Shalu masuk.

Gadis itu membawa rantang makanan yang terbuat dari besi yang isinya cukup berat.

7 IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang