Negara Kita

9 4 0
                                    

Bulan di malam hari tengah datang menghampiri. Jam menunjukkan pukul dua belas malam. Namun, Brahma masih sibuk menempelkan foto kematian Amar, Roy, dan juga Yusuf. Ia melingkari ketiga orang itu satu-satu dan menggambar denah di papan tulis itu. Ketiga orang itu mengarah kepada Heisen. Ia juga menuliskan nama pemuda itu di bawah ketiga nama korban dan melingkarinya. Tak lupa, ia juga menggambar panah yang menghubungkannya pada Heisen.

Untuk satu hal, Brahma benar-benar mencurigai Heisen sebagai pelaku dari tiga pembunuhan ini. Tapi, ia tidak memiliki bukti apapun karena pelaku pembunuhan ini telah melenyapkan semua bukti. Lagipula, ia juga melihat sendiri bahwa pemuda itu muntah hanya dengan melihat ketiga foto itu. Ini juga yang membuatnya tidak yakin dengan kecurigaannya.

Namun entah kenapa, kecurigaannya terhadap Heisen tidak bisa hilang. Brahma lantas mengambil spidol sekali lagi dan menggambar panah ke bawah dan menulis tanda tanya besar. Sekali lagi, ia menemui jalan buntu.

*****

Di pagi hari, di kota Jakarta yang penuh dengan kemacatan, Heisen telah tiba di kantor perusahaan milik ayah Shalu, Royan. Ia langsung disambut dengan ramah oleh pria yang berusia sekitar enam puluhan itu dan memasuki ruangan Royan bersama-sama.

"Akhirnya, kamu datang juga," ujar pria tua itu dengan senyuman ramah. Heisen pun langsung memberikan semua dokumen yang diperlukan kepada pria itu. Royan pun meletakkan semuanya di atas meja tanpa membacanya.

"Buat apa ini? Kamu ngga perlu ini," ucap Royan. "Semua ini cuma formalitas perusahaan,"

"Sedangkan saya udah tahu kemampuan kamu," lanjutnya. "Jadi, kamu ngga perlu ngelakuin ini,"

Heisen menatap ke bawah sejenak. Ia lalu kembali menegakkan kepala.

"Pak, saya ke sini untuk melamar pekerjaan seperti orang lain," jawabnya. "Akan terasa ngga adil bagi orang lain yang sulit mendapatkan pekerjaan, sedangkan saya bisa mendapatkannya dengan mudah tanpa persyaratan,"

"Jadi setidaknya, bapak bisa ngasih saya ujian dulu sebelum benar-benar diterima," lanjut pemuda itu.

Royan lalu menyetujui permintaan Heisen. Ia lantas mengambil secarik kertas dan pena, lalu memberikannya kepada pemuda itu.

"Kamu bisa tulis apapun di sini sekarang juga," ujar Royan. "Anggap aja ini bentuk ujian seperti yang kamu minta,"

Heisen lantas menerima kertas dan pena itu. Ia lalu duduk di kursi yang berada di hadapan Royan dan mulai menulis apapun yang muncul di otaknya.

Negeri Orang Bodoh

Orang-orang bilang bahwa negeriku tidak seperti negeri mereka
Orang-orang bilang bahwa negeriku tertinggal jauh dengan mereka
Orang-orang bilang bahwa negeriku dipenuhi dengan orang bodoh
Yang percaya apapun meskipun itu bohong

Banyak koruptor, pencuri, dan pembunuh di negeri kita
Banyak juga orang cabul di negeri kita
Mereka yang mencoreng negeri kita
Kenapa kita yang harus menanggung malu?

Memang, itulah negeriku
Memang, itulah tempatku dilahirkan
Tidak ada negeri yang sempurna
Kita yang akan membuatnya sempurna

Heisen meletakkan secarik kertas itu di atas meja dengan pasrah setelah menulis sambil berpikir selama sekitar satu jam. Ia tidak tahu apakah Royan akan menyukainya atau tidak. Tapi, dia belum memiliki ide yang lain.

"Pak, ini belum sempurna," ujar Heisen. "Tapi, saya akan menyempurnakannya segera,"

Royan pun mengambil kertas itu dan membacanya. Pria paruh baya itu tersenyum, lalu menatap pemuda itu.

"Selamat, kamu telah diterima bekerja di sini!" Royan mengajak pemuda itu berjabatan tangan. Heisen terlihat bingung, ia tidak menyangka bahwa dirinya telah mendapatkan kerja di posisi yang ia inginkan.

Royan menjelaskan semua tentang pekerjaan yang akan dilakukan Heisen. Ia telah diterima menjadi penulis di sini. Dia bisa mengerjakan kapan saja asalkan setiap hari Heisen harus mengumpulkan setidaknya satu karya tulis. Heisen juga bisa mengerjakan di kantor, di rumah, dan di manapun. Bahkan, Royan menyediakan ruangan tersendiri untuk pemuda itu, ruangan yang nyaman, sejuk, dan cukup luas. Dia juga mendapatkan upah yang sangat layak dan lebih dari cukup setiap bulannya, itu belum termasuk bonus yang ia dapatkan jika dirinya memiliki banyak pembaca.

Heisen kini pulang dengan hati yang sangat gembira.

*****

Shalu tengah bersantai di malam hari sambil scroll Tiktok. Secara tidak sengaja, ia menonton sebuah live yang menampilkan sosok Rangga bersama dengan dua orang pria yang terikat di kursi. Rangga menyalakan live menggunakan ponsel dan akun milik targetnya. Dua orang itu sangat ketakutan hingga salah satu dari mereka mengalirkan air kencing.

Dua orang pria ini sebelumnya pernah membuat konten di mana mereka menyiksa banyak anjing dengan cara mengadu mereka dan membuangnya di sungai.

"Kenapa saya harus disekap gini, Bang?" tanya salah satu dari mereka sembari menangis. Orang itu bernama Budi.

"Lu masih nanya?!" Rangga begitu geram mendengar pertanyaan itu.

"Gue akan ngajuin pertanyaan yang sama," ujarnya. "Kenapa kalian nyekap anjing-anjing itu?!"

"B-Bang ..." gumam salah satu dari mereka, Ridho, "K-kita ..."

"Kita ngelakuin itu karena anjing itu haram ..."

Rangga tertawa terbahak-bahak. Ia merasa bahwa alasan itu begitu lucu.

"Agama lu apa? Islam kan?" tanya Rangga dengan santai. Mereka berdua pun mengangguk pelan.

"Kalau kalian tahu tentang islam, harusnya kalian tahu mana yang haram dan mana yang engga,"

"Bedain haram sama najis aja ngga bisa, dasar goblok!" Rangga pun mulai mengeluarkan kata-kata kotornya.

"Di RUU KUHP pasal tiga kosong dua ayat dua disebutkan bahwa pelaku penyiksa dan pembunuh hewan akan mendapatkan hukuman penjara sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus ribu," lanjutnya. "Tapi apa? Orang kayak kalian justru tambah banyak,"

"Harusnya kalian dihukum setara dengan apa yang kalian lakuin ke anjing-anjing itu, ya kan?!"

Budi dan Ridho hanya bisa menangis mendengarnya. Sedangkan Shalu merasa miris dengan tingkah kedua orang itu. Namun, ia juga merasa takut melihat sosok Rangga. Sedangkan orang lain yang menonton live itu semuanya mendukung Rangga.

"Kalau ada lagi orang kayak gini, gue pasti bakal bunuh saat itu juga," ujar pria mengerikan itu.

"Dan buat polisi, tangkap gue, kalau kalian bisa," pria itu menantang polisi.

Rangga lantas melangkah menuju ke kamera ponsel dan mematikan live itu. Ia pun mengambil kursi dan duduk dengan kedua kaki panjangnya yang terbuka lebar.

"Kasih tahu gue, hukuman apa yang pantas buat kalian?" tanyanya. Ia pun teringat.

"Oh, udah pasti kalian ngga mau dihukum kan?" tanyanya dengan nada yang mengejek. "Engga, gue ngga bakal bebasin kalian,"

"Kalau gue lepasin kalian sekarang, kalian bakal ngulangin lagi, pasti!" serunya. "Hari ini bunuh anjing, besok apalagi yang kalian bunuh? Kucing? Hewan yang dilindungi?"

"Engga, Bang, kita janji bakal berhenti!" Budi berusaha memohon meskipun kedua tangannya terikat, begitu juga dengan Ridho.

"Ok," sahut Rangga. Ia pun berdiri dan melepaskan mereka berdua.

"Tapi, kalian baru bisa keluar dari tempat ini kalau bisa ngalahin gue," lanjutnya. Kedua orang itu pun saling berpandangan kebingungan.

"Kenapa? Kalian juga ngelakuin hal yang sama kan ke semua anjing itu?"

Rangga mulai melepaskan jubahnya hingga terlihat tubuh bagian atasnya yang kekar berotot. Kedua orang di hadapannya itu berlari dan mencoba membuka pintu. Namun ternyata terkunci. Mereka pun menoleh ke belakang dan semakin ketakutan ketika melihat pria kejam itu sudah dekat. Karena, mengalahkan Rangga itu bukan hanya tidak mungkin, tapi mustahil.


***** BERSAMBUNG *****

7 IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang