Podcast

4 2 2
                                    

Di malam hari, bulan begitu terang menerangi jalanan kota Jakarta. Heisen dan Shalu tampak sedang berkencan di kafe langganan mereka. Heisen hendak memberikan sesuatu kepada kekasihnya itu. Tapi, ia sedikit malu, sebab, tidak biasanya ia memberikan kejutan.

"Bentar, Sayang, aku punya kejutan buat kamu," ucapnya. Ia pun mengeluarkan sesuatu dari kantong jaketnya.

Rupanya, pria itu sedang membawa kotak cincin. Shalu begitu terkejut melihatnya.

"Setelah sekian lama aku pengin bilang ini, tapi kemarin-kemarin, aku ngerasa waktunya ngga tepat karena kondisi keuanganku," ucap pria itu.

"Tapi sekarang, kayaknya ini waktu yang tepat," lanjutnya. "Karena, aku udah ngga kekurangan lagi,"

"So ..." Heisen tiba-tiba membuka kotak cincin itu sembari bertekuk lutut di hadapan Shalu yang tampak bingung. Tampaknya, pria itu sudah tidak peduli dengan orang-orang yang menatap mereka.

"Will you marry me?" tanya Heisen sembari menatap Shalu dengan penuh harapan. Ia sangat berharap pernyataannya itu diterima. Sedangkan Shalu, gadis itu sama sekali tidak percaya dengan apa yang dia dengar dari bibir pria itu. Ia merasa itu seperti mimpi. Tidak terasa, air mata bahagia mengalir di pipinya.

"Please, jawabnya jangan terlalu lama," Heisen mulai merasa malu. "Soalnya, orang-orang lihat kita,"

Gadis itu pun tertawa sembari menghapus air matanya.

"Gimana ya ..." Shalu berpura-pura sedang berpikir. Ia senang sekali menjahili pria itu.

"Ofcourse, I will," jawab gadis itu sembari tersenyum. Heisen pun tampak begitu kegirangan hingga kepalanya membentur meja karena saking bahagianya. Shalu pun tak kuasa menahan tawanya.

"Kamu ngga apa-apa, Sayang?" tanya gadis itu yang berusaha menghentikan tawanya. Sedangkan pria itu jadi malu.

"Ngga apa-apa, kok," sahutnya sembari tertawa karena menahan malu.

Beberapa saat kemudian, pemuda itu pun memasang cincin emas berwarna putih itu di jari manis Shalu. Dan ternyata ukurannya pas. Heisen pun semakin senang karenanya.

Akhirnya setelah lebih dari tiga bulan ia menabung untuk persiapan pernikahannya, ia bisa menyatakan keinginannya untuk menikahi gadis itu meskipun dirinya belum sepenuhnya setara dengan Shalu. Lagipula, mereka berdua tidak terburu-buru. Masih banyak yang ingin mereka raih di masa sekarang.

*****

Nayan tengah duduk di atas pasir tepi pantai yang begitu sepi di sore hari, hanya sedikit pengunjung yang datang karena ini adalah hari kerja. Ia duduk di sana menunggu seseorang sembari menghirup udara segar di sana dan menutup mata.

Tak lama kemudian, yang ditunggu pun datang. Rupanya, ia menunggu Evan.

"Sorry, aku telat," ucapnya. Gadis itu tidak masalah sama sekali. Tanpa perlu berlama-lama, ia langsung ke inti pembicaraan.

"Kamu benar, aku emang butuh pertolongan," gumam Nayan. "Aku bisa survive, tapi, rasa takut itu sampai sekarang masih menghantuiku,"

"Aku pergi ke perpus biar ngga ketemu banyak orang, beda ketika live," lanjutnya. "Di live aku emang ngoceh terus karena itu tugasku,"

"Tapi ketika live, ngga ada orang lain di sekitarku, cuma ada aku. Makanya, aku merasa aman dan nyaman ketika live,"

"Aku ngga bisa kayak gini terus, aku emang harus berubah,"

"Tapi dibandingkan aku, yang sebenarnya lebih butuh pertolongan adalah kakakku," lanjut gadis itu sembari menatap Evan seolah ingin memancingnya. Pemuda itu tampak bingung.

7 IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang