Fear

8 5 0
                                    

Heisen tengah sibuk memilih bahan masakan mulai dari daging apa yang dia inginkan sampai bumbu-bumbunya di Abang jualan yang selalu lewat di depan rumahnya. Tidak hanya dirinya, tapi ada beberapa ibu-ibu yang selalu bergosip ria ikut berbelanja di sana.

"Eh, semalam pada dengar ngga suara musik gamelan gitu? Suaranya kencang banget itu," tanya salah satu dari mereka yang bernama Susi.

"Ih, iya, saya juga dengar, ngga cuma gamelan, tapi ada suara musik tradisional yang lain," sahut ibu-ibu lainnya. "Ada juga sindennya,"

"Itu suaranya dari mana sih?" tanya ibu-ibu yang lain bernama Rara.

"Itu suaranya dari gedung teater komplek depan, tuh! Suami saya semalam jaga di sana," sahut Susi.

"Tapi ngga lama kerja, suami saya langsung pulang lagi ke rumah, suami jadi takut," lanjutnya.

"Emang suaminya abis liat apa, Bu?" tanya Rara.

"Suami saya lihat ada hantu cewek yang nari pakai baju tradisional gitu, lengkap sama selendang dan mahkotanya. Tapi cuma sendirian aja," jawab Susi. Semua orang begitu bersemangat mendengar cerita itu, kecuali Heisen tentunya.

"Jadi, di sana beneran ada hantunya?" Tanya Rara beserta ibu-ibu yang lain.

"Beneran! Suami saya lihat pakai mata kepala sendiri!" Susi bercerita dengan menggebu-gebu. Sedangkan Heisen tidak peduli. Ia langsung membayar belanjaannya dan meninggalkan mereka.

Nayan yang mendengar kehebohan para ibu-ibu pun menghampiri kakaknya.

"Kenapa? Kok kayaknya heboh banget?" tanya Nayan.

"Itu, katanya ada suara gamelan di gedung teater. Terus katanya ada yang nari, hantu gitu," sahut Heisen dengan ogah-ogahan.

"Ih, Kak, gue juga dengar tahu!" seru Nayan. "Gue dengar pas lagi live,"

"Gue sampai berhenti live gara-gara takut. Kirain orang hajatan, ternyata beneran hantu ya?"

"Tapi, kakak kok ngga dengar apa-apa ya?" tanya Heisen. Dia mengingat-ingat apa yang dia lakukan semalam. Tampaknya saat itu dia sudah larut di alam mimpi.

Nayan hanya diam, tidak berkomentar apapun. Keduanya pun kembali dengan kegiatan masing-masing.

*****

Heisen telah menunggu gilirannya interview di lobby dengan membawa dokumen-dokumen yang dibutuhkan. Ia melamar di perusahaan penerbitan paling terkenal di Indonesia. Di sana terlihat juga beberapa orang yang menunggu giliran mereka dengan kemeja dan dasi yang rapi, begitu juga dengan Heisen. Ia menunggu dengan perasaan yang campur aduk.

Kini tiba namanya yang dipanggil. Ia pun masuk ke dalam ruangan, yang di mana sudah ada satu orang HR yang akan menanyainya secara bergiliran. Ia pun duduk di hadapan orang itu.

Beberapa pertanyaan sederhana telah dilalui. Kini, tibalah ke pertanyaan lain.

"Kenapa kamu keluar dari ojol?" tanya HR perusahaan yang bernama Surya. Heisen berpikir sejenak sembari merapikan kerahnya.

"Karena, itu bukan bidang saya," jawab pemuda itu. "Bidang saya tidak jauh-jauh dari sastra,"

Tentu saja, ia tidak mungkin mengatakan alasan yang sebenarnya bukan?

"Tapi kan, kamu melamar kerja sebagai editor. Kalau kamu sangat suka sastra kenapa ngga jadi sastrawan saja?" tanya beliau lagi.

"Karena menurut saya, jadi editor bukan hanya menyunting atau merubah kalimat dalam tulisan saja," sahut Heisen. "Tapi, dia harus memahami sastra, agar bisa memilih mana tulisan yang layak diterbitkan dan mana yang tidak layak,"

7 IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang