Penjara

4 2 0
                                    

Di pagi hari yang cerah, Malik memasuki ruangan pribadi Heisen. Karena, pria itu memanggilnya. Heisen menyuruh Malik untuk membaca ceritanya agar bisa tahu apakah cerita Penjara itu layak terbit atau tidak. Malik membacanya melalui pesan e-mail yang dikirim oleh Heisen. Ia membacanya dengan sangat serius.

Setelah selesai membacanya, Malik menatap Heisen dengan terheran-heran.

"Lu serius mau nulis ini?" tanya Malik. Heisen lantas mengangguk.

"Tapi pikirin lagi, deh," gumam Malik. "Dengan cerita ini diterbitkan, lu bakalan dituduh menyebarkan kebencian terhadap kepolisian,"

"Ngga cuma lu, tapi, kita semua juga bakal kena imbasnya," lanjut Malik. "Perlu diingat, ada ratusan orang yang kerja di sini,"

Heisen mengembuskan napas panjang. Ia merasa sedikit kesal dengan jawaban Malik.

"Emang gue nulis apa? Gue cuma bikin karya tulis yang terinspirasi dari kisah Bu Yanti dan Rangga," jawab Heisen. "Selebihnya itu cuma fiksi,"

"Gue nulis ini sebagai bentuk kritik," lanjutnya. "Apa negara kita ini adalah negara anti kritik sampai-sampai kita ngga boleh mengkritik mereka melalui karya kita?"

Karena merasa marah, suara Heisen tiba-tiba berubah menjadi mengerikan. Pandangan matanya juga benar-benar berbeda dari sebelumnya. Matanya terlihat merah dan melotot seperti hendak keluar.

"Di sini ada ratusan karyawan kan?" tanya Heisen sembari mendekatkan wajahnya dengan tatapan mata dan suaranya yang seperti itu. Ia kembali bertransformasi menjadi Rangga. Malik menelan ludahnya karena takut. Ia pun mengangguk.

"Bayangkan, di luar sana, ada ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan ibu yang mengalami nasib sama seperti Bu Yanti," lanjutnya. "Mereka pengin bertemu anaknya, pengin anaknya pulang ke rumah, tapi, itu semua ngga terjadi karena bobroknya sistem di negara kita!"

"Just go publish it, you fucking coward!" seru Rangga yang sedang menguasai tubuh Heisen. Malik terdiam dengan tangannya yang bergetar. Ia merasa takut melihat Heisen yang seperti ini.

"Okay," jawab Malik dengan penuh ketakutan. "Gue ngga bisa apa-apa lagi sebagai editor,"

"Bagaimanapun, itu juga terserah lu, karena, lu sekarang direkturnya," lanjut Malik. Ia pun buru-buru meninggalkan ruangan. Ia tidak ingin berlama-lama dengan Heisen. Tidak pernah ia melihat Heisen yang seperti itu.

Beberapa saat setelah Malik pergi, Heisen pun tersadar. Pria itu bingung, apa yang baru saja ia lakukan? Ia benar-benar tidak menyadarinya. Pria itu mencoba untuk mengingat yang baru saja terjadi. Namun, sakit kepala justru menghampirinya. Sekali lagi, ia sama sekali tidak ingat dengan apa yang baru saja ia lakukan. Yang ia ingat hanyalah dirinya mencoba meminta tolong kepada Malik. Selebihnya, ia sama sekali tidak sadar dengan apa yang baru saja ia katakan.

*****

Di siang hari setelah jam istirahat usai, Brahma dan Amba mendatangi kantor Sahabat Pena untuk menemui Heisen. Pria itu sedang berada di ruangannya dan begitu terkejut melihat kedatangan mereka.

Brahma memberikan surat penangkapan itu kepada Heisen atas tuduhan ujaran kebencian. Pemuda itu begitu bingung saat membacanya.

"Pak, yang saya tulis itu bukan ujaran kebencian," Heisen mencoba meyakinkan Brahma. Akan tetapi, polisi itu tetap memasangkan borgol di kedua tangan pemuda itu.

"Apapun itu, kamu bisa jelasin nanti di kantor polisi," gumam polisi itu. Ia pun membawa Heisen ke kantor polisi disaksikan oleh semua karyawan di sana.

Dalam hatinya, Heisen bertanya-tanya, apakah yang ia lakukan itu salah hingga membuat dirinya harus ditahan?

*****

Sesampainya di kantor polisi, Heisen langsung diinterogasi oleh Brahma. Kedua orang itu saling berhadapan dengan meja sebagai pembatasnya.

"Dari sekian banyak cerita, kenapa kamu harus menulis cerita tentang Yanti dan Rangga?" tanya Brahma dengan puntung rokok di tangan kanannya.

"Pak, perlu saya garis bawahi, saya selalu menulis karya sastra di sana," ujar Heisen. "Dan bahasan utama karya itu adalah tentang permasalahan yang terjadi di sekitar kita,"

"Dan yang terjadi sekarang adalah ini, lalu apa masalahnya?" Heisen bertanya. "Toh, ini cuma karya fiksi yang terinspirasi dari kisah beliau dan anaknya,"

"Tapi, tulisan kamu itu viral dan banyak yang me-repost. Ujung-ujungnya, banyak yang ngasih hate comments ke polisi," sahut Brahma. Heisen pun mengerutkan dahinya.

"Itu bukan ujaran kebencian, tapi itu adalah kritikan yang ditujukan kepada kalian, para polisi," pemuda itu menjawab sembari meletakkan kedua tangannya yang diborgol ke atas meja.

"Saya dan juga orang-orang itu mengkritik polisi agar kalian bisa berbenah, bukannya justru membungkam saya,"

Brahma merasa sangat kesal karena kalah debat dengan Heisen. Ia meninggalkan ruangan itu dengan rasa marah dan menyuruh Amba untuk memenjarakan pemuda itu.

*****

Di malam hari, Brahma masih belum bisa memejamkan mata. Ia berpikir, bagaimana Heisen bisa tahu kalau dirinya memindahkan Rangga ke sel penjara di Kalimantan Selatan, lebih tepatnya di Banjarmasin. Ia sengaja melakukan itu untuk mengelabui semua orang. Tapi rupanya, hal ini justru memperkeruh suasana.

Disaat dirinya tengah sibuk berpikir, listrik di rumahnya saat ini malah mati lampu.

Pria itu mengambil ponsel yang berada di sakunya dan menyalakan flashlight. Namun tiba-tiba sebuah suara muncul tepat di telinganya.

"Udah merasa frustasi, kan, sekarang?"

Brahma begitu terkejut mendengarnya hingga tanpa sadar, ia menjatuhkan ponselnya. Benda itu pun rusak seketika.

"Siapa itu?!" tanya Brahma. Semuanya terlihat gelap. Brahma sama sekali tidak bisa melihat apapun.

"Gue? Gue adalah orang yang selama ini lu cari," sahut suara yang menakutkan itu.

"R-Rangga?" tanya Brahma.

"Tepat sekali," sahut suara itu.

Mendengar jawaban itu, Brahma hendak menyerang meskipun tidak tahu di mana posisi Rangga lebih tepatnya. Namun belum sempat menyerang, Rangga mencekiknya dengan satu tangan hingga membuat tubuh Brahma yang beratnya lebih dari seratus dua puluh kilogram itu terangkat. Brahma sangat kesulitan bernapas, tubuhnya sangat sulit untuk bergerak, hanya kakinya yang bisa ia gerakkan.

"Karena ngga bisa nangkap gue, lu justru nangkap orang asal-asalan demi mendapatkan kekuasaan, jahat juga lu ya," ujar Rangga yang masih mencekik Brahma.

Pria paruh baya itu benar-benar dibuat tidak berkutik oleh Rangga. Ia juga tidak bisa mengeluarkan suaranya. Namun, ia berusaha semaksimal mungkin untuk berteriak.

"TOLONG!!!"

Anak dan istrinya yang telah lelap itu pun terbangun. Rangga lantas melemparkan pria itu ke meja hingga kepalanya berdarah dan melarikan diri. Tak lama, listrik pun kembali menyala.

"Ada apa?" tanya sang istri yang baru saja menyalakan listrik. Brahma pun bangun dengan rasa pusing di kepalanya serta lehernya yang sepertinya patah.

"Ada darah di kepala ayah!" seru putrinya yang masih remaja. Brahma lantas menyentuh area yang berdarah itu. Ia pun memutuskan untuk pergi ke kantor polisi.

Sesampainya di sana, ia mencurigai Heisen yang berada di balik semua ini. Namun ternyata, pria itu sedang melamun di balik jeruji besi yang masih terkunci rapat dengan pakaian yang sama seperti saat ia menangkapnya tadi.

Melihat Heisen yang seperti itu, Brahma lantas pergi. Ia segera menghapus semua kecurigaannya kepada pria itu.


***** BERSAMBUNG *****

7 IdentitasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang