Benar kata Jacky, tidak ada berita yang dirilis yang mempublikasikan hubungan mereka pagi harinya. Mungkin lelaki itu sudah melakukan sesuatu?
"Kudengar kemarin kau dijemput seseorang yang keren, siapa?" Yuju yang sudah kembali ke perkuliahan sedang menyantap makan siangnya.
"Jacky, tentu saja. Siapa lagi?" Jawab Eunbi, meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali menyantap makan siangnya. "Bagaimana dengan Jeremy? Dia baik padamu?"
Yuju menganggukkan kepalanya untuk menanggapi.
"Dia mengajakku tinggal di apartemennya, dan kau tau? Itu apartemen yang mewah! Membuatku penasaran, dia kerja apa, ya?""Kenapa tidak tanya?" Sahut Eunbi heran.
"Belum sempat," jawab Yuju. "Sepertinya dia sibuk sekali."
"Jacky juga sedang tidak bisa diganggu," balas Eunbi. "Jadi, sekarang kau tinggal dengan Jeremy?"
Yuju mengangguk lagi.
"Kau mau main?""Mungkin lain kali," sahut Eunbi, tidak menyadari saat Yuju tiba-tiba terdiam.
"Eunbi," Yuju memanggil. "Apa kau tidak pernah berpikir kalau apartemen Jacky terlalu kecil untuk orang sepertinya? Bukankah dia bekerja dengan Jeremy?"
"Apa maksudmu? Apa tempat tinggal Jeremy sebagus itu?" Tanya Eunbi heran.
"Apa kau tau berapa harga properti di Parioli?" Eunbi membelalakkan mata mendengar nama kawasan elit di Roma itu.
"Kau serius?" Yuju mengangguk tegas.
"Aku belum bicara tentang koleksi mobil mewahnya! Tapi, apa? Jacky mengantarmu kuliah naik bus kota? Benar-benar kelewatan!" Yuju mengomel, teringat gaya Jacky yang biasanya tampak seperti gembel di matanya.
"Mungkin dia hanya suka bersikap sederhana," Eunbi membela, tapi kemudian teringat gaya Jacky kemarin sore.
"Seperti tipe idealmu," gumam Yuju menahan senyum. "Atau dia sengaja begitu untuk menarik perhatianmu?"
Kini Eunbi tidak langsung menanggapi, tapi berdiam diri untuk berpikir. Apa benar Jacky tipe orang seperti itu? Bukankah aneh kalau kita menemukan seseorang yang sama persis seperti tipe ideal kita bahkan bisa dibilang tanpa cela?
"Ho? Overthinkingmu kambuh lagi?" Tegur Yuju. Eunbi mengerjab dan tersenyum lemah.
"Tidak juga," balas Eunbi, menghela napas. "Jujur saja, selama beberapa waktu ini aku sudah jarang merasa mual dan cemas saat berada di tempat umum."
"Oh, ya? Kau bertemu psikolog, ya?" Tanya Yuju.
"Tidak," jawab Eunbi. "Aku hanya merasa lebih aman daripada biasanya sejak bersama Jacky."
"Kenapa bisa begitu?"
"Entahlah," jawab Eunbi lagi. "mungkin karena badannya yang besar? Aku jadi bisa berpikir jernih."
"Baguslah kalau begitu, berarti kau tidak salah pilih," sahut Yuju.
"Semoga," gumam Eunbi. Perempuan itu lantas mengerutkan kening saat layar ponselnya menunjukkan nama Jacky. Pemandangan Jacky yang sedang memakai hoodie, kacamata dan laptop membuat Eunbi mengulum senyum.
"Mi Eunha, kau sudah makan?" Untuk sesaat Jacky mengalihkan matanya dari layar laptop.
"Ada apa dengan panggilan Mi Eunha?" Yuju yang mendengar ucapan Jacky pun terdengar meledek.
"Ini sedang makan bersama Yuju," jawab Eunbi, mengabaikan Yuju. "Bagaimana denganmu?"
"Aku akan makan di atas pesawat. Aku menghubungi karena tidak bisa diganggu beberapa hari kedepan," ucap Jacky, melambaikan tangan sekilas untuk menyapa Yuju.
"Kau mau pergi kemana?" Yuju ikut menibrung, tidak seperti biasanya.
"Amerika, ada pekerjaan disana," sahut Jacky singkat.
"Bukankah disana sedang ricuh antara pemerintah dan rakyatnya?" Tanya Eunbi, mengingat berita internasional yang dilihatnya tadi pagi.
"Kurasa tidak ada pengaruhnya dengan pekerjaanku," sahut Jacky, mengangkat bahu.
"Oh, Jeremy juga sudah berangkat ke Timur Tengah tadi pagi," gumam Yuju.
"Bukankah disana sedang terjadi perang?" Tanya Eunbi.
"Dia sedang melakukan negosiasi atau semacamnya? Aku tidak mengerti dengan pekerjaannya meski di bidang yang sama," jawab Yuju.
"Dibidang yang sama?" Tanya Eunbi heran.
"Iya. Jeremy kan pengacara. Kau tidan tau?" Sahut Yuju, membuat Eunbi kembali terdiam. Apakah Jeremy merupakan pengacara di perusahaan Jacky atau semacamnya? Eunbi mengingat kembali pertemuan singkatnya dengan Jeremy di Seoul beberapa waktu lalu. Sepertinya tidak begitu, batin Eunbi memutuskan dengan rasa gelisah.
###
Eunbi menunggu dengan sabar saat mengantre di toko roti langganannya. Seorang kakek tua yang memakai tongkat berjalan tampak kepayahan mencari dompet yang dia lupa taruh dimana.
"Apa bisa pakai kartu debit? Uangku ternyata kurang," kakek itu bertanya pada kasir.
"Tentu saja," jawab si kasir, menerima kartu atm dari tangan si kakek. "Maaf, Tuan tapi kartu anda tidak terdaftar."
"Ooh, ternyata memang di blokir," gumam kakek itu, terdengar kecewa. "Baiklah, terimakasih. Aku tidak jadi beli rotinya."
Eunbi merasa kasihan pada kakek yang berjalan gontai keluar toko dengan tangan kosong. Karena dia baru saja mendapat black card dari pacarnya, Eunbi pun memutuskan untuk berbuat baik. Setelah membayar belanjaannya, Eunbi segera berlari untuk mengejar kakek itu.
"Signor!" Eunbi menyapa saat bisa menyamakan langkah dengan kakek itu.
"Ya? Kau memanggilku?" Sahut kakek itu bingung.
"Saya hanya ingin memberikan ini," Eunbi mengulurkan belanjaan kakek itu yang tadi tidak terbayar.
"Apa? Tapi, aku tidak punya uang--"
"Ambil saja. Bukankah anda membutuhkannya?" Eunbi menyela ucapan kakek itu.
"Oh, maaf membuatmu repot. Aku akan segera menelepon anakku supaya mengembalikan uangmu. Bisa kau beritahu aku nomer rekeningmu?" Kakek itu tampak tidak enak hati.
"Itu tidak perlu, Tuan. Ini tidak seberapa, jadi mohon diterima," sahut Eunbi, meyakinkan.
"Ooh, kau baik sekali. Baiklah. Kuharap kita bisa bertemu lagi, dan disaat itu akan membalas kebaikanmu," ucap Sang Kakek yang membuat Eunbi mengulas senyum.
"Apa anda akan pulang?" Tanya Eunbi.
"Ya ya, mobilku terparkir disana. Untunglah anakku tidak sejahat itu hingga menelantarkan orang tua ini. Dia pasti hanya kesal karena aku terlalu merepotkan. Begitu, kan? Itu hal yang wajar untuk anak muda," ucap kakek itu, menyerocos.
"Anda berkendara seorang diri?" Eunbi kembali bertanya.
"Oh, tidak. Anakku memberikanku sopir pribadi," kakek itu mengulas senyum menenangkan. "Boleh kutau siapa namamu, Senorina?"
Eunbi kembali mengulas senyum, tidak merasa keberatan untuk menyebutkan namanya pada orangtua yang baru pertama kali ditemuinya itu. Toh, dia yakin mereka tidak akan bertemu lagi.
"Jung Eun Bi, Signor."
"Oho! Jadi kau dari luar negeri? Tempat yang jauh sekali," oceh kakek itu, masih tersenyum ramah. "Namaku Hero Timothy, dan kuharap kita bisa bertemu lagi."
"Semoga hari anda menyenangkan, Signor," sahut Eunbi, membiarkan kakek itu kembali melangkahkan kaki menuju mobilnya.
Eunbi merasa suasana hatinya agak riang setelah membantu Tuan Hero Timothy walau hanya sedikit. Perempuan itu memang sering merasa nyaman saat berada di sekitar orang tua, tidak perlu merasa takut meski mereka baru pertama kali bertemu.
Andai saja Eunbi tau siapa Hero Timothy yang baru saja dia temui, perempuan itu akan merasa menyesal sudah membantunya hingga menyebutkan nama.
###
KAMU SEDANG MEMBACA
Mafia In Love (Rate M)
Fiksi PenggemarJeon Jungkook adalah seorang pemuda yang sudah terkenal sebagai seorang bos mafia di Italia sana. Sosoknya yang terkenal kejam tidak lepas dari perlakuan rasis yang dulu sempat dirasakannya. Jung Eunbi adalah mahasiswa fakultas psikologi yang mengin...