CHAPTER 5

430 59 4
                                    

Pavel menghentikan langkah kaki tepat di sebuah kursi taman, cukup jauh dari keramaian dengan cahaya yang tak cukup terang dan suasana tenang yang bisa membuatnya nyaman. Duduk di sana dan terdiam sejenak, sesekali menunduk sambil mengusap wajahnya. Nampak terlihat seperti seorang yang sedang memikul beban berat di pundaknya.

Aku bahkan masih sangat merindukanmu.

Itulah suara hati yang kembali Tin dengar setelah sekian lama bersama Pavel. Pria itu menghentikan langkah kakinya dan berdiri sambil menyandarkan tubuh di balik pohon, memasang telinga untuk mendengar apa saja yang pria itu pikirkan, selain merindukan seseorang yang entah siapa.

Bisakah kau kembali padaku? Aku mohon ... jika memang kau tak bisa kembali. Setidaknya ajak aku pergi bersamamu. Di sini terlalu sepi. Aku kesepian, aku merasa lelah, sakit ini terlalu berlebihan. Aku bahkan mengira jika bisa bertahan tanpamu. Ternyata aku salah. 

Tin masih menyimak dengan seksama di sana, hingga di menit berikutnya ia tak mendengar apa pun lagi selain suara dentingan botol yang saling beradu. Dan benar saja, ketika mengalihkan pandangan, Pavel terlihat tengah meneguk sebotol Vodka seperti seorang yang tengah kehausan.

"Ckckck, dasar pemabuk. Bukankah kau tak memiliki cukup uang, tapi kenapa kau terus saja membeli alkohol," ucap Tin yang masih betah berdiri di balik pohon. Mengawasi Pavel yang tengah menikmati minumannya.

Bagaimana kabarmu di sana? Apa kau baik-baik saja? Aku harap tidak. Kau harus bersedih setelah meninggalkanku seorang diri di sini. Seharusnya kau juga merasakan apa yang aku rasakan, bukankah kau sudah berjanji tak akan meninggalkanku. Tapi kenapa? 

"Dasar pria kejam, tapi bukankah ini tindakan kriminal, mendengar isi pikiran orang lain tanpa izin?" Tin menggaruk keningnya yang tidak gatal. "Apa yang harus aku lakukan, aku tak bisa jika harus mengabaikannya." 

Tin berpikir cukup lama sebelum memutuskan untuk tetap diam saja di tempatnya. Duduk di atas rerumputan sambil menyenderkan tubuh, mengawasi Pavel yang masih menikmati Vodka-nya yang sudah hampir habis juga wajah yang mulai memerah karena mabuk. 

Pavel juga tak terlihat menikmati minumannya, seolah alkohol hanya di jadikan sarana untuknya agar bisa menghilang sesuatu yang menyakiti hatinya, dan itu sangat terlihat jelas dari cara dia yang terus meneguk alkohol layaknya air putih. Dan satu jam berlalu, Pavel terlihat beranjak dari tempat duduknya, berjalan dengan langkah sempoyongan setelah menghabiskan dua botol Vodka seorang diri. Begitu juga dengan Tin yang ikut beranjak, ketika melihat Pavel berjalan mengintari pinggiran trotoar sambil bersenandung kecil, sesekali mendongak untuk  menatap langit yang di penuhi bintang. 

Cuaca yang sangat bagus. Pavel berhenti sejenak sambil terus mendongak ke atas. Memejam saat angin malam menyapa wajahnya, entah apa yang di pikirkan pria itu saat ini. Ia yang mulai kesulitan untuk mengimbangi tubuhnya sendiri cukup membuat Tin khawatir jika pria itu sampai terjatuh.

"Langit begitu cerah, aku pikir akan turun hujan." Pavel kembali duduk di pinggiran trotoar, melipat kedua lutut sebelum membenamkan wajahnya di sana. Dan seperti dugaan Tin, pria itu akan terus di sana hingga pagi, seperti kebiasaannya.

"Jadi kau masih mengharapkan hujan? Ah, yang benar saja. Kau bahkan tak punya payung jika hujan tiba-tiba turun," ucap Tin akhirnya keluar dari persembunyiannya untuk menghampiri Pavel. Namun, langkah kakinya terhenti saat hujan tiba-tiba turun dengan begitu derasnya, seolah-olah Tuhan ingin mengabulkan keinginan pria itu. 

"Kau pria yang selalu memiliki keberuntungan, Tuan. Seharusnya kau menyadari itu, dan aku rasa kita sebaiknya lekas pulang sebelum benar-benar basah kuyup." 

Tin lekas membawa tubuh Pavel ke atas punggung untuk di gendongnya saat melihat bus berhenti di halte. Duduk bersama di kursi paling belakang tepat di dekat jendela dan meraih kepala Pavel pelan untuk di sandarkan ke bahunya.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi denganmu, hingga kau terus menyiksa dirimu dengan cara seperti ini. Sebenarnya apa yang sedang ingin kau lupakan, Pew?" 

Tin meraih telapak tangan Pavel yang terasa dingin dan menggenggamnya erat agar tetap hangat. Tubuh mereka sedikit basah akibat air hujan beberapa menit lalu. Tin merasa prihatin dengan pria itu, pria yang tampak terlihat memiliki banyak beban. Dan ia yakin, salah satu beban di kepala Pavel saat ini adalah dirinya. Meski demikian, ia benar-benar masih membutuhkannya dan tak ingin pergi dari sisi pria itu.

"Aku ingin kau bertahan sedikit lagi berada di sampingku, meskipun itu sangat berat bagimu, tapi aku sungguh membutuhkanmu sekarang, Pew. Aku juga sudah merasa muak sekarang, bahkan tak bisa bergerak bebas untuk melakukan hal lain sesukaku dengan wajah dan tubuh ini," kata Tin yang lebih terdengar seperti sebuah keluhan, terlebih ketika ia kembali melihat bayangan wajahnya yang terpantul di kaca jendela bus. Mendesah pelan karena lagi-lagi menemukan wajah asing di sana.

"Jika bisa kutebak. Kau juga pasti sangat bosan dengan tubuhku sekarang?" Tin bergumam pelan. 

Hingga beberapa menit berlalu, ketika bus berhenti di halte berikutnya, halte yang terletak tak jauh dari rumahnya. Tin lekas membuka hoodie yang di pakainya dan hanya menyisahkan kaos oblon sebelum menutupi kepala dan sebagian tubuh Pavel untuk menghindari air hujan sebelum melangkah menuju rumah. Rebahkan tubuh pria itu di atas tempat tidur dan menyelimutinya agar tetap hangat.

"Semoga mimpi indah, Pew." Tin hendak pergi tapi, mengurungkan niatnya saat melihat pergerakan Pavel dari balik selimut.

"Apa kau tahu, hal apa yang paling menyakitkan di dunia ini?" tanya Pavel bertanya dengan kedua mata yang masih memejam. Hingga Tin berpikir jika saat ini Pavel sedang mengingau.

"Saat kau tak terlihat di depan orang-orang yang kau sayangi. Dan yang lebih mengerikan dari itu adalah, saat orang-orang yang kau sayangi justru menginginkanmu menghilang dari muka bumi ini." 

Tin terhenyak atas pernyataan pria itu. Dan apa yang dikatakan Pavel sepertinya berhubung dengan kenangan masa lalunya. Sebenarnya siapa mereka? Pikir Tin yang masih berdiri, menatap wajah pria itu. 

"Tidurla," ucapnya pelan sambil mengusap kening Pavel yang mengerut dengan lembut untuk membantu mengakhiri mimpi buruknya saat ini.

"Bukankah itu terlalu kejam? Atau itu memang hal yang wajar untuk seseorang sepertiku?"

"Itu tidak benar. Siapa orang-orang itu? Katakan padaku," tanya Tin. Namun, sudah tak mendapatkan jawaban apa pun lagi dari Pavel yang sudah kembali pulas bersamaan dengan air mata yang menitik begitu saja, kala sepenggal kenangan di masa lalu kembali hadir di dalam mimpinya.

Ada beberapa kenangan yang ia lihat sangatlah menyenangkan, di mana seorang kakak laki-laki tengah menggendong dan memeluk tubuhnya penuh kasih sayang saat itu, ia juga memiliki kakak perempuan yang berhati lembut dan hangat yang selalu menemani tidurnya, setidaknya kehangatan dan kebahagiaan itu yang selalu Pavel lihat meski tak sampai berselang lama, sebab semua kenangan indah itu akan berganti dengan kenangan buruk yang mengerikan hingga terkadang membuatnya sesak napas, ketakutan, dan menangis di dalam mimpi.

"Dasar tukang mengingau," kata Tin sebelum beranjak dari sana.

---

---

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Guardian AngelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang