Di sinilah Dikta dan Aidan, di depan gundukan tanah di bagian atasnya terdapat rumput hijau yang mempercantik makam itu."Mah Dikta dateng," ucapnya pada batu nisan yang bertuliskan Daisha khanafika.
"Mama gimana kabarnya?"
"Mama baik-baik aja kan?" ucapnya sambil tersenyum tak lama dari itu senyumnya pun memudar.
"Mah..." lirihnya di barengi dengan satu tetes air mata yang keluar dari pelupuk mata indahnya.
Aidan yang sedari tadi diam menyaksikan temannya yang sedang menyalurkan rasa rindu pada mamanya,saat melihat Dikta akan menangis dia pun merangkul pundak Dikta,biasa ia rasakan pundak Dikta sedikit bergetar.
"Dikta kangen mama hiks."
"Kenapa mama ga mau dateng ke mimpi Dikta? Mama ga sayang lagi ya sama dikta? Dikta mau mama hiks"
"Dikta mau di peluk sama mama"
"Mah papa benci Dikta...trus Dikta harus gimana? Dikta cape mah...hiks,Dikta cuman mau kasih sayang papa apa sesulit itu?"
"Papa selalu pukulin Dikta,sakit mah... fisik Dikta sakit...hiks, jemput Dikta mah," adunya di akhir seperti bisikan akan tetapi itu masih bisa di dengar oleh Aidan.
Melihat seberapa rapuh temannya saat berada di hadapan mamanya Aidan ikut meneteskan air matanya. Ia akan berusaha untuk menguatkan Dikta bagaimanapun caranya.
Di rasa sudah puas menangis Dikta menghapus air matanya pelan.
"Mah, mama mau tau ga?,Dikta udah nemuin orang yang udah Dikta jadiin rumah,semoga dikta ga salah orang ya mah,Dikta udah nyaman sama dia,dan Dikta juga sayang sama dia," setelah mengucapkan itu Diktapun tersenyum kecil.
Aidan yang mendengar itu, ia jadi sedikit terkejut. Dia tau orang yang di maksud oleh temannya itu.
"Yaudah Dikta pulang ya mah,jangan lupa dateng ke mimpi Dikta," setelahnya ia pun bangun di susul dengan Aidan.
"Udah?" tanya Aidan setelahnya.
"Eum,maksih lo udah mau nemenin gue,"
"Iya, santai aja kalo mau apa-apa bilang gue."
"Hmm"
Setelahnya merekapun pergi dari pemakam itu.
☆☆☆
Sepulang dari makam mamanya Dikta langsung pulang karna ia merasa ada yang aneh pada tubuhnya, tubuhnya selalu lemas ia tidak tau penyebabnya karna apa.
Dikta hanya berbaring di ranjang king size miliknya. Dulu rumah adalah tempat ternyaman baginya tapi tidak dengan sekarang, jika boleh jujur lebih baik tidak ada di rumah, akan tetapi jika ia tidak ada di rumah sudah di pastikan papanya akan selalu menyiksanya lebih parah dari biasanya. Tubuhnya sudah tidak bisa lagi menerima luka-luka itu.
Luka yang dia terima sudah terlalu banyak, tidak hanya fisik yang sakit tetapi juga hatinya. Mentalnya sedikit goyah, tapi dia berusaha untuk tetap kuat. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa di dalam rumahnya.
Padahal rumahnya sudah lama hancur. Dikta sangat pandai menutupi rasa sakitnya. Kadang kala, dia juga ingin menyerah tapi saat teringat dengan kaka kelasnya dengan kedua temannya ia kembali kuat, Aidan selalu menguatkannya,ia merasa beruntung mendapatkan teman seperti Aidan.
Ternyata benar,sedewasa apapun seorang anak dia masih membutuhkan peran orang tua.
Brakk
KAMU SEDANG MEMBACA
Backstreet With Ketos
Teen FictionSemua anak menginginkan keluarga sempurna, but not all children have it. "Sekarang lo pacar gue gada penolakan," "Dih apaan sih lo gue masih normal ya ajg, gue masih suka cewe, dan gue ga suka batangan apa lagi itu lo," "Terserah lo yang penting sek...