Chapter 3
3 bulan kemudian
"Hebat banget, ya, Rakata, bisa menang olimpiade biologi tingkat nasional."
Terik matahari pagi menyengat begitu sadisnya, sudah satu jam lamanya upacara berlangsung di tengah lapangan, ditambah lagi dengan suara berisik cewek berambut keriting di sampingku. Ini perpaduan yang sempurna untuk menggerutui keadaan.
Aku tak bisa menahan diriku untuk nggak melakukan aksi rolling eyes.
"Udah ganteng, pinter lagi. Kombinasi sempurna," sahut salah satu teman si rambut keriting.
Aku menggigit bibir bawahku, menahan diri untuk nggak melemparkan komentar buruk.
"Beruntung banget, ya, yang jadi ceweknya."
Haha. Beruntung dari Lithuania.
"Masa depannya pasti cerah. Gue mau daftar jadi pendamping hidupnya, deh."
Telingaku semakin terasa panas, dan entah bagaimana reaksi ilmiahnya, perutku bergejolak seakan mau muntah.
"Sekali lagi, beri tepuk tangan untuk Rakata Mahesa, Anisa Fahrani, dan Redo Huga Wijaya yang telah mengharumkan nama sekolah dengan memenangkan emas di Olimpiade Biologi tingkat Nasional tahun ini," ucap Pak Baron, kepala sekolah yang tengah memberikan pidato upacara dengan begitu semangat di depan sana.
Rakata, salah satu cowok yang menjadi pusat atensi karena kehadirannya di tengah lapangan hanya tersenyum simpul, berterima kasih karena sudah diapresiasi.
"Gila, senyumnya ganteng dan manis banget!" gumam cewek berambut keriting itu lagi.
"Kenapa dia bisa keliatan ganteng dan manis di saat yang bersamaan, ya?"
Geraman lolos dari bibirku. Dengan kesabaran yang sudah terkikis, aku memelototi cewek di sampingku itu. "Bisa diem nggak, sih?!"
Si cewek keriting dan temannya itu menatapku kaget sekaligus heran. Aku tahu dua orang ini, wajah mereka nggak asing-asing amat. Tapi aku nggak mengingat namanya.
"Panas-panas gini kalian malah ribut ngomongin Rakata. Kalau suka sama dia mah bilang ke orangnya, jangan ribut ngomongin dia dari belakang kek gini," kataku sambil menyeka keringat yang mulai membanjiri mukaku.
Si cewek keriting dan temannya mencibir, tak menghiraukanku. Mereka kembali bercakap-cakap, namun dengan suara yang terdengar lebih pelan.
"Dia cemburu kita bahas mantannya." Sialnya, aku masih mampu mendengar bisikan dari cewek keriting itu.
Aku menarik napas dalam lalu mengembuskannya perlahan. Sabar, Rish! Mending lo pura-pura budek.
Pak Baron pun mengakhiri pidatonya, hal yang menandakan bahwa ia sudah selesai memuja muji Rakata dan kedua rekannya yang lain. Akhirnya aku bisa bernapas sedikit lega. Meski sudah empat bulan setelah perpisahan kami, entah kenapa aku masih sensi berat kalau sudah menyangkut tentang Rakata.
Padahal, Rakata nggak ngapa-ngapain. Cowok itu konsisten menanggapku sebagai makhluk tak kasat mata. Dia melanjutkan hidupnya dengan baik. Seolah aku memang tak pernah hadir dalam hidupnya sebelumnya. Rakata makin berprestasi, makin pintar, makin ganteng, makin banyak yang naksir dan sederet kata makin yang bermakna positif lainnya. Itu menandakan setelah perpisahan kami, Rakata mampu bersinar, sedangkan diriku disini masih jalan di tempat.
Kalau ditanya masih stuck atau nggak sama cowok itu, tentu aku menjawab kalau aku sudah move on. Rasa cintaku sudah pergi entah kemana. Tapi tak bisa dipungkiri, mendengar nama Rakata selalu menimbulkan reaksi dalam diriku. Entah itu kesal, marah, jengkel, dongkol, dan lain-lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Know You Miss Me
Teen FictionKebahagiaan Derish karena dapat berpacaran dengan Rakata Mahesa, cowok most wanted di SMA Alpha Plus luntur seketika saat ia mengetahui bahwa di hati Rakata tersimpan nama cewek lain, yaitu Rinjani. Derish langsung memutuskan hubungan mereka tanpa m...