06. Say Hi

1.5K 193 32
                                    

Chapter 6

Aku harus santai. Aku tidak boleh memandang Rakata sebagai mantanku. Dia hanyalah teman satu sekolahku yang kebetulan punya prestasi yang gemilang yang harus kubuatkan profilnya untuk diekspos di majalah sekolah.

Lagipula, kami putus juga sudah sejak tiga bulan lalu. Mungkin ini adalah momen yang tepat untuk say hi lagi. Dan aku punya alasan yang masuk akal untuk menyapanya duluan tanpa membuatku terlihat begitu murahan.

Di jam istirahat ini, aku mengirim pesan ke Mona yang isinya menyatakan kalau aku mau menemui Rakata dan memintanya agar bersedia diwawancarai. Dan reaksi cewek itu sungguh luar biasa. Dia begitu kesenangan sampai-sampai menghujaniku emoticon kiss yang nyaris memenuhi layar ponselku.

Pesan dari Mona kembali masuk.

Mona : Kapan mau ketemu Rakata, Rish?

"Rish, mulai minggu depan gue bakal les piano, lho." Ucapan Shanin yang berdiri di sebelahku membuat fokusku dari ponsel teralih.

"Oh, ya? private?"

"Iya. Guru pianonya kebetulan temen mama arisan," jelas Shanin. Sejak beberapa minggu yang lalu dia memang sering melontarkan keinginannya untuk ikut les piano.

"Oh bagus, tuh. Keren pasti kalau bisa main piano," jawabku sambil membalas pesan dari Mona sebelumnya.

Derish : Nggak tahu. Tunggu ketemu secara natural mungkin.

Rasanya terlalu awkward kalau aku menghampiri Rakata ke kelasnya dan mengajaknya bicara begitu saja.

Shanin masih begitu bersemangat menceritakan les piano yang akan dia ikuti. Sementara itu, pandanganku beralih ke lapangan basket di bawah sana. Dari balkon kelasku yang berada di lantai dua ini, aku dapat melihat beberapa siswa laki-laki bersiap untuk bermain basket. Mataku melebar ketika melihat sosok Rakata ada diantara orang-orang tersebut.

Ponselku bergetar. Ada pesan masuk dari Mona.

Mona : Temuin aja, Rish. Dia ada di lapangan basket sekarang.

Derish : Iya, gue liat juga. Ogah banget ah. Dia lagi ngumpul ama temen-temennya. Ada Bara juga. Tuh anak rese! Males.

"Lo nggak bisa main piano kan, Rish?" tanya Shanin.

"Nggak bisa, Nin," Aku nyengir.

"Pernah nyoba mainnya?"

"Waktu dulu sih pernah, gue minjem piano Ali di Licious Romance, itu pun disuruh Rakata...," kalimatku mendadak terhenti ketika kusadari bahwa cerita itu bukanlah jenis cerita yang layak diungkit lagi karena ada nama Rakata di dalamnya. Sebelah alis Shanin terangkat. Aku buru-buru menutupi kecanggungan dengan dengusan pelan. "Nggak, nggak, lupain, Nin."

Aku berpaling dari Shanin dan memilih untuk memandangi lapangan di bawah sana. Sosok Rakata kembali terlihat. Cowok itu sedang men-dribble bola basket dengan lincahnya.

Aku menghela napas panjang. Dulu, Rakata adalah orang yang selalu hidup di dalam cerita-ceritaku. Sekarang dia tak lebih dari sekadar teman satu sekolah yang bahkan tak pernah kusapa lagi.

Seperti sadar tengah diperhatikan, Rakata mendongak. Balas memandangku. Pandangan kami terkunci satu sama lain.

Tatapannya begitu lekat, sama seperti tatapannya di kantin kemarin. Aku jadi menduga-duga, apa yang ada di pikirannya saat ini. Berbeda dari sebelumnya, Rakata tak lebih dulu membuang muka.

Ekspresi cowok itu tampak datar. Tak ada senyum menyapa atau sorot hangat. Dia seakan menantangku untuk membuang muka terlebih dahulu.

"Rish," panggilan dari Shanin lah yang berhasil menginterupsi kontak mata kami karena detik berikutnya aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah sahabatku itu.

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang