10. Kabar Kita

770 137 7
                                    

Chapter 10

Kak Dirga sialan!

Kenapa sih dia tiba-tiba menghilang saat aku sedang membutuhkannya seperti sekarang? Puluhan kali aku mengirimkannya chat, belasan kali aku menelponnya, tapi sama sekali nggak ada jawaban.

Kuletakkan ponselku ke telinga sekali lagi. Panggilannya tersambung, tapi sama seperti sebelumnya, orang di seberang sana nggak juga mengangkat. Sepertinya dia tidur, atau dia terlalu sibuk bermain PS sampai-sampai nggak memedulikan ponselnya yang berdering atau bergetar. Eh tapi mungkin saja, yan paling parah dia memang sengaja nggak menjawab panggilanku? Kalau tebakan ketigaku benar, kutendang bokongnya pulang ini.

Sejak lima belas menit lalu aku bilang pada Rakata mau pulang dan Kak Dirga akan menjemputku. Namun sampai sekarang, aku masih bolak-balik memandangi layar ponsel sambil sesekali menggigit bibir dan sesekali mengembuskan napas gelisah. Tentu saja, Rakata dapat menyadari tingkah anehku ini.

"Kak Dirga nggak jadi jemput?" tebaknya yang kini sudah menenteng tas gitar di tangannya. Acara ultah William memang sudah berakhir. Para tamu sejak tadi berangsur-angsur meninggalkan kafe ini.

"Nggak tau, nggak ada jawaban," balasku.

"Gue anter aja, Rish. Ntar kemalaman kalau nunggu kakak lo," sarannya.

Aku melirik jam di layar ponselku. Jam setengah sembilan malam.

"Nggak papa, nggak usah," tolakku sambil berusaha tersenyum.

"Yaudah, gue tungguin lo bentar disini," ucapnya santai sambil menyandarkan pinggangnya ke ujung meja.

"Eh, nggak usah, Ka. Lo pulang aja."

Rakata cuma tersenyum tipis tanpa berniat pergi.

Lalu, Bara dan Malik datang mendekati kami.

"Ka, jadi nggak?" tanya Bara pada Rakata.

"Jadi. Ntar gue nyusul," jawab Rakata

"Mau nganterin Derish pulang dulu?"

"Nggak, nunggu dia dijemput bentar."

Bara tampak kaget. Dia seolah nggak percaya dengan jawaban Rakata. Kemudian cowok berambut berantakan itu mendengus geli.

"Kami duluan kalau gitu, Ka," kata Malik. Drummer dan vokalis Alpha Band itu pun akhirnya melangkah meninggalkan kami.

"Kalau lo ada urusan, cabut duluan aja," kataku baik hati. Aku nggak mau dia jadi tertahan disini karenaku.

"Nggak papa. Urusan gue juga nggak begitu penting."

Walaupun begitu, Bara dan Malik menunggunya. Dan membuat orang menunggu itu nggak baik.

"Anyway, gue nggak tahu kapan dijemputnya, Kak Dirga masih belum bisa dihubungi."

"Yaudah, gue anter aja. Biar nggak kemaleman stuck disini. Bentar lagi juga William dan keluarganya pulang. Kafe ini bakal ditutup."

Berduet dengannya malam ini apa nggak cukup ya untuk membuat situasi kami terasa aneh dan canggung? Apa perlu ditambah satu mobil dengannya dalam perjalanan menuju rumahku?

"Yaelah, Rish, cuma nganter lo pulang ini, kok."

Nada suaranya seakan mengingatkanku untuk nggak berpikiran aneh. Seakan fakta bahwa satu mobil dengannya adalah hal yang sepele. Dan entah kenapa, itu terdengar seperti tantangan di telingaku.

Well, baiklah. Perjalanannya hanya berlangsung sekitar lima belas menit. Kalau baginya ini sesuatu yang bisa dilewati dengan mudah, kenapa aku harus berpikiran sebaliknya?            

I Know You Miss MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang